Seingat Ana terakhir kali sadar ia sedang duduk disamping Mikail, lalu tertidur disana. Namun pagi tadi wanita itu terbangun di atas sofa dengan selimut membungkus tubuhnya. Ana jadi heran sejak kapan ia memindahkan tubuhnya kesana. Tidak mungkinkan seseorang mengangkatnya saat tidur tapi dia tidak bangun sama sekali. Tidak mungkin! Ana pasti sadar, ia tipe orang yang mudah terbangun bahkan hanya karena suara kecil. Sebenarnya Ana ingat semalam bermimpi Kei datang kerumah sakit, lalu pria itu memindahkan Ana ke Sofa. Tapi Ana tidak yakin apakah itu mimpi atau bukan, semuanya tampak samar, lagipula untuk apa Kei datang ke rumah sakit?
Ana membuka pintu rumahnya dengan pelan, sepertinya Kei masih tidur, atau mungkin belum pulang dari tempat Nita? Entahlah Ana tidak mau terlalu memikirkannya. Ana masih belum mengabari Kei sejak semalam karena ponselnya mati dan Ana lupa membawa charger, karena jarang ada yang menghubunginya jadi Ana terbiasa membiarkannya. Masih 1 jam lagi menunggu bibi datang, namun Ana sudah sangat kelaparan sebelumnya Ana membersihkan diri dahulu lalu menuju dapur membuat sarapan sendiri untuknya, terlalu lama jika menunggu bibi datang membuatkan sarapan. Ana melihat bahan makanan yang ada dilemari es, keningnya mengerut saat tak menemukan apapun selain beberapa butir telur dan sosis.
"Apa semua isi lemari es pria single selalu begini?" Gumamnya mengingat milik Hobi yang sama persis kondisinya dengan milik Kei lalu menutup pintu lemari es.
"ASTAGA!!!! Kei sejak kapan disana? Bikin kaget saja" Teriak Ana sembari mengelus dada melihat sosok Kei yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Wajah pria itu membengkak tampak jelas sekali seperti baru bangun. Sungguh tidak bosan Ana mengatakannya tapi suaminya sangat tampan meski dengan wajah bengkak. Kei hanya menatap datar Ana, mengacuhkan wanita itu mengambil air lalu pergi begitu saja, baru beberapa langkah Ana menghentikannya.
"Kei mau omelete? Aku ingin membuat sarapan tapi tidak ada bahan apapun di lemari es selain telur dan sosis" Satu Alis kei menukik ke atas menatap Ana tajam membuat Ana bergidik ngeri. Ada apa? Apa ada yang salah dari ucapan Ana? Lagi-lagi Kei mengacuhkannya, menghela nafas, lalu berlalu meninggalkan Ana yang kebingungan. Ana tidak tahu apa yang terjadi pada Kei, satu hal yang Ana ketahui pria itu tengah marah padanya? Tapi apa yang membuatnya marah? Seingatnya Ia tak membuat kesalahan apapun, kalau memang benar marah, Ana harus bagaimana? Ana tidak pernah menghadapi seorang pria yang tengah marah. Tidak tahu juga bagaimana meredakan emosi seorang pria namun biasanya pria sangat suka makanan, maka Ana membuat omelete satu untuknya, satu lagi untuk Kei berharap Kei membaik lalu kembali bicara padanya. Karena demi apapun Ana benci diabaikan! Apalagi saat ia tidak tahu apa alasannya. Setelah semuanya siap, dengan perasaan takut, Ana menghampiri Kei yang masih duduk di ruang tamu sedang memainkan ponselnya. Ana meletakkan sepiring omelete di atas meja tepat di hadapan Kei, pria itu mengalihkan atensinya dari ponsel menatap Ana datar. Ditatap seperti itu nyali Ana semakin menciut, rasanya ingin pergi saja darisana tapi kedua kakinya seolah sudah terpaku rapat pada lantai.
"K-kei k-kamu marah padaku?" Tanya Ana to the point. Ana benar-benar tidak bisa berbasa-basi dan Kei menyukai sifat Ana yang seperti itu. Terkesan jujur, meski terlihat tak sabaran. Kei masih diam tak menjawab, suasananya begitu menakutkan untuk Ana, tangannya meremat bagian kaus bawahnya.
"A-apa aku membuat kesalahan?" Tanyanya lagi. Tubuh Kei yang disandarkan pada sandaran sofa dicondongkan ke depan mengarah pada Ana. Dominasi pria itu sangat kentara, Ana seperti kelinci kecil yang tengah disudutkan.
"Kemana saja kemarin? Kenapa tidak pulang? Kenapa tidak mengabariku? Lalu kenapa mematikan ponselmu?" pertanyaan beruntun Kei keluar begitu saja.
Jadi karena itu Kei marah pada Ana? Bolehkah Ana berharap Kei mengkhawatirkannya? Rasanya jantung Ana hampir terlepas dari tempatnya. "Maaf.... aku sudah coba menghubungimu tapi ponselmu mati, seharian aku dirumah sakit menemani adikku, aku bukannya sengaja mematikan ponselku Kei, tapi memang lowbat dan aku lupa membawa charger." jelas Ana.
"Sebelum ponselmu mati kamu bisa mengirim pesan padaku Ana"
"A-aku takut mengganggumu..." Ana menjeda kalimatnya terlihat mencari kalimat yang pas untuk diucapkan.
"Saat bersama Nita" Kei mengibaskan rambutnya kebelakang, menghembukan nafasnya dengan kasar.
"Tetap saja Ana sesibuk apapun aku, kamu harus mengabariku, kirim pesan kalau aku tidak bisa dihubungi. Setidaknya aku pasti membaca pesan itu dan tahu keberadaanmu. Kamu tahu aku hampir gila mencarimu yang tidak ada dirumah lebih parahnya ternyata aku tidak tahu apapun tentangmu!!!" Ana terlonjak mendengar nada Kei yang semakin meninggi. Melihat itu, Kei menjadi merasa bersalah dan mulai menurunkan emosinya. Tangan Kei melayang keatas kepala Ana, mengira Kei akan memukulnya, Ana sontak memejamkan matanya dengan tubuh yang sedikit menjauh, jujur saja Ana ketakutan, tubuhnya sedikit gemetar tapi ternyata Kei justru mengelus kepala Ana dengan lembut.
"Kan Sudah jelas juga dalam kontrak, dan aku akan mengatakannya lagi, jadi dengarkan baik-baik kamu tanggung jawabku Ana. Keselamatanmu prioritasku, jadi kuharap kamu membantuku untuk menjaga dirimu sendiri" Ana mengangguk sembari meminta maaf kembali dengan suara lirih, agaknya Ana masih syok karena bentakan Kei tadi. Maka dengan gerakan cepat Kei memeluk Ana, mengusap punggu wanita itu dengan lembut, mencoba menenangkan Ana.
"Maaf Ana, aku hanya khawatir. Tapi peringatanku benar, kamu harus selalu memberi tahuku kemanapun kamu pergi, mengerti?" Ana kembali mengangguk dalam pelukan Kei.
"Aku tidak mendengarmu Ana"
"Y-ya Kei, aku akan selalu mengabarimu" Kei melepas pelukannya, dengan tangan menangkup wajah kecil Ana, manik hijaunya menatap Ana dengan pandangan yang sulit di artikan. Pria itu tersenyum lalu mencium kening Ana singkat. Kei terkekeh melihat wajah Ana yang memerah.
"Masih memerah" ucap Kei menunjuk wajah Ana, Tangan Ana dengan cepat menutupi wajah.
"Tidak!!!! Tidak memerah" bohong Ana semakin membuat Kei tertawa keras.
🌹🌹
"Ibu menanyakan perihal bulan madu kita"
"Apa???" Tanya Ana dengan kaget ia tengah mencuci piring ditemani Kei yang asik menikmati kopi panasnya duduk di kursi bar tepat di belakang Ana. Agak risih sebenarnya mengetahui Kei dibelakang Ana bisa memperhatikan semua gerak-geriknya. Tapi bagaimana lagi, pria itu bahkan terlihat sangat betah duduk disana. Omong-omong Kei ternyata meliburkan bibi karena katanya Mereka harus menyesuaikan diri mereka sebagai sepasang suami istri, Kei tidak mau mengambil resiko bibi memberi tahu ibunya tentang pernikahan mereka. Karena sebenarnya bibi itu adalah mantan pelayan dirumah ibunya.
"Tapi aku udah kasih pengertian kok ke ibu kalau memang kamu tidak bisa kemana-mana karena menjaga Kail. Oiya aku belum pernah bertemu dengan adikmu. Nanti kesana bersama ya"
"Serius?" Ana membalikkan tubuhnya menatap Kei tak percaya dengan mata membulat persis seperti bayi kucing.
"Iya, kenapa tidak boleh bertemu?"
"Eh bukan gitu, bolek kok. Aku hanya kaget saja" lalu kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya yang sempat tertunda.
"Tapi ibu tetap memaksa, katanya ibu yang akan menjaga Kail. Jadi ibu juga ingin bertemu dengan adikmu" Jelas Kei masih pada topik bulan madu. Ana menjeda tak langsung menjawab sampai ia menyelesaikan cuciannya lalu duduk dihadapan Kei.
"Aku tidak tahu, Kail bukan anak yang mudah mengakrabkan diri pada orang yang belum dikenal" ucapnya lirih
"Jangan khawatir, pertemukan saja ibu dengan Kail dulu. Nanti kamu pasti takjub sama ibu" Kei tersenyum dengan tulus yang mampu menularkan kepada Ana. Setelahnya keheningan tercipta diantara keduanya. Kei meminum habis kopi yang ada di gelasnya.
"Omong-omong kamu mau pergi kemana?"
"Hah? A-aku tidak tahu, ikut saja kemana kamu pergi" Kei terkekeh mendengar jawaban Ana, beda sekali kalau ia mengajukan pertanyaan itu kepada Nita karena secara gamblang Nita akan merincikan tempat-tempat yang ingin dikunjunginya
"Ke ranjang saja mau?" Goda kei membuat Ana merona mendengar pertanyaan vulgar Kei. Pria itu kembali terkekeh. Ana sampai tidak bisa berkata-kata lagi bingung menanggapinya.
"Sudah pernah ke Jepang?" Ana menggelengkan kepalanya, sebenarnya ingin mengatakan boro-boro ke Jepang, Satu negara saja banyak yang belum pernah ia kunjungi apalagi Jepang, tapi ia mengurungkan niatnya.
"Ke Jepang belum pernah, tapi ketemu orang jepang sengklek sering, sampai-sampai malas melihat wajahnya" Kei tertawa keras mendengar celotehan Ana, sepertinya baru sekarang Ana lepas berbicara padanya.
"Siapa?"
"Husein Kato! yang sampai sekarang aku tidak pernah mengerti kenapa berubah menjadi Hobi" lagi-lagi Kei tertawa, saat menjelaskannya wajah Ana sangat lucu, seperti anak kecil yang kesal karena kakaknya tak memberi permen.
"Kau lucu Ana! Ingin ku gigit rasanya" tidak usah dijelaskan lagi bagaimana wajah Ana.
"Baiklah, kita pergi ke Jepang saja, aku akan memesankan tiketnya" lanjutnya
"Bagaimana dengan Nita?" Ana hanya merasa harus tahu diri, berpergian dengan kekasih orang lain meskipun ia pergi dengan suaminya sendiri, pasti membuat wanita itu jengkel jika mengetahuinya. Kei tersenyum, pandangannya teduh dengan manik mata hijaunya yang selalu berhasil menghipnotis Ana.
"Nita pasti mengerti, anggap saja ini hadiahmu karena sudah membantu kami." Ana tidak bisa mengelak lagi, Kei sudah berkata begitu bagaimana mungkin Ana menolaknya. Tiba-tiba saja Ana teringat sesuatu.
"Hmm Kei"
"Ya Ana?" Ana terlihat ragu mengatakannya, bola matanya bergerak ke kanan kiri gelisah.
"Lemari esmu kosong, sepertinya aku harus berbelanja, karena kamu meliburkan bibi, aku ingin memasak makanan untuk kita"
"Hanya itu? Kupikir ada sesuatu hal penting, lain kali jangan ragu mengutarakannya Ana, setelah perbincangan panjang kita tadi, kau seharusnya tidak takut lagi padaku. Katakan saja biar aku yang menilai iya atau tidaknya" Ana mengangguk dua kali mengiyakan, ia akan mencoba lebih rileks lagi pada Kei. Lalu setelahnya kei mengusak kepala Ana dengan gemas.
"Bersiaplah aku akan menemanimu"