Chapter 9 - Part 9

Tidak ada hal yang paling indah dan menyenangkan bagi Ana di dunia ini selain melihat Mikail tertawa. Tawa Mikail itu langka, Ana lebih sering melihatnya menahan sakit dibandingkan tertawa diusianya yang masih sangat muda. Disaat seharusnya bermain diluar dengan teman seumurannya, Mikail menghabiskan waktunya berbaring di dalam rumah sakit. Makadari itu Ana juga mengabdikan masa mudanya untuk Mikail, tidak ada waktu untuk Ana bermain atau mencari kekasih meski usianya sudah cukup, Ana juga sempat berpikir kalau ia tidak akan menikah sampai Mikail sembuh, tapi ternyata takdir berkata lain dengan mempertemukannya pada Kei meski bukan menikah sungguhan setidaknya Ana merasakan bagaimana menjadi putri seharian.

Kei dan kedua orang tuanya tengah mengajak Mikail bicara, sesekali mereka bergurau. Ana senang, wajah Mikail sumringah dengan banyak mainan ditangannya yang dibawa ibunya Kei. Terlihat jelas sekali bagaimana ibu mertuanya berusaha keras mendekatkan diri pada Mikail, dan seperti yang dikatakan Kei, Ana takjub, kini mereka sudah akrab seperti seorang ibu dan anak.

"Mikail nanti dirawat sama ibu ya?" Tanya ibu memulai pembicaraan mengenai rencananya untuk menjaga Mikail saat Ana dan Kei pergi berlibur. Ana tidak mau mengatakannya bulan madu. Karena memang tidak akan seperti itu nantinya. Mikail menatap Ana bingung, lalu menggelengkan kepalanya, tangan mungilnya menunjuk Ana.

"Mau sama kakak aja" Ana tersenyum sudah menuga Mikail akan menjawab seperti itu, tidak mudah memang karena Ana tahu bagaimana watak Mikail, anak itu keras kepala seperti Ana, lagipula selama hidupnya sudah bergantung pada Ana, Mikail pasti akan sulit menyesuaikan diri. Ana sendiripun sebenarnya tak sampai hati meninggalkan Mikail.

"Kenapa? Mikail tidak suka dengan ibu ya?" Ibu masih berusaha membujuk Mikail.

"Suka kok, tapi Mikail maunya sama kakak aja" dan Mikail masih menolak penawaran ibu.

"Kakak Ana mau buat adik untuk Mikail loh, tapi harus pergi dulu sebentar. Nah saat kakak Ana pergi sementara Kail dijaga ibu dulu, gimana?" sontak mata Ana melebar mendengar kalimat yang baru saja terlontar karena bukan ibu yang berbicara melainkan Kei yang tanpa tahu malu berkata seperti itu dan merangkul Ana didepan kedua orangtuanya juga Mikail.

Ana memalingkan wajahnya saat ditatap seductive oleh Kei belum lagi elusan ditangannya. Ana merapal kalimat diotaknya "hanya pura-pura Ana!!! Hanya pura-pura!!"

"Adik?" Mikail memandang Kei penuh antusias dan Kei mengangguk penuh semangat. Tapi saat pandangannya menuju Ana, Mikail kembali menggelengkan kepalanya.

"Tidak mau, buat disini aja nanti kail bantu" ucap mikail dengan wajah sendu, matanya mulai berkaca-kaca.

"Eh?" Kei melepas rangkulannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, mereka canggung luar biasa berbanding terbalik dengan kedua orang tua yang ada disana tertawa geli dengan perkataan polos mikail.

"Makanya, kalau bicara itu harus hati-hati" kata ibu lalu mengusap kepala mikail dengan lembut.

"Yasudah kakak Ana tidak boleh pergi. Tapi ibu bolehkan datang kesini terus?" Lanjut ibu.

"Boleh kok, Kail suka kalau ibu datang" ucapnya dengan senyuman manis melekat pada wajahnya. Ibu memeluk Kail dengan sayang, tidak menyangka dibalik senyumannya Mikail menahan rasa sakit selama ini. Ibu tidak bisa membayangkan bagaimana anak sekecil itu bisa menjalani hidupnya? Ibu langsung begitu sayang pada Mikail, teringat ketika Kei dan Mona kecil, apa jadinya kalau Kei atau Mona kecil mengalami hal seperti itu, apa ia akan kuat menjalani hidupnya, hati ibu mana yang tidak hancur saat mengetahui anaknya harus merasakan rasa sakit setiap harinya. Setiap hari gelisah tidak tahu apa besok masih bisa bertemu atau tidak, ibu melirik Ana yang sedang tersenyum lalu membalas senyuman itu, merasa bangga dengan menantunya yang kuat. Karena sejatinya yang tidak diketahui anak adalah ketika anak itu sakit, ibu jauh merasakan rasa sakit hanya karena melihatnya. Meskipun Ana hanya seorang kakak, tapi pasti rasa sayangnya sebesar ibu dengan anaknya.

Pelukan itu terlepas saat dr Rachel masuk kedalam ruangan, sudah waktunya kemoterapi, dan wajah Ana menjadi begitu suram, merasa ingin menangis tiap kali Kail harus melakukan Kemo, jangan mengira kemo itu tidak sakit, kemo itu sangat menyakitkan apalagi efek setelahnya, Kail akan lemas dan merasa mual. Ana tidak tega tapi memaksakan senyumannya, ia tidak mau membuat Kail takut atau cemas karena ulah kakaknya sendiri. Ana harus kuat demi adiknya. Kei yang menyadari perubahan Ana kembali merangkulnya mengusap pundak wanita itu, mencoba menguatkan. Ana hanya membalas dengan senyuman yang Kei tahu jika bahwa senyuman itu palsu adanya.

🌹🌹

Ana dan Kei di kantin rumah sakit duduk berhadapan sedangkan kedua orang tua Kei sudah kembali pulang, Mikail tengah terlelap setelah melewati hal yang menyakitkan itu, Ana mengusap wajahnya lelah, lalu menundukkan wajahnya.

"Pasti rasanya sakit sekali.... Kenapa Tuhan jahat padaku Kei, kenapa harus Mikail? Ia masih terlalu kecil untuk merasakan rasa sakit seperti itu. Kenapa bukan aku saja?" Ucap Ana lirih air matanya jatuh begitu saja, padahal sejak tadi ia berhasil menahannya, memang selalu begitu tiap kali Mikail melakukan Kemo, setelahnya Ana pasti menangis, bedanya dulu hanya ada Hobi atau menangis sendirian namun kali ini ada Kei dihadapannya. Pria itu bangkit lalu pindah duduk disamping Ana, membawa Ana ke dalam pelukannya, mengusap kepala wanita itu lalu menciumnya tidak peduli banyak orang yang memperhatikan mereka. Melihat Ana menangis Kei merasa ia harus melindungi Ana, memberikannya banyak kebahagiaan. Ana pantas mendapatkannya. Sejak mengenal wanita itu sampai saat ini, Ana cukup berharga seperti permata yang harus ia jaga tapi bukan sebagai orang yang ia cintai karena jelas ia masih mencintai Nita.

"Sst....jangan berkata seperti itu Ana. Tuhan memberikan ujian ini padamu karena kamu kuat."

"Tapi Mikail masih kecil Kei~ belum lagi minggu depan ia harus menjalani operasi besar. Ra-rasanya aku tidak tahan lagi melihat Kail kesakitan seperti itu." Jelas Ana diantara tangisannya.

"Aku tahu" Kei menangkup kedua pipi Ana, memandang wajah Ana yang berderai air mata. Ibu jarinya bergerak mengapus air mata dipipinya.

"Tapi kamu harus percaya Mikail anak yang kuat, begitupun juga kamu Ana. Kalau kamu lemah gimana Kail menjalani semuanya? ia butuh kamu, adikmu membutuhkan kakaknya yang kuat. Jangan berkata seperti itu lagi. Kamu tidak sendirian Ana ada aku." Mendengar itu tangis Ana semakin pecah memeluk Kei lalu menyembunyikan wajahnya di dada bidang Kei. Pria itu mengelus punggung kecil Ana, membiarkan Ana menangis sampai puas.

"Kamu harus percaya, Mikail menjalani ini demi kesembuhannya. Segala rasa sakitnya akan terbayarkan nanti ketika ia sembuh. Kamu bisa melihat Mikail bermain dengan teman-temannya tumbuh sebagai pria tampan yang menjaga kakaknya. Lalu nanti kamu menjadi seorang tante saat Mikail memiliki anak dengan istrinya" Tangisan Ana sudah berhenti, Ana tersenyum membayangkan ucapan Kei terjadi suatu hari nanti, Kei benar tidak seharusnya Ana seperti ini.

"Terima kasih Kei" ucap Ana melepaskan pelukannya, Ana sudah membaik perasaannya lega setelah ia menumpahkan semuanya. Kei mengangguk sembari menghapus jejak air mata yang tertinggal di wajah cantik Ana.

"Wah lihat bajuku basah karena air matamu, pasti ada bekas ingusnya juga" Ana cemberut mengusap baju Kei dengan tangannya.

"Tidak!! aku tidak sejorok itu Kei" Kei terkekeh mengusap kepala Ana lembut.

"Tidak apa-apa Ana, aku rela dilumuri ingusmu asal kamu bahagia"

"Kei jorok!!!!"

"Jadi jangan menangis lagi ya, benar kata Hobi, kamu jelek sekali kalau menangis" ucap Kei mengingat Ana pernah menceritakan tentang Hobi yang mengatainya seperti monyet.

"Kei~~menyebalkan!!" Rengek Ana membuat Kei semakin tertawa. Syukurlah Kei lega melihat Ana sudah membaik.