PELAYAN DAN TUANNYA__16th Part
Jean lalu meletakkan tangan kanannya di atas kotak tersebut sambil memejamkan mata. Bibirnya merapal beberapa kalimat mantera yang membuat kotak itu lenyap dari pandangan. Luce sampai terkesima dibuatnya. "Bukankah yang barusan itu semacam sihir teleportasi?"
"Kau melihatnya?" Jean balik bertanya, tapi kemudian dia menjelaskan, "Seluruh garis keturunan dari Kerajaan Axton dan Alcander sebenarnya tidak bisa menguasai ilmu sihir, bahkan meskipun mereka mempelajarinya, mereka hanya akan melakukan tindakan yang sia-sia. Tapi orang-orang terpilih seperti kita yang tubuhnya telah terpapar jiwa iblis dan Kegelapan, bisa mempelajarinya dengan mudah. Bahkan kau juga mungkin bisa melakukannya."
Wajah Luce semakin merah ketika sadar yang dijelaskan oleh kakaknya barusan seperti hujan berlian yang tiba-tiba jatuh dari langit. Dia tahu kalau selama ini bisa mengendalikan api Phoenix dalam tubuhnya, tapi tak menyangka kalau dia juga bisa melakukan hal ajaib lainnya jika mau belajar. Pada masa itu, sihir bukan lagi menjadi hal yang tabu, bahkan tak sedikit orang yang menghabiskan umurnya untuk mempelajari sihir, terutama sihir yang dapat mengalahkan Kegelapan.
"Aku akan mengajarimu, tapi bukan sekarang," kata Jean menyambut antusiasme Luce. "Kau sekarang harus beristirahat. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, kekuatanmu akan bangkit sebelum purnama dimulai. Tak perlu menunggu sampai saat itu, kau akan bisa mengendalikan apapun yang kau inginkan." Jean kemudian mencengkeram dadanya yang terasa sesak sambil berpikir, "Lagipula aku telah menyerahkan semua kekuatan iblisku padamu, Luce. Aku yakin, di masa yang akan datang kau bisa mewujudkan keinginan ibunda lebih baik dari yang kulakukan karena semua orang menyayangimu."
"Tuan Besar," suara Terence terdengar lantang disertai ketukan pintu kamar Jean. "Apakah anda masih sibuk?"
"Ada apa? Kenapa kau ribut-ribut begini?" tanya Jean. Dia membuka pintu setelah memastikan Luce terlelap di balik selimutnya.
"Maaf kalau saya mengganggu, Tuan," Terence terlihat gelisah. "Putra Mahkota... Maksud saya Pangeran Illarion... Beliau menunggu anda di ruang tamu. Anda sebaiknya segera turun sekarang. Beliau membawa surat perintah penggeledahan dan prajurit elit dari kemiliteran kerajaan."
"Baiklah, aku akan turun," Jean menghela napas panjang sembari menoleh kembali ke arah ranjangnya dan berusaha agar Luce tidak terbangun setelah dia menutup pintu kamar. "Kenapa orang-orang itu tak membiarkanku istirahat sebentar saja?" pria itu mengeluh dan mengusap keningnya yang berkeringat dingin. Kemeja putih yang dia kenakan sampai basah kuyup karena hal yang sama.
"Anda baik-baik saja, Tuan?" Terence tiba-tiba khawatir. "Eleanor sebenarnya sudah mencoba menahan mereka, tapi ternyata tidak hanya prajurit yang sibuk menggeledah lantai satu. Warga desa juga berkerumun di halaman depan untuk melihat apa yang terjadi. Kita tidak bisa melakukan apapun sekarang. Kalau dilihat dari situasinya, Tuan, mungkin kita harus menyembunyikan Tuan Muda untuk saat ini. Mereka akan menangkap anda kalau sampai mengetahui Tuan Muda berada di sini."
"Kau tidak perlu khawatir," Jean berjalan tertatih meninggalkan pintu kamarnya sebelum Ellgar tiba-tiba muncul di puncak anak tangga. Terence langsung menghunus pedang ke arah pria berambut pirang itu. "Tunggu, Terence!" hardik Jean membuat suasana mencekam timbul. Tak ada yang mengatakan sepatah kata pun sampai Terence menyarungkan kembali pedangnya. Namun, tiba-tiba Ellgar berlari mendekat dan meninju wajah Jean dengan penuh amarah.
*bersambung ke part berikutnya