Chereads / The Second Throne / Chapter 24 - Servant and The Master (11)

Chapter 24 - Servant and The Master (11)

PELAYAN DAN TUANNYA__11th Part

"Tuan Besar, sebaiknya anda beristirahat. Sejak semalam anda belum tidur. Biarkan saya yang menggantikan anda menjaga Tuan Muda," Terence berkata dengan tenang selama berdiri di hadapan Jean yang terus memainkan tuts piano di sisi Luce sejak semalam. Sudah hampir setengah hari, pria berambut hitam itu tak melonggarkan penjagaannya dari Luce yang sedang tertidur lelap. Semalam, salah satu bawahannya membawa pulang Luce yang dalam keadaan tak sadar. Suhu tubuhnya sangat tinggi dan dari hasil pemeriksaan medis, adiknya tersebut terkena demam. Tapi walaupun dunia semakin modern, Jean tahu bahwa demam yang diderita adiknya bukanlah demam biasa karena dia pernah mengalami hal yang sama sepuluh tahun lalu. Karena itu, Jean tak bisa meninggalkannya sendirian.

"Kalau dia terbangun nanti, apa kau bisa mengatasinya?" Jean menghentikan permainan pianonya tiba-tiba. Jemarinya hampir melepuh tanpa dia sadari dan kantong hitam di bawah matanya terlihat semakin jelas. "Dulu saat aku mengalami hal seperti ini, Paman Fletcher selalu menemaniku. Dia tahu harus berbuat apa untuk menekan kekuatan Phoenix agar tidak bangkit pada usiaku yang keenam belas tahun. Sampai sekarang, kekuatan itu benar-benar tidak bangkit dari alam bawah sadarku. Tapi Luce berbeda. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan kekuatannya. Bahkan di Alcander, semua orang tahu dia adalah monster dan mereka jadi ketakutan karena hal itu. Karena itu Luce diasingkan ke sebuah mansion di tengah hutan bersama dengan ibunda. Lalu tanpa ibunda, perlakuan mereka terhadapku di kastil pun berubah."

"Maafkan saya, Tuan Besar. Bukan maksud saya untuk mengingatkan anda akan hal itu. Saya hanya ingin mengatakan pada anda untuk menjaga kesehatan sampai saatnya nanti tiba. Untuk sekarang ini, kalau Tuan butuh sesuatu, Tuan bisa mengandalkan saya. Saya akan menunggu di luar pintu ruangan ini," ucap Terence sebelum dia pergi meninggalkan tempat itu.

"Bagaimana keadaannya?" tanya seorang gadis yang menunggu Terence di ambang pintu. Gadis itu mengenakan gaun terusan berwarna krim dengan pita manis menghias rambut cokelatnya. Namanya Eleanor St. Claire. Kedua matanya berwarna kelabu persis seperti warna mata kebanyakan penduduk Gretasha. "Apa dia masih belum sadar?"

Terence menggeleng dan menempelkan telunjuknya di depan bibir. Gadis itu sangat tahu persis apa maksudnya sampai mereka berdua berjalan agak jauh dari depan pintu yang baru saja ditutup oleh Terence. Sementara itu, Jean yang masih saja merasa bersalah karena peristiwa semalam, melanjutkan permainan pianonya meski seluruh jemarinya mati rasa. Lantunan merdunya yang memenuhi isi ruangan bergaung sampai ke dalam pikiran Luce yang sedang melayang. Dia mendengar suara Jean memanggil dari kejauhan hingga kesadarannya kembali ke tempat semula. Luce membuka kedua matanya yang berwarna merah. Perubahan dalam semalam yang membuat Jean khawatir sampai tak bisa tidur.

"Tempat ini..." Luce memandang langit siang dari jendela kaca yang sedikit terbuka di sisi ranjangnya. Angin sejuk kemudian memaksa masuk meniup kelopak kering bunga mawar yang ada di atas nakas. Tertata rapi dalam beberapa vas dengan tumpukan buku dan sepasang kacamata berantai yang dibiarkan berdebu. Luce kemudian menelisir seluruh isi ruangan dan menemukan Jean yang masih larut dalam permainan pianonya. "Melodi milik ibunda," lirih Luce sambil memaksakan diri untuk turun dari ranjang. Tangan kanannya berusaha menggapai punggung Jean dari belakang, sedangkan kakinya berjalan tertatih mengimbangi tubuhnya yang lemah. Luce memeluk Jean beberapa detik kemudian, membuat air mata pria tersebut jatuh tiba-tiba.

"Aku merindukanmu, Kak," ucap Luce lemah. Jean membelai lembut rambut adiknya tersebut sambil menyeka air matanya. "Aku juga merindukanmu, adik kecil," katanya.

***ganti scene