Dimas menatap telapak tangannya yang telah berani membelai perut bagian atas Laura, sedikit lagi, hanya sedikit lagi... Dimas tidak dapat menahan senyumannya karena hal kotor baru saja terlintas di pikirannya, tidak salah jika Laura menyematkan julukan 'brengsek' untuknya karena ia jelas tahu kalau tubuhnya selalu bereaksi berlebih jika berdekatan dengan Laura dan hubungan buruk mereka membuatnya malah semakin tertarik, ia ingin membuat Laura berada dibawah kendalinya, menuruti setiap keinginannya dan memanipulasinya. ia menyukainya, sensasi itu tidak ia dapatkan dari Wendy sekalipun.
"Sebaiknya kalian cepat menikah, mami tidak mau sampai memiliki cucu sebelum kalian resmi menikah."
Senyuman di wajah Dimas seketika menghilang saat ibunya menghampirinya yang masih berdiri di depan kamar Laura yang tertutup rapat.
"Aku hanya main-main dengannya, hubungan kami tidak akan pernah bisa lebih dari itu."
"Jadi kamu sudah siap kehilangan segalanya?"
"Mami mengancamku?"
"Mami tidak bisa membiarkan kamu terus mempermainkan Laura." Tukas Dita yang langsung berlalu, ia sama sekali tidak ragu mengatakan hal itu seakan Laura adalah putrinya sementara ia adalah orang asing.
"Jadi posisi Laura lebih tinggi daripada aku?" Ucap Dimas yang langsung membuat langkah kaki Dita berhenti dan langsung menoleh kembali ke arahnya.
"Mungkin." Jawab Dita singkat dan pasti.
Dimas hanya bisa tersenyum jengkel lalu melangkah menghampiri ibunya itu, "Maka aku akan semakin menghancurkannya, menikah dengannya bukan berarti aku tidak bisa berhubungan dengan Wendy kan? Mungkin sebaiknya aku membuat anak dengan Wendy lebih dulu sekarang. Aku akan menjadi pria paling brengsek untuk wanita yang sudah merebut kasih sayang orangtua ku."
Meskipun kalimat itu juga melukai hatinya tapi Dimas berusaha untuk tidak menangis, hatinya sakit karena sekarang ibunya terang-terangan berpihak pada Laura.
...
Sudah hampir pagi dan mobil Dimas belum juga kembali sejak kepergiannya siang tadi. Laura bukan sengaja menunggunya tapi ia hanya tidak bisa tidur jadi tanpa sadar ia menunggunya.
Atau sebenaranya aku memang menunggunya dan berharap ia cepat pulang?
Laura menghela nafas berat, sebenarnya apa sesungguhnya perasaannya kepada Dimas? Ia selalu merasa gelisah memikirkannya atau kegelisahan ini datang karena ia masih merasa patah hati atas apa yang terjadi padanya di rumah orangtuanya sehingga semua hal terasa menyakitkan sekarang?
Karena merasa pikirannya semakin kacau akhirnya Laura memutuskan untuk keluar dari dalam kamarnya dan berjalan-jalan sebentar ke taman bunga mini di halaman belakang rumah.
Lampu yang berada di setiap sudut tiang membuat tempat ini terlihat indah walaupun bunga-bunga ditaman ini tidak bermekaran. Semuanya indah kecuali hatinya yang muram sehingga semuanya tampak samar.
"Aku akan menjadi pria paling brengsek untuk wanita yang sudah merebut kasih sayang orangtua ku."
"Seberapa banyak rasa sakit yang kamu siapkan untuk ku, Dimas?" Laura bergumam pelan, siang tadi ia tidak sengaja mendengar kalimat itu terucap dari bibir Dimas kepada Dita sebelum Dimas pergi meninggalkan rumah dan membuat Dita seharian mengurung diri dikamarnya.
...
"Heh... Heh... bangun!"
Laura membuka kedua matanya perlahan saat tubuhnya terasa terguncang, lehernya terasa pegal dan tubuhnya juga kedinginan, wangi bunga langsung tercium seakan menyambutnya. Laura sadar jika ia sepertinya ketiduran di taman tapi meskipun tubuhnya pegal tapi ini membuat hatinya lebih ringan daripada sebelumnya sehingga Laura langsung membentangkan kedua tangannya seraya merenggangkan tubuhnya.
"Seger banget?"
"Banget."
"Jadi kamu alih profesi jadi tarzan wanita?"
Kalimat cibiran itu akhirnya menyadarkan Laura jika seseorang sengaja membangunkannya tadi tapi ia malah lupa dan tanpa tahu malu menikmani suasana pagi bahkan menguap dengan sangat lebar dan semua ini menjadi lebih memalukan karena Dimas lah yang membangunkannya.
"Kamu gak semalaman tidur disini kan?" Tanya Dimas yang kini sudah duduk di sebelah Laura setelah sebelumnya menggesernya dengan paksa.
"Jam tiga mungkin? Gak tau lupa!"
"Eh, kamu sengaja nungguin aku pulang?"
"Idih, ngapain?"
"Kamu kan cinta sama aku."
Laura hampir tidak dapat bereaksi saat Dimas dengan pedenya mengatakan hal itu. "Muntah boleh gak sih?" Sindir Laura menatap sinis.
"Muntah aja, tapi aku yakin gak akan bisa karena kamu seneng kan ngeliat aku pas bangun tidur."
"Dimas, mandi gih sana! Kayaknya kamu ketempelan deh."
Dimas tersenyum dan membentangkan kedua tangannya lalu dengan sengaja merangkul bahu Laura dan membawanya mendekat padanya.
"Pantesan aku ngerasa gila."
"Bener kan..."
"Tapi kayaknya bukan mandi deh,"
"Terus?"
"Gimana kalau kamu yang mandi."
"Kenapa aku?"
"Soalnya kamu bau iler."
"Idih, aku mah wangi walaupun seminggu gak mandi."
"Masa iya?"
"Iya lah..."
"Coba sini..."
Tanpa ragu Laura mendekat dan mendongakkan lehernya jadi Dimas bisa mencium aroma tubuhnya tapi bukan itu maksud Laura mendongak, bukan agar Dimas dapat mendaratkan bibirnya di lehernya dan membuat tubuh Laura membeku seketika.
"Dimas!" Tanpa ragu Laura memukul bahu Dimas dan bergeser menjauh. Oh tuhan betapa bodohnya ia yang dengan mudah terperangkap oleh bahasa Dimas yang tiba-tiba menjadi akrab tapi itu justru malah membuatnya seperti ayam goreng yang menyerahkan diri pada kucing garong.
"Gak bau sih, coba sini lagi... Sebelahnya kan belum di cek."
"Mimpi!" Laura langsung beranjak bangun dan pergi meninggalkan Dimas sendirian sambil mengipas-ngipas wajahnya yang seketika terasa panas bahkan setelah keluar dari dalam taman wajahnya masih terasa terbakar bahkan jantungnya berdebar-debar.
"Tenang Laura, ini efek baru bangun tidur. Tenang... Ini bukan sakit jantung!" Ucap Laura pada dirinya sendiri.
"Laura..."
Laura begitu terkejut saat seseorang memanggil namanya, "Bu..."
Dita sedikit murung saat Laura masih saja memanggilnya dengan panggilan "ibu" tapi ia tetap berusaha untuk tetap tersenyum dan melangkah menghampiri Laura.
"Kamu dari taman?"
"Iya bu, tadi saya mau lihat bunga sebentar."
Bahkan Laura masih saja berbicara secara formal padanya, hati Dita semakin sesak tapi ia tidak bisa mengekspresikannya. Ia tidak ingin terkesan memaksa Laura dan membuat Laura tertekan.
"Kamu mandi ya habis itu kita sarapan bareng."
"Iya bu..."
Dita baru akan membuka pintu halaman belakang setelah Laura pergi kekamarnya tapi pintu itu telah terbuka lebih dulu dan Dimas yang membukanya.
"Kamu dari mana?" Tanya Dita bingung karena biasanya Dimas tidak pernah menghabiskan waktu bersantai di halaman belakang.
"Dari taman, gak mungkin kan aku berenang sepagi ini, lagian aku juga cape habis dari rumah Wendy semalam jadi aku cuma mampir ke taman yang kebetulan ada bunga liar yang ketiduran disana jadi aku bersenang-senang sebentar dengan bunga liar itu, dia wangi dan juga lembut padahal baru bangun tidur."
"Kalau kamu hancurin Laura maka mami akan buat Wendy juga menderita."
"Terserah,"
Dita hanya bisa menahan amarahnya karena Dimas benar-benar sudah menjadi sosok yang tidak ia kenal. Ia sama sekali tidak pernah mengajarkan Dimas menjadi pria kurang ajar dan brensek tapi putra yang ia lahirkan dan ia besarkan itu baru saja berbicara seperti itu tanpa ragu kepadanya.
....