"Dimas, kamu tahu kan kalau aku hanya memiliki mu. Jika kamu tidak dengan ku maka untuk apa aku hidup?"
Dimas menghela nafas berat, pesan masuk yang Wendy kirimkan terasa seperti sebuah ancaman yang mencekiknya tapi ia tidak bisa pergi meninggalkan Laura sekarang. Sudah dua jam dan gadis itu masih belum juga sadar.
"Hey, bangunlah atau aku akan mencium mu." Ucap Dimas mencoba mengancam, ia tidak serius dengan ucapannya tapi ia berharap Laura akan bangun sekarang tapi tubuh Laura masih saja diam tidak bereaksi.
"Hey, kamu tidak takut aku akan berbuat macam-macam padamu? Aku ini pria brengsek loh." Sekali lagi Dimas bicara dengan sembarangan yang membuat perawat yang sedang memeriksa selang infus Laura sedikit terkejut mendengarnya.
"Laura..." Panggil Dimas sekali lagi, kali ini ia mencubit pipi Laura pelan namun Laura masih juga tidak bangun.
"Jangan menyesal ya, aku cium nih..." Ucap Dimas lagi, kali ini ia mendekatkan wajahnya pada wajah Laura.
"Pak, Anda tidak boleh seperti itu. Itu sama saja tindakan pelecehan." Tegur perawat yang masih juga tidak pergi walaupun ia sudah selesai memeriksa Laura. Ucapan Dimas jelas membuat perawat itu berpikir buruk tentangnya.
"Dia istri ku." Sahut Dimas berbohong, "Keluar sana." Usirnya dengan dingin tapi perawat itu masih saja diam tidak juga pergi.
"Tidak percaya?"
"Kalian tidak memakai cincin pernikahan."
"Oh Tuhan, itu urusan kami! Pergilah, apa aku harus membawa surat nikah ku dan memperlihatkannya padamu, tapi setelah itu berhentilah bekerja disini karena kebetulan rumah sakit ini milik paman ku."
Wajah perawat itu langsung pucat dalam sekejap dan segera pergi meninggalkannya.
"Dasar pengganggu!" Gerutu Dimas kesal.
"Dia tidak tahu apa kalau istri ku sangat menyukai bibir ku!" Lanjut Dimas yang sengaja meninggikan nada suaranya agar perawat yang masih terikat berdiri di depan pintu itu benar-benar pergi.
"Memangnya kapan kita menikah?"
Dimas nyaris saja terjatuh karena terkejut saat Laura tiba-tiba bicara.
"Siapa yang menikah?" Tanya Dimas mengelak sambil menyembunyikan kegugupannya, dan sejak kapan gadis jahanam ini sadar? Apa dia sengaja mempermainkannya? Dasar sialan!
"Kamu menyebut aku sebagai istri mu kan? Kamu cari kesempatan menikahi ku saat aku pingsan?" Tuduh Laura dengan galak, ia sama sekali tidak terlihat seperti wanita yang sudah pingsan sejak dua jam yang lalu.
"Jangan gila! Siapa yang ingin menjadikan mu istri?"
"Tentu saja kamu, Dimas Dirgantara!"
"Tidak, aku tidak pernah mengatakan itu, Laura Milanov. Apa kamu berhalusinasi?"
"Apa kamu mabuk? Jelas-jelas kamu yang bilang kalau aku tergila-gila dengan bibir mu dan mengatakan pada perawat jika kamu mau mengambil buku nikah kita sebagai buktinya! Jadi dimana bukunya? Aku masih belum tanda tangan kan, suami ku~"
Dimas tidak bisa berkutik, sepertinya Laura sengaja pura-pura tidak sadar karena ingin mempermalukannya. Bodohnya dia malah mengatakan hal konyol seperti itu.
"Suami ku~" Sekali lagi Laura memanggil dengan nada mengolok.
"Diam lah! Aku bukan suami mu!"
"Oh benarkah? Jadi kamu mencoba mencium wanita tidak berdaya ini dan membohongi perawat agar bisa melecehkan ku dengan leluasa? Oh, Malang sekali nasib ku."
"Hey!! Hey!!! Bahasa apa itu? Melecehkan apanya? Aku hanya... Aku hanya meledek mu saja tadi lagipula aku tidak benar-benar mencium mu!"
"Yang benar?"
"Tentu saja! Bibir mu itu sama sekali tidak manis."
"Ok..."
"Tidak lembut!"
"Lalu?"
"Tidak membuat ku ingin menggigitnya dan menyesapnya lalu memasukan lidahku dan..."
Oh Sial! Dimas mengatupkan bibirnya rapat-rapat kini, semakin ia mengelak maka bayangan sensual bibir Laura semakin menghantuinya hingga tubuhnya tegang.
Laura tentunya tertawa puas karena bisa membuat Dimas tidak berkutik dan secara tidak langsung mengakui kalau ia menyukai bibirnya.
"Oh malangnya nasib bibirku yang manis dan lembut ini, bahkan lidahku yang tidak bersalah juga jadi kambing hitam..." Goda Laura meledek.
"Diam lah!"
"Padahal bibirku ini seksi loh... Banyak pria mencoba menggodaku demi agar bisa mencium ku."
Dimas yang sebelumnya memalingkan wajah karena malu segera menoleh dan menatap Laura tidak terima. "Siapa yang sudah berani menggoda mu?"
"Rahasia..."
"Hey! Apa kamu membiarkan sembarang pria mencium mu begitu saja?"
"Sebentar coba aku ingat-ingat..."
"Laura!"
Laura kembali tertawa melihat ekspresi tegang Dimas, apa masalah dengannya jika ia sudah pernah mencium banyak pria walaupun kenyataannya hanya Dimas satu-satunya pria yang pernah menciumnya.
"Tenang saja sayang, tidak perlu cemburu karena hanya kamu yang pernah menyentuh bibirku."
Dimas langsung berdehem saat pukulan kebahagiaan menerjang jantungnya secara tiba-tiba karena Laura mengatakan jika hanya dia satunya yang pernah menciumnya.
"Siapa juga yang cemburu? Aku tidak perduli kamu mau berciuman dengan siapapun!"
"Oh ya? Ide bagus, aku harus coba rasa lain. Untuk jadi jalang kan harus banyak menjelajah..."
"Chu~" Dimas tidak tahan lagi dengan ucapan Laura sehingga tanpa sadar ia memotong ucapan Laura dengan membungkam bibirnya dengan bibirnya dan membuat Laura tertegun seketika. Dimas yang terkejut dengan perbuatannya sendiri langsung bergerak menjauh dan menyembunyikan wajahnya yang terasa terbakar.
"Ya baiklah, apa daya kalau suami ku yang brengsek sudah cemburu~" Cicit Laura dengan gugup. Ia berusaha untuk tidak menunjukan kegugupannya tapi sialnya jantungnya tidak terkendali, bedetak begitu cepat sampai-sampai Laura takut jika Dimas akan dapat mendengar detak jantungnya dan sepertinya caranya berhasil karena Dimas langsung melirik tajam ke arahnya.
"Awas jika kamu berani! Kamu hanya boleh menjadi jalang ku!" Bisik Dimas dan kali ini Laura tidak bisa mengatakan apapun selain bergeser menjauh. Entah sejak kapan ancaman Dimas terdengar begitu menakutkan padahal biasanya ia akan langsung membalasnya dengan ancaman lain.
Dita dan Pratama yang mengintip kemesraan Laura dan Dimas dari balik pintu tentu saja senang karena sepertinya Dimas dan Laura memang memiliki perasaan satu sama lain hanya saja mereka mengungkapnya dengan kata-kata dan perlakuan yang tidak seperti pasangan normal pada umumnya.
Sebenarnya Dita dan Pratama cukup terkejut ketika mereka datang dan seorang perawat datang menghampiri mereka dengan wajah khawatir mengatakan jika ada seorang pria brengsek yang mencoba mengambil kesempatan dari kondisi Laura yang belum sadar dan pria itu mengaku suami Laura jeas Dita dan Pratama panik karena Laura belum menikah tapi pemandangan ini jelas membuat mereka tenang.
"Ehem... Ehem.... Sepertinya kami mengganggu?" Pratama membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan Dita masuk lebih dulu, kehadiran mereka langsung membuat Laura dan Dimas terkejut dan saling menjauh.
"Tenang saja, kami hanya mengintip sedikit." Ucap Dita setelah meletakan tasnya diatas meja lalu menghampiri Laura, sikapnya yang tenang justru membuat Laura semakin tegang.
"Kamu sudah merasa lebih baik sekarang?" Tanya Dita.
"Sudah, hanya masih sedikit lemas." Jawab Laura tersenyum tipis, ia mendadak takut jika Dimas akan memarahinya jika ia bersikap manis pada Dita meskipun ia sangat ingin.
"Mata kalian bengkak, kalian habis bertengkar hingga menangis?" Tanya Pratama setelah menyadari jika mata Laura dan Dimas sedikit bengkak dan memerah. Baik Laura dan Dimas, mereka tidak bisa menjawab dan hanya diam.
"Dimas menangis karena mu?" Pertanyaan Dita kali ini terdengar seperti tuntutan yang harus di jawab. Dada Laura terasa sesak, ia takut jika Dita akan memarahinya karena sudah membuat Dimas menangis.
"Aku tidak menangis karenanya." Dimas akhirnya angkat suara karena Laura terus saja diam, ia tidak mengerti kenapa Laura tidak mengambil kesempatan ini untuk menjatuhkannya padahal biasanya ia selalu melakukannya.
"Lalu kenapa mata kalian bengkak?" Pratama sepertinya masih meyakini jika mereka bertengkar sampai menangis. "Laura pingsan bukan karena bertengar dengan mu kan?" Tuduh Pratama yang membuat Dimas seketika menjadi kesal. Mereka mulai lagi! Sikap Pratama membuat Dimas merasa cemburu dengan Laura.
"Aku menangis karena bertengkar dengan kakak ku dan Dimas membantu menenangkan ku, mungkin ia terbawa emosional jadi ikut menangis. Maaf karena aku membuat putra kalian yang berharga menangis."
"Apa pingsan membuatmu jadi gila?" Bisik Dimas yang tidak percaya jika Laura akan membelanya bahkan menyebutnya sebagai putra yang berharga. Dimas yakin jika kepala Laura tidak membentur apapun saat ia membawanya ke rumah sakit.
"Aku hanya sedikit berbaik hati karena kamu sudah mau memeluk ku saat aku hancur." Jawab Laura yang jaga berbisik lembut tapi suaranya terdengar sendu ketika mengatakan jika ia hancur sebelumnya.
Rasa khawatir kembali merasuki jantung Dimas, ketakutan kembali muncul saat ingatan itu kembali datang, ia tidak pernah melihat Laura sehancur itu sebelumnya dan tanpa sadar jarinya menyentuh tangan Laura dan menggenggamnya seakan tidak ingin membiarkan Laura hancur sendirian.
Laura tidak mengerti mengapa Dimas terang-terangan menggenggam tangannya padahal ada kedua orangtuanya dan meskipun ia sudah mencoba menarik tangannya tapi Dimas tidak memberikan celah sedikitpun sehingga Laura hanya bisa pasrah.
Melihat Laura dan Dimas berbisik mesra lalu setelah itu berpegangan tangan membuat Pratama dan Dita memilih untuk tidak menintrupsi. Mereka senang dengan pemandangan langka ini.
...