"Sudah sore, mami dan papi pulanglah. Aku yang akan menjaga Laura disini."
"Apa angin rumah sakit membuatmu menjadi baik?" Laura tidak kuasa menahan ucapannya yang meluncur begitu saja karena Dimas tiba-tiba menawarkan diri akan menjaganya dan lupa jika Dita dan Pratama ada bersama mereka.
"Bukan karena angin, aku memang baik sejak lahir." Protes Dimas tidak terima.
"Masa sih?"
"Tentu saja, kalau tidak baik maka aku akan melemparkanmu dari tangga bukan malah menggendongmu sampai sini!"
"Oh, astaga... aku tersentuh."
Dimas sudah menunjukan senyuman bangganya tapi Laura kembali berkata dengan nada menyebalkan, "Siapa suruh keluar lewat tangga kan bisa pakai lift."
"Hei yang lari ke tangga duluan kan kamu!"
"Tapi kan itu perginya kenapa pulangnya juga harus turun tangga? Siapa yang mengandengku?"
"Aku..."
"Berarti salah siapa?"
"Kamu."
"Kok aku?"
"Siapa suruh pingsan, kalau tidak aku sudah menghajar kakak mu. Membuat tanganku gatal saja."
"Aku kan sudah menamparnya tadi, kamu bisa menghajarnya lain kali."
"Ish, tapi aku ingin sekali menjahit bibirnya yang jahat itu, dia membuatmu menangis sampai gemetaran."
Dita dan Pratama saling memandang bingung perdebatan antara Laura dan Dimas karena sepertinya Laura dan Dimas lupa akan keberadaan mereka.
"Memangnya apa yang dikatakan oleh kakak mu kepadamu?" Tanya Dita mendekat, ia terlihat sangat marah begitu juga dengan ekspresi Pratama yang terlihat mengeratkan rahangnya.
"Itu..." Luka itu kembali muncul, Laura tidak ingin mengatakannya karena hatinya langsung hancur begitu mengingatnya.
Ekspresi Laura yang kembali menjadi murung membuat Dimas langsung duduk di tepi ranjangnya lalu menggenggam tangannya erat.
"Itu hanya pertengkaran biasa, seperti aku dan kakak dulu." Ucap Dimas menenangkan orangtuanya yang terlihat sangat marah.
"Tapi Laura sampai menamparnya, itu pasti karena alasan lain."
"Bu..."
Dita seketika terdiam saat Laura masih memanggilnya dengan panggilan ibu, ia menatap wajah Laura yang terlihat menahan air matanya.
"Aku baik-baik saja, itu hanya pertengkaran biasa."
Hati Dita terasa sesak karena Laura tidak mau terbuka padanya, ia merasa Laura mendirikan tembok yang sangat tinggi hingga ia kesulitan untuk menggapainya padahal ia ingin sekali memeluknya sekarang dan menenangkannya.
Karena tidak ingin menunjukan kesedihannya akhirnya Dita memilih untuk pulang bersama dengan Pratama. Sekarang hanya ada Laura dan Dimas sendirian.
Ingin sekali rasanya ia bersandar pada sosok orang tua tapi Laura tidak bisa melakukannya sekarang, Dimas terluka karena itu dan Laura tidak ingin menyakiti Dimas dengan cara itu.
"Ada banyak cara menyakitimu, aku tidak bisa menggunakan orangtua mu." Gumam Laura pelan, suaranya terdengar tertahan menahan tangis sementara Dimas tidak dapat mengatakan apapun selain hanya berada disisinya.
"Maaf karena aku membuatmu merasa jauh dengan orangtua mu, aku akan pindah besok." Lanjut Laura sebelum akhirnya berbaring dan memilih untuk memejamkan matanya.
"Kamu ingin kabur lagi?" Tanya Dimas, suaranya terdengar gelisah sehingga Laura tidak dapat mengabaikannya begitu saja.
"Bukan kabur tapi menjauh."
"Kamu bilang kamu menyanyangi mereka dengan tulus kan lalu kenapa mau menjauh?"
"Karena kamu tidak menyukainya."
"Sejak kapan kamu memikirkan perasaan ku?"
"Dimas..." Seakan ingin menghentikan perdebatan ini, Laura akhirnya menoleh dan menatap Dimas.
"Aku hanya ingin menyakitimu bukan orangtua mu. Mereka akan terluka kalau tahu aku membenci putra mereka satu-satunya."
"Istirahatlah."
Dimas tidak tahan dengan percakapan ini jadi ia memilih pergi menjauh meninggalkan Laura di ranjang rawatnya sementara ia berdiri menatap jendela. Rasa sesak itu muncul setiap kali mereka membahas hal ini.
Akan lebih baik jika rasa benci yang memenuhi relung hatinya bukannya rasa bersalah yang membuatnya sesak seperti ini. Dimas masih ingat bagaimana ibunya kecewa saat Laura menolak menceritakan tentang pertengkarannya dan kakaknya, perasaan ini mengganggunya. Seharusnya ia senang karena Laura akhirnya menjauhi orangtuanya tapi kenapa... Kenapa rasanya hatinya terluka?
"Kamu mau makan?" Tanya Dimas mencoba mencairkan suasanya yang semula terasa sangat dingin. Laura yang memang tidak tidur sejak tadi akhirnya membuka kedua matanya kembali.
"Kamu pergilah makan, aku tidak lapar." Jawab Laura dengan dingin.
"Yang sakit itu kamu bukan aku!" Hanya marah yang dapat Dimas luapkan untuk meringankan sedikit sesak di dadanya.
"Maafkan aku." Ucap Dimas menyesal karena sudah berteriak, ia kemudian melangkah mendekati Laura dan menatapnya hangat.
"Mau makan apa?" Tanya Dimas kali ini dengan lembut.
"Sepertinya angin rumah sakit tidak cocok dengan mu, jangan bersikap lembut seolah aku akan mati besok." Hanya mengelak yang dapat menyelamatkan akal sehatnya, sikap hangat Dimas akan mencairkan hatinya dengan mudah, ia mungkin akan tenggelam karena itu.
"Kamu bergerak terlalu dekat, Dimas... (aku tidak ingin hatiku salah mengenali kamu jika kamu adalah kekasihku padahal kamu musuh)."
Walaupun Laura sudah memperingatkannya tapi Dimas tetap saja mendekat, tangannya yang hangat menyentuh wajah Laura dan membelainya.
"Aku tahu kamu lelah hari ini, ayo jangan bertengkar lagi, lanjutkan saja bencinya besok."
Untuk sesaat Laura terdiam, ucapan Dimas membuatnya berpikir Itu benar, ini adalah hari yang sangat panjang, masalah datang terus menerus hari ini, mulai dari pertengkarannya dengan Dimas, lalu keributannya dengan Wendy, perdebatannya dengan Wisnu dan terakhir saat ia harus bersikap dingin kepada Dita. Masalah itu bertumpuk-tumpuk jadi satu dan menindihnya hingga rasanya ia sulit bernafas sekarang walaupun Dimas sempat membuatnya lebih baik dengan candaan mereka tapi beban itu masih terlalu berat hingga detik ini.
Akhirnya senyuman tipis kembali terukir di bibir Laura, ia berusaha menyingkirkan semua bebannya hari ini meskipun sulit.
...
"Aku bisa makan sendiri, tidak ada orangtua mu disini, jangan sok baik." Ucap Laura menolak suapan yang Dimas berikan dan mencoba merebut mangkuk bubur dari tangan Dimas tapi Dimas menolaknya, tatapannya memaksa membuat Laura hanya bisa menurut.
"Tenang saja, aku tidak menaruh racun apapun di bubur ini. Makan saja agar besok kamu bisa keluar dari rumah sakit."
"Kalau kamu menyuapiku bagaimana kamu makan?"
"Seperti ini."
Laura membulatkan kedua matanya saat Dimas makan dengan sendok dan mangkuk yang sama dengannya. "Jangan pura-pura terkejut, ini bukan pertama kalinya kan."
"Ya mau bagaimana lagi, aku tidak bisa mencegahmu yang ketagihan dengan air liur ku." Ledek Laura membuat Dimas seketika tersedak.
"Bagaimana bisa seorang wanita berkata jorok seperti itu saat makan?" Dimas mengocek setelah dia menenggak habis air minum sementara Laura masih tetap saja tertawa.
"Itu hanya ucapanku, kamu bertindak langsung."
Dimas hanya bisa menghela nafas pasrah, ia kalah kali ini.
Selesai makan Dimas membawa Laura menuju kamar mandi untuk membantunya mencuci wajahnya walaupun ada 'drama' penolakan sebelumnya dari Laura namun akhirnya Dimas lah pemenangnya karena ia tetap menggendong Laura dan tidak membiarkan kakinya menyentuh lantai sedikitpun. Sampainya di kamar mandi, Dimas segera menurunkannya diatas wastafel.
"Kamu gila, menyingkirlah aku mau turun." Pinta Laura tapi Dimas malah berdiri tepat diantara kedua kakinya sehingga ia tidak bisa pergi kemanapun bahkan sekarang ia harus sedikit mencondongkan tubuhnya kebelakang agar wajah mereka tidak terlalu berdekatan.
"Ini rumah sakit, Dimas... Keluarlah, aku bisa mencuci muka ku sendiri." Ucap Laura gugup sekaligus takut jika ada perawat yang tiba-tiba datang untuk mengecek kondisinya.
"Kenapa kamu begitu gugup? Aku tidak akan melakukan apapun hanya akan membasuh wajahmu." Tanya Dimas, senyuman terukir lembut diwajahnya, ia jarang sekali menunjukan ekspresi seperti ini dan itu membuat jantung Laura kembali berdebar tidak karuan.
"Dimas kamu tidak cocok memasang ekspresi seperti itu." Ucap Laura yang merasa jika ia akan segera terkena serangan jantung jika terus melihat wajah Dimas yang tersenyum hangat dari jarak yang sedekat ini.
"Ekspresi apa?"
"Ekspresi seperti itu..."
Dimas kemudian memiringkan wajahnya agar bisa melihat ekpresi apa yang Laura maksud.
"Wajah ku masih tampan, apa yang salah?"
Oh Ayolah, memangnya kamu pernah jelek? Tidak mungkin kan aku mengatakan itu kan, Dimas?
Laura nyaris frustasi, ia tidak bisa mengatakan jika ia terpesona dengan ketampanan Dimas selain hanya bisa mengeluh dalam hatinya.
"Sudahlah, cepat basuh wajahku, tempat ini terlalu sempit untuk kita berdua."
Dimas akhirnya mengambil handuk dari rak diatas kepala Laura lalu membasahinya dengan air, ia kemudian membasuh wajah Laura dengan hati-hati tapi karena Laura terlalu mencondongkan tubuhnya kebelakang dan membuatnya kesulitan membersihkan sisa lipstik yang menempel di bibir Laura ahirnya Dimas menarik pinggang Laura dan membuat tubuh mereka nyaris tidak berjarak.
"Lipstiknya tidak mudah hilang." Ucap Dimas pelan, matanya terus tertuju pada bibir Laura sementara Laura hanya bisa menahan nafasnya sebisa mungkin.
Situasi ini lebih mencekam daripada rumah hantu yang pernah ia kunjungi dan membuatnya dihantui mimpi buruk selama beberapa hari, padahal mereka sudah sering berciuman tapi tidak pernah sedikitpun Laura tidak merasa gugup dan sekarang ia lebih gugup daripada situasi yang pernah ia rasakan saat berciuman dengan Dimas padahal Dimas tidak sedang menciumnya sekarang.
"Apa sakit?" Tanya Dimas.
"Ya?" itu terdengar seperti sebuah jawaban bagi Dimas padahal Laura tidak mendengar sedikitpun apa yang Dimas katakan, kegugupannya membuat suara Dimas terdengar samar.
Karena takut akan membuat bibir Laura iritasi jadi Dimas meletakkan handuknya dan mulai menyeka bibir Laura dengan ibu jarinya.
"Aku bisa membersihkannya sendiri."
Jika ada bendera putih maka Laura sudah mengibarkannya, ia menahan tangan Dimas yang menyentuh bibirnya. Apa yang sudah terjadi pada tubuhnya? Kenapa rasanya ia ingin meledak?
"Tapi aku ingin melakukannya."
Oh Tuhan, selamatkan aku... Pria brengsek ini bahkan sudah merubah tone suaranya dan itu terdengar sangat seksi. Oh pikiranku yang kotor, enyahlah!
....