Dimas melempar jaketnya ke tempat tidur dengan kasar, setiap kali ia berhadapan dengan ibunya setiap itu juga hatinya terluka karena selalu Laura yang diperhatikan. Semuanya seakan membawanya kembali ke masa-masa saat kakaknya masih hidup dulu. Ia merasa dibuang dan tidak diperlukan lagi.
Semalaman ia pergi, akan lebih baik jika ibunya memarahinya dan meneriakinya tapi Dita malah tidak marah sedikitpun dan terkesan tidak perduli padahal saat Laura menghilang ibunya sampai hampir tidak bisa tidur dan terus meneleponnya bertanya apa ia sudah menemukan Laura.
Kenapa berbeda? Aku kan anak kalian sementara dia hanya orang asing...
Ini lebih menyakitkan karena ibunya hanya marah jika itu menyangkut tentang Laura.
Suara ketukan pintu membuat Dimas dengan cepat menyeka air matanya dan langsung membuka pintu.
"Kamu belum juga mandi? Kita harus sarapan."
"Aku malas, mami sarapan aja sama anak kesayangan mami."
"Anak mami kan cuma kamu."
Hati Dimas seketika menghangat, seperti anak kecil yang merajuk dan baru saja di belikan permen, Dimas tidak bisa menyembunyikan senyumannya.
"Terus Laura?"
"Dia kan calon menantu idaman."
"Kalau begitu mami harus punya akan satu lagi buat di nikahin sama Laura!"
"Yang bener aja kamu masa mami harus hamil lagi, yang bener itu kamu sama Laura punya anak biar mamin bisa gendong cucu."
"Padahal aku udah bilang kalau aku habis buat anak sama Wendy semalam."
"Mami harap anak itu tidak pernah lahir."
"Mami kejam."
"Karena mami sudah membesarkan pria brengsek jadi gak masalah dong kalau mami jadi kejam?"
Dimas seketika terdiam, kenapa Dita semakin terlihat seperti orang asing?
"Sebenernya mami yang gak sayang kamu atau kamu yang gak sayang sama mami?" Tukas Dita sebelum akhirnya pergi meninggalkan Dimas yang hanya bisa bungkam dan tidak bisa membalas ucapannya yang menusuk.
>>>
Dita dan Pratama baru akan memulai sarapan saat Laura dan Dimas akhirnya tiba di meja makan padahal mereka mengira jika mereka berdua menolak untuk sarapan bersama.
"Datengnya barengan kayak pengantin baru aja." Goda Dita yang membuat Laura dan Dimas langsung merinding seketika dan menoleh satu sama lain dan setelah itu dengan cepat saling memalingkan wajah.
"Udah gak sabar mau nikah?" Pratama ikut menimpali yang membuat Laura semakin gugup tidak berbeda dengan Dimas, mereka bahkan kebingungan menentukan kursi mana yang akan mereka duduki.
"Astaga, kamu kan biasa duduk di samping papi, Dim..."
Ucapan Pratama berhasil membuat Laura dan Dimas menemukan tempat duduk dengan benar.
"Kamu pakai baju kerja, memangnya sudah mau masuk?" Tanya Dita pada Laura.
"Iya bu,"
"Bukan untuk mengundurkan diri kan?" Pratama langsung menyerang dan membuat Laura diam tidak dapat menjawab sementara Dimas menoleh dan menunggu jawaban Laura. Padahal jelas-jelas dulu ia menginginkan Laura berhenti dari perusahaannya tapi ini justru membuat Dimas merasa tegang bahkan ada perasaan tidak rela di sudut hatinya.
"Laura..." Panggil Dita, ia menyentuh punggung tangan Laura dengan lembut agar Laura tidak hanya diam.
"Mami gak masalah kalau kamu mau berhenti kerja tapi kamu tidak berniat pergi ninggalin kami kan?"
"Kalau aku disini, hubungan kalian gak akan baik-baik aja."
Dimas seketika tersentak mendengar jawaban Laura, apa dia memikirkan perasaanya? Apa Laura sadar jika hubungannya dengan orangtuanya semakin memburuk karena kehadirannya?
"Hubungan siapa? Kita semua baik-baik aja kan?" Pratama menolak alasan itu, ia yakin tidak ada yang salah kecuali Dimas sedikit cemburu padanya.
"Iya kan, Dim?"
"Iya..."
Dimas tidak dapat membantah, ayahnya akan menjadikannya gembel saat ini juga jika ia mengatakan yang sebaliknya. Ia hanya perlu membuat Laura menolak dengan sendirinya maka ia akan terbebas dari jeratan memaksa ini.
"Kalau begitu kalian berangkat bareng aja agar kalian bisa membicarakan banyak kesalahpahaman diantara kalian."
>>>
"Kesalah pahaman... Maksudnya tentang kamu yang pura-pura polos kan?" Ucap Dimas saat ia dan Laura dalam perjalanan menuju kantor.
"Atau kamu yang membenciku tapi tergila-gila padaku?" Sahut Laura tidak mau kalah.
"Memang ada kesalahpahaman disitu." Ucap Dimas menoleh dan menyeringai. "Naluri brengsek ku selalu terpanggil oleh wanita jalang sepertimu." Lanjutnya tidak lupa ia menyentuh rambut Laura dan menciumnya.
"Alibi yang lumayan, pria brengsek memang selalu beralasan agar terlihat baik." Tepis Laura, ia dengan mudah menyingkirkan tangan Dimas dari rambutnya.
"Ini aneh karena kamu terlihat tidak tahan melihatku terluka tapi kamu selalu saja mencoba menyakitiku." Ucap Laura lagi yang dengan tenang memainkan kukunya seakan tidak tergoda sedikitpun oleh sentuhan Dimas yang tetap bermain-main dengan rambutnya padahal ia sudah menyingkirkan tangannya sebelumnya.
"Karena hanya aku yang boleh menyakitimu."
"Jangan terlalu posesif padaku, aku tidak sedang jatuh cinta padamu, Dimas."
"Jadi ada kalanya kamu jatuh cinta padaku?"
Laura tidak lantas menjawab, ia senang karena waktunya tepat karena mereka telah sampai di perusahaan dan Laura langsung turun tanpa memberikan jawaban apapun pada Dimas.
"Jadi kapan?" Teriak Dimas karena Laura terus melangkah menjauh.
"Kapan kamu akan jatuh cinta padaku?"
Laura menghentikan langkahnya begitu juga dengan semua orang yang mendengar teriakan Dimas yang dengan jelas di tujukan kepadanya.
"Sampai kamu berhenti membenciku?" Jawab Laura yang membuat semua pegawai perusahaan yang menyaksikan 'drama' mereka semakin penasaran.
"Apa gak ada cara lain?"
"Ada..."
"Apa?"
"Sampai kamu jatuh cinta padaku?"
"Bagaimana ini..." Dimas tiba-tiba saja bergumam pelan dan memasang ekspresi sedih lalu melangkah satu langkah lebih dekat dan berbisik ,"Aku berniat mematahkan hatimu saat itu."
Laura tahu jika Dimas sengaja melakukan semua ini agar mereka menjadi bahan perbincangan, karena semua hal yang Rini ceritakan saat ia bersembunyi adalah rumor tentang Dimas yang tergila-gila padanya dan dengan begini sudah pasti jika rumor itu akan berubah.
"Heh pak Direktur!" Panggil Laura dengan lantang saat Dimas baru akan memasuki lift.
"Lihat siapa yang lebih dulu patah hati." Segera setelah Laura mengucapkan kalimat itu dan pergi memasuki lift lain, sebuah pesan datang dari Laura yang mengirimkan tangkapan layar tentang chat-nya dan Wendy.
"Aku tinggal dengan Dimas sekarang." Pesan itu singkat tapi dibawahnya ada foto kebersamaan mereka saat sarapan tadi yang diambil oleh Dita.
"Gadis picik!!!"
"Jangan lupa perangnya mulai hari ini kan?" Chat kembali muncul dan itu berhasil membuat Dimas mengeratkan rahangnya.
....
"Dimana Laura?" Tanya Dimas saat tiba di ruangan asisten Laura dengan wajah marah menyeramkan dan langsung membuat semua orang tegang.
"Ada apa mencari ku? Sudah rindu?" Tanya Laura dengan tenang dan melangkah menghampiri Dimas.
Ia tahu jika semua asistennya sedang berbisik sekarang dan itu membuatnya semakin menyenangkan.
"Kita perlu bicara!"
"Tidak mau!"
"Jangan buat aku memaksa mu!"
"Paksa saja ..."
Dimas sungguh gemas, jika saja Laura adalah seorang laki-laki maka ia sudah menghajarnya sejak tadi.
"Kamu harus jelasin semuanya ke Wendy, atau..." Bisik Dimas, ia menahan sekuat tenaga kekesalannya tapi Laura tanpa perduli memotong pembicaraannya. "Atau apa?" Itu jelas sebuah tantangan.
"Kita kan memang tinggal bareng sekarang." Bisik Laura, ia menyeringai sebelum mendorong tubuh Dimas dan pergi melewatinya begitu saja dan itu membuat Dimas dua kali menjadi lebih kesal daripada sebelumnya. Ia segera menyusul langkah Laura dan menariknya ke sudut tembok dan menempatkan kedua tangannya di atas kepala Laura.
Tatapan mata Dimas menyorot tajam mencoba mengintimidasi Laura tapi Laura sama sekali tidak gentar, ia menatap balik Dimas tanda menantang.
"Jangan seret Wendy dalam hubungan kita!"
"Hubungan yang mana? Bukannya sejak awal diantara kita ada dia?"
"Ini permusuhan kita! Dia jelas-jelas sahabat kamu sejak lama, bagaimana bisa kamu tega membuat dia menderita."
"Maka seharusnya kamu berhenti kemarin. Padahal aku sudah menyerah kemarin. Aku berniat pergi setelah berkas-berkas ku selesai tapi kamu malah mencari ku, gelisah seakan tidak bisa hidup tanpa ku jadi bagaimana mana bisa aku tega melepaskan mu sekarang?"
"..."
"Bukan Wendy kan yang ada di hatimu tapi aku, sejak awal itu tempatku..."
"..."