Chapter 39 - OSIS

"Kamu pikir aku bakal ngijinin kamu? Sampai detik ini aku masih jadi ketua OSIS ya. Aku ga mau ngorbanin piala bertahan robotik kita gara-gara kamu ga fokus." ujar Kak Sendy.

Astro tersenyum lebar sekali, yang justru membuatku berpikir dia memang sedang bercanda.

"Udah coba pasang poster di mading kalau kita mau buka klub lukis?" aku bertanya.

"Ga bisa, Za. Kecuali kalau klubnya udah dapet ijin dari pak Sugeng." murid laki-laki yang tadi menyapa Astro dan membahas klub basket yang menjawabku.

"Kalau bikin selebaran aja, trus dibagiin ke murid?" aku bertanya lagi.

"Itu juga ga boleh. Sekolah kita punya kebijakan ramah lingkungan. Bikin selebaran pasti buang banyak sumber daya dan biasanya anak-anak cuma liat sebentar trus dibuang gitu aja. Fungsi mading sebenernya buat bikin kita jadi ga buang-buang sumber daya kayak gitu." ujar Kak Sendy.

"Aku coba tanya anak-anak kelasku dulu ya. Mungkin ada yang mau ikut." ujar Zen.

"Okay. Nanti kalau ada yang punya temen atau cara apapun buat kita bisa nambahin member, kabarin aku." ujar Kak Sendy sambil menatapku dan Zen bergantian.

"Okay, Kak." ujar Zen.

"Kalian aku daftarin jadi kandidat pengurus OSIS selanjutnya ya? Pengurus yang lama udah harus fokus buat ujian. Waktunya kalian ambil alih."

"Kapan pemilihan pengurus barunya, Kak?"

"Dua minggu lagi kayaknya. Nanti aku pastiin ke pembimbing dulu. Kamu mau daftar?"

"Boleh."

"Faza juga ya?"

"Mm ... aku kayaknya ga bisa. Ada banyak kegiatan di luar dan kayaknya ga akan sempet ngurusin OSIS." ujarku.

"Kayak Astro aja kamu kalau diajakin kegiatan sekolah susah banget. Bilang ga sempet terus." ujar Kak Sendy sambil melirik ke arah Astro.

Aku hanya memberinya senyumku yang paling biasa. Aku tak mampu menemukan kalimat yang tepat untuk membalas kalimatnya.

"Bener tuh. Such a wasting talent (Sia-sia banget bakatnya). Padahal kamu bisa jadi kapten berikutnya kalau kamu lanjut jadi member klub basket." ujar murid laki-laki yang membahas klub basket sambil melirik Astro dari sudut matanya.

"Sorry, ada yang lain yang lebih penting yang harus dikerjain." ujar Astro.

"Tuh kan! Sama persis ngomongnya, beda bahasa doang. Oh ya, aku Novan, kapten tim basket sekolah kita. Kita belum kenalan." ujar murid laki-laki itu sambil mengulurkan tangan padaku, tepat saat bel masuk berbunyi.

"Udah bel. Kita balik dulu ya." ujar Astro sambil menggeser arah kursiku, membuatku tak mampu menyambut uluran tangan Kak Novan.

"Mm ... duluan ya, Kak." ujarku sambil bangkit dan menundukkan bahu sebagai salam dan juga permintaan maaf karena sudah bersikap tak sopan. Aku sempat mendengar Kak Novan dan Kak Sendy membuat lelucon tentang Astro yang tak ingin aku disentuh orang lain saat kami berjalan menjauh. Aku juga sempat melihat tatapan Zen yang mengikuti langkah kami di belakang.

Kami bertiga menyusuri koridor lantai empat dan menuruni tangga dalam diam. Kami baru saja sampai di tangga terakhir saat Astro membuka suara, "Nanti pulangnya hati-hati. Bareng Siska kan?"

Aku hanya mengangguk dan dia langsung memisahkan diri menuju kelasnya.

"Jadi urusan kamu sebelum naik tadi tuh minta ditemenin Astro?" Zen bertanya, yang entah kenapa seolah dia sedang merasa tersinggung.

"Ga kok. Aku ketemu Astro waktu mau naik tangga. Dia yang nawarin mau nemenin."

"Maksud kamu dia biasa muncul di mana-mana kalau ada kamu gitu?" Zen bertanya sambil mendengkus saat mengatakannya.

"Astro emang gitu dari dulu. Tiba-tiba ada." ujarku untuk membenarkan kalimatnya.

Zen terlihat tak percaya, "Kalian kenal dari kapan sih?"

"Waktu kita kelas lima."

Zen menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti saat sampai di depan pintu kelas kami. Namun kami mendapati guru sudah bersiap untuk memberikan materi, maka kami tak membahas apapun lagi.

***

Beberapa hari setelahnya tak ada sesuatu yang aneh terjadi. Aku meminta Astro untuk menjemputku lebih pagi dan menghabiskan sarapan di koridor depan kelasku. Aku ingin memastikan apakah akan ada kejadian kedua dari kotak berisi cacing fosfor, tapi tak ada kejadian apapun lagi.

Hal ini membuatku memiliki kesimpulan, sepertinya yang meletakkan cacing datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Hari itu aku sedang berada di depan kelas Astro dan aku tak memperhatikan gerak siapapun di kelasku. Tasya pun sepertinya menjaga hal itu menjadi rahasia kecil kami. Hingga membuatku tak terlalu khawatir akan ada pembahasan apapun lagi tentang cacing fosfor.

Yang membuatku masih penasaran adalah siapa yang menaruh dan dengan motif apa. Dengan banyaknya kejadian yang terjadi di sekitarku beberapa waktu belakangan ini, sepertinya siapa saja bisa membuat rencana iseng seperti itu.

"Duh panas banget! Pak Dan pakai milih olahraga outdoor lagi." ujar Donna yang baru saja duduk di sebelahku, mengeluhkan kebijakan guru yang mengajak berlari jarak jauh dengan berkeliling keluar gedung sekolah.

Aku tak merasa keberatan dengan hal itu, justru merasa terhibur karena bisa melihat situasi lingkungan sekolah. Beberapa saat lalu aku sempat bertemu anak-anak kecil yang bermain di sekitar rumah mereka. Aku juga menyempatkan diri menyapa orang tua kutemui dalam perjalanan. Yang paling berkesan untukku, aku sempat memergoki Reno dan beberapa murid lain sengaja berlari lambat agar bisa membeli beberapa camilan yang tak dijual di kantin sekolah kami.

Kami sedang mengistirahatkan tubuh di bawah pohon rindang di sekitar halaman. Sejuk sekali di sini, dengan angin semilir yang membelai beberapa saat sekali.

"Ayo semangat dong! Abis rekreasi kok lemes?" ujar Pak Dan yang menyebut berlari keliling sebagai salah satu bentuk rekreasi. "Bangun kalian anak muda! Ayo ke lapangan olahraga. Kita ada penilaian senam lantai."

Beberapa murid secara terbuka memberikan protes pada Pak Dan karena memberi jadwal penilaian mendadak. Sepertinya dibandingkan dengan guru yang lain, Pak Dan merupakan guru yang paling dekat dengan murid. Dengannya selalu terasa sedang berinteraksi dengan teman sendiri, walau tentu saja kami tetap menghormatinya sebagai seorang guru.

Kami semua beranjak dari tempat beristirahat, lalu bersama-sama menuju lapangan olahraga di gedung olahraga yang terpisah. Untuk sampai di sana, kami harus melewati mading dengan lukisanku dan Zen yang terpampang di dinding di sebelahnya. Tepat di depan mading, aku mendapati Angel dan Astro sedang menempel sesuatu.

"Astro bagus deh bikin desain posternya. Pasti banyak yang dateng nonton. Nanti aku spesial minta daddy dateng liat penampilan robot kita. Sekalian aku kenalin daddy ke kamu."

Aku mendengar dengan jelas saat Angel mengatakannya. Bahkan kurasa aku sempat melihatnya menatapku, dengan pijar api yang berkobar dan mungkin akan sanggup membakar apapun.

=======

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte

Novel ini TIDAK DICETAK.

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!

Regards,

-nou-