"Aku udah denger kelas kamu jadi kelas percontohan kebijakan jaga kunci." ujar Astro tiba-tiba.
Kami sedang dalam perjalanan ke resort hari ini. Sudah hening cukup lama karena aku sibuk berkutat dengan laptop dan mengotak-atik berbagai foto yang akan kupakai untuk tampilan website baru buatan Astro.
"Cepet banget nyebarnya." ujarku asal saja.
Seperti yang sudah Zen jelaskan padaku, kebijakan itu adalah saran darinya, yang entah bagaimana mampu meyakinkan Bu Gres dan Pak Sugeng. Zen berkata dia tak ingin ada kejadian bullying terjadi padaku atau yang lainnya.
"Aku tau itu saran Zen." ujar Astro yang membuatku menghentikan pekerjaan dan menoleh padanya. "Semua kebijakan yang diambil di sekolah biasanya dilaporin dulu ke staf yayasan. Aku tau dari ibu. Ibu ngerasa khawatir kalau mungkin ada apa-apa kejadian."
"Ibu tau ada kejadian itu?"
"Aku ga bilang, tapi ibu emang curiga."
Aku menghela napas. Aku sama sekali tak memikirkan kemungkinan kejadian-kejadian itu akan sampai ke ibunya.
"Ga usah khawatir." ujarnya sambil menatapku sesaat sebelum mengalihkan tatapan pada rute perjalanan. "Aku seneng sebenernya Zen bisa mikir cepet, tapi envy (iri) juga kenapa bukan aku yang dapet ide itu."
"Kenapa kamu envy?"
"Karena ga bisa mikir cepet buat kamu." jawabnya yang justru mengingatkanku pada ucapan Zen. Zen berkata bahwa aku dan Astro terlihat seperti pasangan.
Aku memang berkali-kali mendengar kalimat yang serupa dari teman-teman yang lain, tapi kalimat Zen yang membuatku benar-benar berpikir. Mungkin aku memang harus mulai menjaga jarak dengan laki-laki yang sedang mengemudi di sebelahku ini. Entah bagaimana caranya.
"Aku bisa jaga diriku sendiri kok." ujarku.
"Aku tau, tapi aku udah bilang kan kalau aku mau kasih kamu lebih banyak kebaikan?"
Tiba-tiba aku mulai berpikir sepertinya akan sulit sekali menjaga jarak darinya. Bagaimanapun kami hampir setiap hari sarapan bersama, ke kantin bersama dan pulang bersama. Pengecualian untuk beberapa waktu ke belakang karena dia memiliki pertemuan khusus untuk mempersiapkan lomba robotik tahunan.
Bagaimana mungkin aku bisa menjaga jarak darinya? We do really looks like a couple (Kami memang benar-benar terlihat seperti pasangan).
"Aku ga liat cincinku seminggu ini. Kamu jual?" Astro bertanya.
"Bagus kan?" ujarku dengan senyum lebar sambil mengeluarkan kalung buatanku yang kusembunyikan di balik pakaian dan memperlihatkan padanya bahwa aku benar-benar menepati perkataanku untuk menjaga cincin pemberiannya dengan baik. "Aku pikir lebih aman kalau dibikin kalung begini dan ga perlu takut hilang."
Ada senyum lebar mengembang di bibirnya saat aku memasukkan kalung di balik pakaian. Sepertinya dia setuju dengan ideku dan aku lega dia menyukainya.
Kami sampai di resort pukul 08.03. Tadi pagi dia menjemputku saat matahari baru saja terbit dan meminta izin pada Opa untuk membawaku ke sini.
Opa sangat terkejut saat mengetahui Astro sudah memberitahuku tentang kepemilikan resort yang berada di bawah kendalinya. Opa berpikir beberapa minggu lalu saat pertama kali Astro mengajakku ke sini hanyalah ingin mengajakku melepas penat. Namun Opa tetap memberikan izin saat Astro menjelaskan dia membutuhkan saran dariku untuk mengganti suasana resort.
"Kita sarapan dulu." ujarnya sambil memberi isyarat padaku untuk keluar dari mobil. Aku mengangguk sambil mematikan laptop, membereskan barang-barang dan berniat membawa ransel, tapi dia melarang. "Ga usah bawa semuanya, Nona. Bawa hape aja. Di sini aman kok."
"Okay." ujarku sambil memasukkan handphone ke saku dan meninggalkan yang lainnya di mobil, lalu mengikuti langkahnya menuju restoran.
Suasana makan malam beberapa minggu lalu masih terbayang jelas di depan mataku. Walau saat ini matahari baru beranjak naik, sepertinya aku akan mencegahnya mengajakku duduk di balkon itu lagi.
"Kita makan di sini aja ya. Ga usah ke atas." ujarku sambil menunjuk beberapa deret meja setelah kami masuk ke area restoran. Restoran ini sudah ramai dengan pengunjung yang sedang sarapan, tapi masih ada meja kosong yang seharusnya bisa kami pakai.
"Kenapa ga mau di atas?"
"Aku pengen liat suasana yang lain."
"Tapi aku suka di atas. Lebih private." ujarnya sambil menatapku dengan tatapan memelas.
Sial, sepertinya aku harus mengikuti keinginannya kali ini. Tatapannya membuatku sulit menolak hingga aku mengangguk pasrah.
Aku mengikutinya memasuki area dapur yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan. Ada belasan chef dan banyak asisten hilir mudik dengan cepat. Astro menghampiri Ray yang sepertinya sedang membuat dessert di salah satu sudut dekat deretan oven yang menguarkan aroma manis.
"Pagi, Ray." Astro menyapanya.
"Loh kok kamu udah sampai? Kirain datengnya agak siang." ujar Ray sambil menepuk bahu Astro dengan akrab. "Oh, hai, Faza."
"Pagi, Kak." ujarku untuk membalas sapaan Ray. Aku tak yakin harus memanggilnya apa karena dia terlihat jauh lebih tua.
"Panggil Ray aja. Ga usah pakai 'Kak'. I'm not that old (Aku ga setua itu kok)." ujar Ray untuk meralat panggilanku padanya dengan senyum iseng.
"Kamu jangan pasang senyum begitu bisa kan, Ray?" ujar Astro dengan alis mengernyit mengganggu.
"Dia khawatir kamu naksir aku." ujar Ray sambil menatapku dan tertawa.
"Menu sarapan pagi ini apa?" Astro bertanya, yang sepertinya sengaja menyela tawa Ray yang membuatnya terlihat semakin tampan.
"Pasta, baked potato, sweet bread. Nanti aku minta pramusaji nganter menu dessertnya ke atas."
"Okay, aku tunggu." ujar Astro sambil memberiku isyarat untuk mengikutinya.
Sinar matahari meninggalkan kehangatan yang khas dengan udara yang terasa segar. Tak mengherankan kenapa sepagi ini sudah banyak pengunjung yang datang. Terutama ini adalah hari minggu.
Kami duduk di meja yang sama dengan beberapa minggu lalu, tepat di sebelah teralis berukir rumit. Tak ada orang lain selain kami berdua di sini, yang justru membuatku mengingat suasana makan malam kami saat itu yang membuat perutku menggeliat tak nyaman.
Pramusaji datang dan meletakkan vas berisi lavender di tengah meja. Kemudian meletakkan sekeranjang roti manis, seteko kecil susu dan seteko jus dengan empat gelas di sisinya.
"Thank you." ujarku sambil menatap vas berisi lavender.
Aku senang karena itu adalah bunga kesukaanku, tapi terasa canggung karena sepertinya Astro yang meminta mereka menyiapkannya. Seingatku aku hanya akan membantunya memberikan beberapa saran untuk mengubah suasana resort. Aku tahu ini bukan kencan seperti saat pertama kali kami ke sini.
Astro tak mengatakan apapun dan tersenyum lebar. Dia menuang susu ke dua gelas, menyodorkan satu padaku dan meneguk susu yang menjadi bagiannya. Kelihatannya dia lapar sekali karena langsung mengamit sebuah roti dan mengunyahnya.
"Gimana cara kamu ngelola resort ini kalau aku boleh tau?" aku bertanya untuk mengabaikan rasa tak nyaman di perutku. Aku tak memiliki selera walau hanya meneguk susu.
"Banyak caranya, tapi setiap ke sini aku bikin diriku sendiri keliatan kayak pengunjung."
"Maksud kamu gimana?"
"Aku udah bilang kan kalau yang tau owner resort ini cuma keluargaku dan Opa. Erm ... dan kamu."
"Maksudnya karyawan di sini ga ada yang tau kalau kamu bos mereka?" aku bertanya dan mencoba menebak.
Astro menggumam mengiyakan, "Mereka taunya aku sepupu Ray. Lagian lebih gampang ngasih penilaian buat kinerja mereka pas mereka tau kalau aku bukan bos mereka."
"Trus gimana caranya aku bisa ngasih masukan desain buat resort kalau kita cuma pengunjung?"
"Anggap aja kamu lagi main di resort ini. Kamu bisa kasih aku saran apapun dari apa aja yang kamu liat yang menurut kamu lebih bagus kalau diganti."
"Maksud kamu ... kita check in kayak pengunjung lain?"
"Pinter." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
"Kamu ga mikir kita keliatan lagi ... mm ... kamu tau ...?"
"Aku tau. Kita kan emang selalu keliatan kayak couple." ujarnya yang masih menatapku dengan senyum menggodanya yang biasa.
"Kamu ga peduli sama pikiran orang lain kalau mereka liat anak SMA seumuran kita check in berdua?"
Sepertinya dia mengerti kegusaran dalam diriku. Ekspresinya berubah lebih serius dan menatapku lekat. Seolah tak rela membiarkan satu ekspresi pun lepas darinya.
Aku tahu kami bisa menjaga diri dan akan saling menghormati batasan masing-masing. Kejadian malam saat aku membelai kepalanya adalah pengecualian. Sepertinya kami sedang tak mampu berpikir dengan baik malam itu. Itu adalah kontak fisik kami yang pertama setelah bertahun lamanya sejak kami berkenalan. Setidaknya itu sejauh yang bisa kuingat.
Namun membiarkan orang lain menilai apa yang menurut mereka benar adalah hal yang berbeda. Orang lain akan berpikir kami akan melakukan tindakan asusila jika datang ke resort dan memesan kamar berdua.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-