Arus air menekan tubuhku. Mendorong dengan kasar tanpa bisa kulawan. Kepala yang kuusahakan tetap mengapung, berkali-kali terhempas air deras berwarna keruh. Dengan dorongan air yang begitu kuat, aku berkali-kali menelan cairan yang terasa seperti tanah, membuat tubuhku kehilangan keseimbangan karena tak mampu bernapas. Aku ingin teriak, tapi tak ada suara yang keluar. Seolah tiba-tiba lenyap karena pita suaraku tak berfungsi.
Keringat mengucur di seluruh tubuh saat aku membuka mata. Tatapan mataku terpaku pada langit-langit kamar dan membuatku menyadari aku hanya bermimpi. Mimpi itu lagi.
Kunyalakan lampu tidur di meja kecil karena hari masih gelap dan memaksa tubuh untuk duduk. Aku meneguk air dari gelas yang tergeletak di meja sambil berusaha menenangkan diri dengan menarik napas perlahan dan menghembuskannya berkali-kali. Potongan kejadian kecelakaan jembatan itu masih begitu segar di ingatanku. Berkelebat di kedua mataku seperti hantu.
Kupeluk kedua lutut saat air mata mengalir tanpa perlu kusembunyikan. Aku merindukan Bunda. Aku rindu bermain bersama Fara, Danar, dan Ayah.
Ayah sudah berjanji akan membawa kita ke Pantai Tirang, bukan? Kenapa aku ditinggal seorang diri di dunia ini? Aku ingin ikut kalian.
Kugigit ujung bibirku untuk menahan isak yang akan keluar. Aku tak ingin seorang pun mendengarku menangis lagi. Ini sudah lebih dari dua bulan. Aku tak ingin mengganggu siapapun dengan tangisanku yang mulai terasa menyebalkan. Bahkan untuk diriku sendiri.
Opa dan Oma juga pasti sedih, bukan? Terlebih, tubuh Bunda belum ditemukan di mana pun.
Apakah normal jika aku berpikir akan lebih baik jika aku ikut mati juga? Namun sepertinya Ayah akan kecewa bila tahu aku tumbuh menjadi seorang anak yang tak merasa bersyukur karena bertahan hidup.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, berusaha mengalihkan perhatian agar tangisanku berhenti. Sapuan mataku terpaku pada buku milik Astro yang tergeletak di samping bantal.
Semalam dia lupa mengambil kembali bukunya. Saat aku mendapatkan nomor telepon rumahnya dari Oma, aku bergegas ke meja telepon di ruang tengah. Aku tak ingin dia mengira aku mengambil miliknya, tapi dia justru berkata aku boleh meminjamnya. Minggu depan saat dia datang, dia akan mengambilnya lagi.
Aku sempat membaca beberapa halaman buku itu sebelum tertidur. Namun aku masih merasa penasaran, maka aku mengamit buku itu. Kubolak-balik lembar demi lembar karena ingin melihat gambar berbagai macam planet dan galaksi yang terlihat indah. Saat sampai di halaman belakang, ada sebuah paragraf yang tercetak dengan huruf besar. Tepat di tengah :
"Kamu bisa bermimpi berpetulang di galaksi paling jauh di alam semesta. Namun dengan mengenal dirimu sendiri, kamu akan tahu bahwa keajaiban alam semesta ada bersamamu dalam setiap atom yang membentuk tubuhmu."
Kalimat yang bagus sekali, membuatku menyadari aku memang benar-benar tak tahu bagaimana caranya bersyukur. Ayah pasti sangat kecewa bila tahu.
Kuhempaskan tubuh ke tempat tidur yang lembut sambil memeluk buku itu. Kamar ini dulunya adalah milik Bunda. Barang-barang di sini dulunya adalah milik Bunda juga.
Kubelai sisi tempat tidurku yang kosong. Membayangkan Bunda membuatku merasa ada sebagian dalam diriku menghilang.
Sekarang Bunda berada di mana? Aku ingin memeluk Bunda. Sebentar saja.
***
Terdengar ketukan di pintu disusul suara Oma yang memintaku bersiap karena akan mengajakku arisan ke salah satu rumah kolega. Aku berniat bersikap lebih ramah hari ini karena tak ingin Opa membahas tentang masuk ke sekolah bersama Astro lagi hanya karena aku tak memiliki teman perempuan. Namun ternyata Denada dan Mayang yang kemarin disebut Oma tidak datang karena masih memiliki kegiatan di sekolah. Entah apakah Oma lupa atau memang hanya terlalu bersemangat untuk mengenalkanku pada teman baru.
Dalam hati aku bersyukur. Walau tetap merasa tak nyaman karena tatapan kolega Oma terlihat mengasihaniku. Aku tak suka dikasihani.
Aku paham apa yang orang lain pikirkan. Kehilangan keluarga adalah hal yang menyedihkan. Aku memang sedih, tapi andai aku boleh meminta, aku akan meminta mereka memberiku tatapan yang memberi semangat. Bukan mengasihaniku.
Beberapa hari berlalu, seorang guru yang datang ke rumah Opa mulai menemani proses belajarku. Dia memintaku memanggilnya Kak Anggun, karena tak suka saat kupanggil "Ibu" karena dia masih muda dan belum menikah.
"Kamu cerdas, Faza. Kalau masuk sekolah formal, kamu bisa masuk kelas akselerasi. Kamu bisa naik kelas lebih cepet dan bisa kuliah sebelum umur lima belas." ujarnya.
Aku tersenyum karena tak ingin berkomentar. Saat ini, aku hanya ingin belajar dengan baik agar pikiranku teralihkan dari kesedihan walau hanya sebentar. Karena aku tahu saat malam tiba, aku akan terus mengingat kematian keluargaku.
Kegiatan belajarku dengan Kak Anggun dijadwalkan seperti jam sekolah pada umumnya, yang membedakan adalah aku tak perlu pergi ke sekolah. Kurasa itu adalah pembagian waktu yang adil karena aku tahu Kak Anggun juga memiliki kehidupan lain selain menjadi guru.
Walau harus kuakui, belajar dengan Bunda terasa jauh lebih menyenangkan. Aku tak bermaksud mengatakan Kak Anggun adalah seorang guru yang buruk, tapi aku merasa belajar dengannya terasa seperti sedang belajar dengan guru les privat.
Saat bersama Bunda, aku, Fara dan Danar bebas melakukan banyak eksperimen. Kami sangat jarang mempelajari materi dengan cara didikte satu demi satu seperti saat belajar dengan Kak Anggun. Kami belajar dengan membaur bersama alam, memperhatikan apa yang terjadi di sekitar, dan mengambil makna dari kejadian.
Bunda tak pernah mengeluh atau marah dengan segala tingkah kami, walau Bunda terkadang bersikap tegas saat kami melakukan kesalahan atau saat kami sedang membuat ulah yang tak bisa ditoleransi. Tak ada waktu libur bagi kami karena kami memulai proses belajar sejak mata kami terjaga hingga terpejam lagi. Setiap hari. Bahkan rasanya, waktu belajar dan bermain kami melebur di saat yang sama.
Kemudian aku mulai berpikir bagaimana bisa Bunda melakukan itu semua dengan kesabaran yang seperti tak ada habisnya? Aku, Fara, dan Danar adalah tiga anak yang aktif sekali, bukan?
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-