Sering sekali, anak-anak yang tidak pandai dalam resensi buku cenderung tidak berniat untuk membaca bukunya terlebih dulu. Anak yang buruk dalam membaca tidak terelakan lagi juga akan buruk dalam menulis. Utari pastilah salah satu tipe-tipe tersebut. Dia biasanya tidak membaca buku, dan dia sama sekali tidak cukup banyak menulis selain mengetik pesan teks.
Untuk anak seperti itu, sebuah esai biasa yang tidak diperlukan untuk membaca apapun sebelumnya mungkin memberikan rintangan yang lebih sedikit.
"Ahaaaa," Utari tertawa dengan gugup. "Aku tidak tahu satu hal pun tentang pajak…"
"Tahan pemikiran itu. Aku ingat menulis tentang itu sewaktu SMP," kataku selagi aku mencari-cari kotak kardus di atas meja.
Kotak ini adalah, sederhananya, kotak kenanganku. Kotak ini mengandung semua esai-esai lamaku, album-album dan projek-projek penelitian yang ditumpuk bersama oleh ibuku ke satu tempat. Komachi telah berkata dia ingin meniru resensi bukuku, jadi inilah dia.
Setelah mengubrak-abriknya aku menemukan sesuatu yang menyerupai apa yang sedang kucari. "Apa ini?"
"Tunjukkan padaku, tunjukkan padaku!" Utari meloncat ke arahku dengan satu lompatan, melilitkan dirinya di sekeliling lenganku. Dan hanya dengan begitu saja, dia merebut kertas tulis itu dariku.
Dalam Topik Pajak
Kelas 9, Ruang 4 Kazuto Kirimasu
Sistem pajak progresif itu jahat.
Tidak peduli sebanyak apapun yang seseorang peroleh, sebagian besar darinya disikat pergi sebagai pajak tanpa kompensasi yang setara. Semakin banyak yang diperolehnya, semakin banyak buah hasil jerih payah seseorang diambil pergi sebagai pajak, dan sebagai balasannya seseorang sama sekali tidak mendapatkan apapun.
Dengan kata lain, untuk bekerja adalah untuk menerima kekalahan.
Jika pajak progresif diniatkan untuk menyetarakan kebahagiaan, maka aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menyebutnya bodoh. Dari awal pun tidak ada yang namanya kebahagiaan yang setara. Memikirkan kebahagiaan manusia dalam bentuk uang itu pada dasarnya dangkal dan kurang mampu memahami manusia. Keuntungan dalam menerapkan "sistem pajak progresif" yang membebankan pajak pada orang berdasarkan jumlah teman dan pacar mereka patut dipertimbangkan mulai dari sekarang ini juga.
Segera setelah Utari membaca bagian pertamanya, dia melipat kecil-kecil kertas tulis itu. Kemudian dia membuat helaan pendek. "Aku akan menulis resensi buku saja…" tuturnya dengan tampang malu-malu pada wajahnya.
"Be-begitu ya… Aku minta maaf."
"Aku yang seharusnya meminta maaf…"
Kipas elektrik itu berderik selagi kipas itu bergetar, menghasilkan dengungan pelan seperti sebuah mesin.
Jangkrik-jangkrik mulai mengerik, seakan tiba-tiba mengingat eksistensi mereka sendiri.
"Ya-yah, kalau begitu, bagaimana dengan ini?" kataku pada akhirnya. "Aku akan membantumu dengan projek penelitianmu. Oke?"
"Oke, tapi aku tidak akan menantikan sesuatu yang menabjubkan," kata Utari selagi dia sekali lagi berpaling pada catatannya.
Dari awal pun tidak ada gunanya PR atau tugas jika kamu tidak mengerjakannya sendiri, tapi aku tidak sedang membantu Utari seperti ini hanya karena dia imut. Jika hanya itu alasannya, aku tidak akan ada pilihan selain membantunya dengan resensi buku itu juga.
Dia menghela. "Kamu harus membuatku menyelesaikan ini dengan benar. Aku bahkan harus mengikuti ujian seleksi masuk… Aku tidak akan punya waktu untuk ujian tryout persis setelah liburan!"
"Itu karna hal-hal biasanya akan menumpuk."
"Ya, bukankah aku sendiri menumpuk itu semua dengan bagus?"
-Bersambung-