"Wh-whoa..." suatu suara mengerang pelan.
Seakan mencoba untuk meredam suara itu, suatu kipas elektrik mendengung dan menggelengkan kepalanya dari satu sisi ke sisi lain. Utari dengan pelan menggelengkan kepalanya dari satu sisi ke sisi lain dengan kecepatan yang persis sama.
"Kak, ini tidak bisa. ini sama sekali tidak bisa dipakai..." Dengan penuh kehati-hatian, Utari meletakkan kertas tulis yang menguning itu ke atas meja. "Aku tahu kamu salah satu tipe-tipe itu, Kak, tapi laporan ini memang tidak bisa... tidak bisa."
"Diamlah, kamu yang mau menyalin laporanku. Tidak suka, tidak usah lihat." Aku merampas kertasnya dari tangan Utari, sebagian karena aku geram dia menolaknya dengan begitu bukan mainnya dan sebagian karena aku merasa malu bahwa seseorang sedang melihat pada sesuatu yang kutulis dulu sekali.
"Oke, oke, aku bilang maaf. Aku akan cukup memakai bagian yang bisa kupakai, jadi biarkan aku melihatnya," lantun Utari. "Yah, walau, kelihatannya aku nyaris bisa memakainya," dia menambahkan dengan agak tidak perlunya selagi dia mengambil laporannya dari tanganku sekali lagi dan mulai menyalinkan beberapa catatan.
Inilah PR liburan musim panas sialan itu yang sedang beraksi.
Sewaktu TK, kelihatannya kamu diberikan buku pelajaran kecil yang dinamakan "Teman-teman Saat Liburan", tapi tidak seperti itu lagi semenjak SD. Dengan kata lain, kamu tidak ada teman selama liburan. Jika aku harus mengatakannya dengan cara yang terdengar keren, itu pastilah Friend/Zero. Tidak ada banyak huruf di dalamnya, jadi itu bagus untuk desain berseni.
SD yang telah kumasuki - dan yang sedang dimasuki Utari sekarang ini - tidak memberi banyak PR: lembar soal untuk Bahasa Inggris dan Matematika, buku soal IPS tambahan untuk Bahasa Indonesia dan sebuah projek penelitian ilmiah, ditambah sebuah esai atau sebuah resensi buku.
Selagi aku melirik ke arah Utari, yang tangannya telah berhenti bergerak selagi dia mengerang dengan hening, aku menegak sedikit Kopi BLACK yang didinginkan. Kemanisan khas dari susu kental manis ini bergelung di sekitar kerongkonganku dan melesat tepat ke kepalaku. Bagian yang itu tidak bisa ditiru oleh sebuah kopi susu. Aku juga merekomendasikan untuk menaruh es serut ke dalamnya.
Bahkan orang dewasa dengan selera dewasa terkadang akan menyukai sesuatu yang manis. Kopi satu-satunya adalah Kopi BLACK.
Di dalam kepalaku, aku memutuskan pada sebuah kalimat stealth marketing untuk demam terbaru ini. Yah, karena aku tidak mendapatkan uang dari itu, itu sebetulnya bukan stealth marketing
Yang tersebar di sepanjang meja adalah buku-buku teks yang bercampur baur. Kebiasaan buruk menyebarkan semua buku-buku teks seseorang sekaligus, khas dari seorang anak yang tidak sanggup belajar, itu terpamer di sini dalam segala kejayaannya.
Aku menarik keluar selembar kertas yang terkubur di dalam gundukan semua buku-buku teks tersebut dan segera membacanya. "Tugas Liburan Kelas Sembilan" tercetak dengan huruf balok pada PR liburan. Isinya, yah, persis seperti yang tertulis pada judulnya.
Pandanganku jatuh pada salah satu kalimat di dalamnya. "Hei, itu tidak harus sebuah resensi buku, jadi kenapa tidak membuat esai biasa saja?"
"Huuuh?" Utari melihat ke atas dan kemudian setengah berdiri dari kursinya, melirik pada apa yang ada di tanganku
"Coba lihat ini. Dia bilang resensi buku atau 'sebuah esai tentang pajak'."
-Bersambung-