Proses pemakaman Fu baru saja berakhir bersamaan dengan terbenamnya matahari. Kepergiannya yang teragis membuat keluarganya sangat terpukul terutama Trirana, adik kembarnya.
Saat di mobil jenazah Trirana terus saja menangis dan bahkan sekarang dia masih tersedu. Mengapa,kalimat itu terus keluar dari mulut Trirana.
Trirana benar-benar merasa kehilangan. Siapa lagi yang bisa dia ajak bertengkar, siapa lagi yang bisa dia ajak bercanda. Seakan-akan dia sudah tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini.
"Putriku ayo kita pulang." bujuk ibunya.
Trirana membisu dan tetap saja memegangi batu nisan kakaknya. Dia tidak mau pulang. Dia bersikeras ingin tetap berada di dekat kakaknya.
Ayah Trirana menyentuh bahu ibu Trirana sebagai sebuah isyarat, biarkan dia sendiri. Lalu dengan berat hati orang tua Trirana pulang mendahuli.
Bagi Trirana, Fu adalah kakak yang paling sempurna yang pernah ada. Kakaknya sangat penyayang bahkan terhadap orang lain. Setelah hampir lima tahun ini, kakaknya sudah seperti sosok ibu dan ayah bagi Trirana.
Trirana begitu meratapi kepergian kakaknya. Kepergiannya itu membuat dia benar-benar merasa kesepian.
"Terus bersedih tidak akan menyelesaikan apapun, anakku!". Seseorang bagaikan Dewi yang memancarkan aura keibuan datang dan meletakakan seikat bunga di atas makam Fu.
"Tidak kah kau tau, bersedih itu akan menghambat kepergian kakakmu". Wanita itu menyentuh bahu Trirana, "Berdirilah, anakku!"
"Bunda!" rintih Trirana lalu memeluk wanita itu dan kembali menangis.
"Menagislah untuk terakhir kalinya, anakku. Setelah ini tugas berat akan menantimu. Jadilah seperti kakakmu. Kakakmu yang begitu tegar di saat-saat terakhirnya!" ucap wanita itu.
Siapakah pemilik wajah keibuan itu, yang layaknya seperti Dewi Gangga? Dia adalah wanita yang membawa Fu menuju rumah sakit. Wanita yang sempat meraih tangan Fu di saat-saat terakhirnya.
"Kenapa Bunda …" rintih Trirana di sela tangisnya, "Kenapa kakak harus pergi?"
Bunda mengusap-usap kepala Trirana untuk menenangkannya, "Jangan pernah berpikir kalau dunia ini tidak adil, anakku. Semua yang terjadi di dunia ini akan selalu ada hikmah di baliknya. Jadi jangan menangis lagi. Tetaplah hidup demi kakakmu. Teguh seperti kakakmu, maka suatu saat nanti kau akan melihat senyum yang sering terlintas di wajah kakakmu"
"Benarkah?"
"Percayalah terhadap takdir, anakku!"
Trirana kemudian mengangguk.
"Ayo, aku antar kau pulang!"
Sekali lagi, Trirana mengangguk.
Mereka berdua berjalan sambil berpelukan. Entah kenapa hanya baru beberapa kali bertemu Trirana merasa begitu dekat dengan Bunda. Bunda seperti Malaikat, apapun yang dia katakan begitu menyejukan.
Trirana diantar dengan sebuah mobil Mercedez hitam yang dikemudiakan langsung oleh Bunda. Selama perjalanan, Trirana banyak mendapatkan nasehat bagaimana menjalani hidup setelah kehilangan orang disayangi, dan teguran jangan menagis lagi jika suatu saat teringat kembali tentang kakaknya.
Hal yang membuat kita sangat sedih adalah Kematian—kerpergian orang yang kita sayangi—memang sangat menyakitkan kehilangan orang yang dicintai karena kematian itu sendiri, tapi kita tidak bisa menentang takdir yang sudah diatur dan Tuhan pasti akan memberikan Jalan terbaik buat kita.
Kematian bukanlah penderitan. Yang mati artinya yang terbebas. Jangan sampai kau menyedihkannya sampai berlarut. Adanya kematian ini menunjukan kalau kita harus siap, kita harus membawa bekal untuk besok, dan pastinya Tuhan memberikan pelajaran kalau kita harus belajar mengikhlaskan hal yang terkadang sulit sekali untuk dilepaskan.
Yang pergi selalu meninggalakan sebuah harapan dan impian yang nantinya akan kita wujudkan. Jangan sia-siakan kepergiannya.