Akhirnya Trirana tiba di rumahnya dengan senyum yang mulai terlihat di wajahnya.
"Kita sudah sampai, anakku."
Trirana mengangguk lalu membuka pintu mobil.
"Kembalilah ceria, kakakmu hidup dalam hatimu."
Trirana menggangguk lagi kemudian turun dari mobil.
"Satu lagi anakku,"
Trirana berhenti dan menoleh.
"Akan ada yang datang kepada mu dan jangan pernah abaikan dia, ananku!"
"Baik, Bunda!" sahut Trirana sambil menggangguk dan Bunda kemudian tersenyum. "Apakah Bunda tidak ingin mampir?"
"Tidak anakku, ada yang sedang menunggu Bunda."
"Kalau begitu, kapan-kapan Bunda harus mampir ya!"
"Tentu saja anakku, kita pasti akan bertemu lagi di suatu tempat"
Trirana sekarang sudah terlihat membaik. Itu semua karena nasehat yang banyak dia terima saat perjalannan pulang. Trirana segera masuk ke dalam agar tidak membuat ibunya semakin khawatir. Sesampainya di dalam dia langsung dipeluk oleh ibunya. Ibunya sedikit meneteskan air mata sambil berkata, "Apa kau sudah sedikit tenang, putriku?"
"Iya Ibu!"
"Sebaiknya kau ikut tinggal bersama ibu!"
Trirana langsung menggeleng, "Tidak ibu, aku akan tinggal di Bali bersama kenangan kakak di rumah ini"
"Itu hanya akan membuat dirimu semakin sedih"
"Aku tidak akan sedih lagi ibu. Aku akan menjadi seperti kakaku yang selalu kuat kapan pun"
Ibunya langsung melepas pelukannya dan mematap Trirana lekan-lekan. "Kau hanya seorang gadis, ibu tidak mengijinkannya"
"Tidak ibu, aku akan tetap tinggal di sini. Ibu jangan kawatir, aku yakin kalau kakak selalu mengawasiku. Karena kakak sudah berjanji"
"Ibu tidak mengijinkannya, kau harus ikut bersama ibu ke Amerika"
"Tapi ibu …."
"Sekarang kau tidak bersama kakakmu lagi dan …. " ibunya Trirana berhenti bicara karena ayah Trirana datang dan langsung menyentuh bahu istrinya.
Ayah Trirana berkata, "Dia adalah anakku dan seperti halnya kakaknya, Fu. Dia tidak akan bisa dibantah. Putriku juga menuruni sifat kerasku, dia akan baik-baik saja tinggal di sini".
"Benarkah Ayah?" tanya Trirana
"Tapi ayah tidak akan membiarkanmu benar-benar sendirian, ayah akan meningalkan beberapa pelayan untuk menemanimu dan satu orang kepercayaan ayah" ucap ayah Trirana.
Walaupun begitu, ibu Trirana masih membantah "Tapi…."
"Kau jangan kawatir, putri kita hanya ingin hidup mandiri. Sudah menjadi kebiasaan turun-menurun, kita tidak mengenal yang namanya memanjakan anak. Memanjakan bukanlah menyayangi dan menyayangi adalah mengajari"
Trirana terlihat sangat senang dan baru kali ini ayahnya sedikit lebih lunak. Berbeda dengan dulu, ayahnya begitu keras. Tapi setelah kepergian Fu, ayahnya menjadi sedikit lebih lembut.
"Benarkah tidak apa-apa?" tanya ibu Trirana sekali lagi.
"Aku yakin putriku ini bukanlah gadis biasa, dan juga dia telah diasuh oleh kakaknya selama lima tahun terakhir ini. Kita tau sendiri putra kita itu. Dia seperti mendiang ayah 'seorang pemimpin hebat' dan aku yakin putriku juga akan seperti kakaknya"
Trirana langsung dipeluk oleh ibunya. "Benarkah putriku bisa seperti kakaknya?" tanya ibunya.
"Tentu saja ibu, kami ini kembar" ucap Trirana lalu tersenyum ringan.
Trirana juga dipeluk oleh ayahnya dan baru pertama kalinya dia mendapat pelukan hangat ayahnya. "Jangan-jangan putriku ini juga memiliki penyakit yang sama seperti kakaknya yang maniak game itu" gurau ayahnya.
"Hehe" Trirana tertawa kecil. Tetapi tidak separah kakaknya.
"Ya sudah tidak apa-apa asal kau juga bisa mengatur waktu seperti kakak yang kau banggakan itu"
"Jangan remehkan aku ayah, aku tidak akan kalah dengan kakakku"
"Ini baru putriku" ucap ibu Trirana.
"Tidak, dia ini putriku"
"Sudahlah, ayah, ibu!"
Ketiganya berpelukan dengan hangat dan memcoba menikmani sedikit kebahagiaan yang ada di saat-saat rasa kehilangan masih terasa di benak mereka bertiga. Tetapi, benar seperti kata Bunda, kesedihan yang terus berlarut malah akan memperburuk keadaan.
"Sebaiknya kau segera mandi lalu istirahat, kau terlihat jelek karena terus menangis" ucap Ibunya.
"Ah ibu"
"Benar kata Ibumu."
"Baiklah ayah, tapi jangan melihatku seperti itu!"
"Sudah-sudah cepat mandi sana!" ucap ibunya.
Trirana kemudian bergegas mandi, meningalkan kedua orang tuanya yang masih berdiri di ruang tamu.
"Seandainya Fu ada di sini …." rintih ibu Trirana.
"Sudahlah, kita semestinya merelakan putra kita agar tenang dalam istirahatnya" ucap ayah Trirana. "Sebaiknya kau juga beristirahat!"
Malam ini kesedihan mereka belumlah selesai, hanya saja mereka mencoba untuk tegar. Ayah Trirana sendiri benar-benar terpukul karena harus kehilangan putra kebanggaannya. Fu sangat mirip dengan kakeknya bahkan mewarisi sifat kepedulian yang dimiliki kakeknya.
Sekarang ayah Trirana hanya bisa memandang bintang sambil terus berharap, putrinya bisa seperti kakaknya, setidaknya setengah seperti kakaknya itu pun sudah cukup.
Esok harinya, pagi-pagi sekali orang tua Trirana bergegas kembali ke Amerika. Walau masih dalam masa berkabung, mereka harus tetap menjalani kehidupan mereka. Ayahnya adalah duta besar dan Ibunya adalah dosen di Universitas ternama di Amerika.
Fu selalu berkata setiap saat, jangan pernah bersedih karenanya bahkan jika dia harus meningal. Fu tidak akan terima keluarganya bersedih karena dirinya.
Ibunya mengingat persis saat putranya berkata seperti itu, putranya berkata begitu tegasnya, Aku tidak akan menerimanya bahkan jika karena aku meningal, tapi aku tidak berniat mati muda, akan aku pastikan itu. Tapi hari ini kata-kata itu menjadi tidak berarti.
Walalu sudah tidak berarti lagi, mereka akan mengingat janji mereka bahwa tidak akan bersedih dan merelakan putranya untuk pergi dengan terus menjalani kehidupan yang penuh bahagia. Tapi bagaimanapun berusaha untuk tetap tegar, kesedihan itu akan selalu ada.
Ayah Trirana sepertinya serius dengan perkataanya semalam. Baru saja pulang dari mengantar orang tua ke bandara, tahu-tahunya rumah Trirana sudah dihuni pelayan yang cantik-cantik. Tentu saja membuat Trirana sangat terkejut karena tiba-tiba disambut oleh empat maid muda—terlihat seumuran dengan dirinya—seperti model berdiri berjejer di hadapannya.
"Ayah, benar-benar …." gerutu Trirana.
"Selamat datang Nona Muda!" para maid bersama-sama menyambut kepulangan Trirana.
"Mulai sekarang kami akan mengurus semua keperluan Nona Muda!" ucap seseorang wanita yang pastinya sudah memiliki umur yang cukup tua dan berada di tengah-tengah para maid yang menyambut.
Trirana merasa sedikit canggung, sebelumnya dia hanya tinggal berdua dengan kakaknya. "Kalau kakak pasti sudah protes ke Ayah" gerutu Trirana kembali.
"Perkenalkan, nama saya Wayan" ucap sang Kepala Pelayan.
"Saya Kadek Emy"
"Saya Komang Asri"
"Saya Putu Ayu"
"Saya Ratna"
Satu per satu dari kiri para maid memperkenalkan diri.
Para maid yang sekarang sedang berdiri di hadapan Trirana bukanlah pelayan sembarangan. Mereka terdidik dan terlatih. Seperti layaknya pramugari, mereka semua terlatih dalam segala hal sekaligus sebagai bodyguard. Tetunya gaji mereka tidak main-main. Bagi seorang Duta Besar seperti ayah Trirana, pelayan seperti mereka sudahlah biasa.
Kadek Emi, dia adalah yang paling senior di antara ke empatnya. Dia memiliki keahlian lebih dari yang lainnya, dia menguasai berbagai macam masakan dan dia juga ahli dalam ilmu bela diri. Emy lumayan cantik walau tak secantik Ratna yang membuat iri, tapi Emi lebih cocok dikatakan cantik berwibawa seperti Polwan.
Komang Asri, dia tidak terlalu tinggi, bisa dikatakan paling pendek dari yang lainnya. Dia juga tak kalah cantik. Dia memiliki rambut cukup panjang yang diikat bergaya pony tail, dia layaknya seperti model dan lulusan di bidang perhotelan.
Putu Ayu, dia terkesan imut dengan kacamata minusnya. Dengan rambut yang dikepang dua dia terkesan sangat lugu dan sedikit pemalu, tapi berhati-hatilah karena dia tahu banyak tentang security system dan ahli dalam segala jenis senjata.
Terakhir Ratna, dia adalah maid tercantik bagaikan artis. Bahkan Trirana cukup kagum saat melihat wajahnya. Ratna begitu manis, wajahnya sangat mempesona dan ditambah lagi dia adalah lulusan terbaik universitas keperawatan di AS.
"Jangan sungkan untuk memerintah kami kapan pun, Nona Muda!" ucap sang Kepala Pelayan.
Sebenarnya hati Trirana merintih, Ayah telah menyita seluruh kebebasanku.
"Nona Muda!" tegur sang Kepala Pelayan.
"Um iya, em baiklah, kalau begitu mulai sekarang kalian sudah bisa bekerja" cukup canggung dan Trirana tidak tahu harus berkata apa selain itu.
"Baik, Nona Muda!" sahut para pelayan serempak.
"Anu …. Bisahkah kalian melanjutkan pekerjaan kalian?" ucap Trirana sedikit canggung, dia tidak terbiasa dengan suasana yang dia hadapi sekarang.
"Baik Nona!"
Shit, apa setiap hari akan seperti ini, kakak tolong bantu adikmu ini, batin Trirana dan dia malah membayangkan kakaknya tertawa melihat dirinya sambil berkata, haha…. sabar-sabar adikku!
"Apa Nona akan terus berdiam diri di luar saja?" tanya Kepala Pelayan.
Lamunan Trirana langsung terpecah, "Oh iya, sebaiknya aku istirahat sebentar di kamarku"
"Silahkan Nona!"