Chereads / Sang Pemusnah / Chapter 13 - ENAM - Ketetapan Hati dan Pedang Excallibur Yang Tak Pernah Tumpul

Chapter 13 - ENAM - Ketetapan Hati dan Pedang Excallibur Yang Tak Pernah Tumpul

Trirana tetap membuka matanya saat melintasi portal. Itu menyebabkan matanya perih dan juga hatinya.

Karena tetap membuka mata, Trirana melihat kepingan-kepingan memorinya saat melayang melintasi lorong dimensi. Dia melihat semuanya—seperti potongan-potongan film—tentang kenangan bersama kakaknya. Semua itu membuat hati Trirana bimbang. Antara balas dendam atau tidak. Di sisi lain, Fu sangat membenci yang namanya balas dendam.

Trirana menutup matanya. Perkataan Inanna malah terniang di kepalanya. Dia terlihat mengabaikannya, tapi bayangan kakaknya tiba-tiba muncul. Daripada balas dendam, lebih baik kau gunakan tenagamu untuk membantu orang lain. Balas denadam hanya akan melahirkan rantai kebencian yang baru. Ada kalanya kita harus menerimanya sebagai sebuah musibah. Balas dendam hanya akan mengotori tanganmu dengan sebuah dosa, walaupun tujuanmu itu baik. Aku pikir itu hanya sebagai pembenaran diri saja. Balas dendam itu akan selalu buruk. Ini seperti halusinasi, Trirana mendengar suara kakaknya di dalam kepalanya. Hati Trirana menjadi dilema.

Sekali lagi Trirana mendengar suara kakaknya dengan jelas, Jika kau menghakimi orang hanya untuk balas dendam, suatu saat nanti kau juga akan dihakimi. Sesakit-sakitnya hatimu, jangan sampai merusak dirimu karena dendam. Kakak selalu mengawasimu, bahkan jika kakak tidak lagi berada di sisimu. Semua memori yang dia lihat mengajarinya kembali. Mengingatkan semua ajaran dari kakaknya. Kepedulian, itulah yang kakaknya selalu ajarkan ke Trirana. Karena dunia ini … bukanlah milik kau sendiri. Kalimat terakhir yang dia dengar, kalimat itu akhirnya menetapkan hatinya. Balas dendam bukanlah segalanya.

Trirana dan yang lainya kemudaian muncul di atas altar—suasana Trirana tidak seperti sebelumnya, ekpresinya terlihat lebih lapang—yang berbentuk setengah piramida dan ada empat pilar yang mengelilinginya.

"Dimana kita?" tanya Trirana.

"Semuanya tampak asing bagiku," ucap Rina.

Ratna dan Ayu berada di sisi kanan dan kiri Trirana. Mereka juga terlihat bingung.

"Aku sudah mempelajari semua tempat yang ada di TEO, tapi aku sama sekali tidak tau hutan ini." imbuh Rina.

Trirana tidak membalas ucapan Rina, dia terlihat sedang melihat-lihat ke sekitarnya. Mencari sesuatu yang mungkin dia ketahui.

"Nona," panggil Ayu karena melihat sesuatu di belakanganya, "Ada yang sedang mengintai kita." tunjuknya.

"Nona, tetaplah di belakang kami!" ucap Ratna yang juga menyadarinya.

Trirana menoleh, "Ini memang di dalam game." ucap Trirana setelah melihat apa yang mengintai mereka. "Iblis-iblis itu tidak asing bagiku." dia mulai menyadarinya setelah melihat puluhan prajurit tengkorak. "Undead!" ucapnya lagi.

Rina terlihat ketakutan, "Bagaimana ini?".

"Kami akan mengurus mereka." ucap Ayu. Ayu telah siap dengan dua pistol di tangannya dan Ratna dengan pistol laras panjangnya.

"Darimana kalian mendapatkan senapan-senapan itu?" tanya Trirana. Trirana titak habis pikir, dia tidak menyangka kedua pelayannya membawa senjata-senjata yang berbahaya. "Aku pikir itu mirip senjata agent SPY!" ucapnya lagi.

"Kami selalu siap dengan senjata di bawah rok kami. Kami harus memastikan keselamatan Nona!"

Trirana hanya bisa mengangkat alis. Rok yang terkesan sexy mampu menyembunyikan senapan? Ayu dan Ratna tidak bisa dinilai dari penampilan lugu mereka.

"Ayo kita menjauh, Trirana!" seru Rina. Rina menarik tangan Trirana. Dia pikir menjauh pilihan yang tepat, tetapi keduanya langsung dihadang kelompok undead yang lain.

"Mereka bebas muncul dari dalam tanah. Aku kira, pasti ada yang membangkitkan mereka. Necromancer atau Lich pasti ada di dekat sini" ujar Trirana.

Necromancer atau Lich adalah iblis yang berpenampilan penyihir. Sering juga di sebut penyihir hitam. Mereka spesialis pemanggil pasukan mayat hidup (undead).

"Bagaimana cara mengatasinya?" tanya Rina.

"Ini bukan lagi game …." Trirana mulai berpikir.

Suara tembakan terus berderu di belakan Trirana dan di depannya para iblis menatap dirinya dan Rina. "Tidak ada cara lain lagi," Trirana menoleh ke belakangnya, "walau kalian menembaknya beribu kali, mereka akan terus bangkit. Para Undead itu hanya bisa dibunuh dengan senjata suci. Kita harus lari. Ikuti aku!" ucap Trirana.

Trirana berlari ke arah kanan, menerobos semak dan ranting-ranting. Rina langsung menyusul karena ketakutan. "Tunggu Trirana!"

"Tidak berguna!" keluh Ayu lalu membuang kedua pistolnya.

Ratna mundur mendekati Ayu, "Mereka tidak bisa dibunuh!"

"Kita harus ikuti perintah Nona, kita harus lari. Nona pasti punya rencana!" ucap Ratna.

"Baiklah." ucap Ayu kemudian mengambil geranat dari bawah roknya. "Fire in the hold!" serunya sambil melempar geranat itu.

DUARRR! "Ayo kabur!" seru Ayu.

Ayu dan Ratna langsung menyusul.

Trirana terus berlari dengan lincah sampai-sampai Rina sulit mengejarnya karena rok ketat yang memperlambatnya.

"Trirana, kemana kita akan pergi?"

"Ikuti saja aku!"

Trirana menyadari Rina sulit menyusulnya dan akhirnya Trirana menantinya.

Rina tampak tersengal-sengal, "Aku sulit menyusulmu."

"Itu karena ini," ucap Trirana dan langsung merobek rok Rina di bagian samping membuat pipi Rina sedikit memerah. Trirana dibuat geleng kepala karena melihat Rina hanya mengenakan G-strings. "Rok masih bisa dibeli dari pada nyawa kita melayang, ayo!"

Mereka kembali berlari.

Ayu dan Ratna tiba menyusul.

"Nona!" seru kedua pelayan itu.

Para undead yang terlihat seperti sombie tulang belulang yang masih terbungkus sedikit daging terus mengejar.

"Nona, mereka terus mengejar kita!" ucap Ratna.

"Terus saja berlari mengikuti aku!"

Mereka berusa meloloskan diri dari kejaran para undead yang cukup lincah. Ini tidak seperti biasanya, tidak seperti yang sering dihadapi oleh Trirana saat masih berupa game yang menyenangkan. Rina hampir saja jatuh kalau tidak ditahan oleh Ratna. Trirana semakin jauh memimpin di depan, dia terus berlari mengikuti bau yang dia cium.

"Nona, mereka semakin mendekat!" seru Ayu.

Trirana yang jauh di depan akhirnya menembus hutan lebat—bau makanan yang dia cium mengantarnya ke sebuah permungkiman para manuisa burung (Harpy)—lalu tepat di hadapannya dia melihat sebuah pedang yang tertancap pada batu besar.