Chereads / Sang Pemusnah / Chapter 3 - SATU - Dunia Di Balik Kaca

Chapter 3 - SATU - Dunia Di Balik Kaca

Seperti terkena serangan stroke, nafasnya terhirup cepat ke dalam kerongkongan.

Fu langsung terbangun seakan-akan baru saja terlepas dari mimpi buruk.

"Dimana aku?"

Hal pertama yang dia temukan saat membuka mata hanyalah kegelapan malam yang berkabut—kabut aneh karena berwarna hijau—dan Fu tidak dapat memandang lebih dari setengah meter.

Banyak pertanyaan dalam benak Fu, namun yang paling ingin dia ketahui sekarang adalah jawaban dari "Apa yang terjadi padaku dan di mana aku?"

Tubuh Fu tetap utuh dan dia mendapati dirinya terbaring di rerumputan yang basah.

"Ini aneh." Ucap Fu.

Tidak ada yang kurang setelah Fu memeriksa sekujur tubuhnya dan pakaiannya tetap sama seperti biasa.

"Atau," Fu mulai curiga, "Apa aku sudah mati?". Akhirat, kata itu muncul begitu saja di kepala Fu.

"Tidak," Fu mencoba menampar wajahnya dan itu sangat sakit. "Kalau begitu di mana aku?"

"Jika aku masih hidup?" Fu berdiri lalu melangkah dan memcoba melihat-lihat ke sekitar. "Sial, aku tidak bisa melihat apapun!", keluhnya, lalu tanpa sengaja dia menginjak sesuatu—seperti tongkat atau mungkin hanya patahan ranting pohon.

Fu berpikir, terlalu kuat untuk sebuah ranting, teksturnya padat, sangat keras dan tidak patah walau diinjak. Itu bukan kayu.

Fu lalu berjongkok hendak mengambilnya, namun dia dihentikan oleh suara gagak.

"KOAK!" sangat tiba-tiba.

Fu langsung menoleh ke arah kanannya, lalu hening sejenak dan tidak terdengar lagi. Yang benar saja, sama sekali tidak ada kepakan sayap jika gagak itu benar-benar sudah berlalu kecuali … itu sebuah roh.

"Ah sudahlah," Fu mengabaikannya, itu hanya sebuah roh kecil, pikirnya. Fu memang pria pemberani—setidaknya dia bisa terlihat gagah—sebenarnya dia takut dengan ….

"Scream!" tiba-tiba terdengar jeritan yang sangat nyaring, menusuk telinga dan dengan nada yang mengerikan.

Fu benar-benar kaget karena tiba-tiba saja terdengar jeritan iblis tepat di arah depannya.

"Sial," jantung Fu berdebar, dia pikir, jangan-jangan ini malah seperti film horror.

Setelah jeritan tiba-tiba terdengar suara langkah yang menerobos rumput. Krash, sangat dekat. Seperti sedang mengincar Fu, di sekelilingnya dan mungkin akan segera menerkam.

"Sial, mahluk apa lagi ini? Oh God, aku tidak mau melihat hantu yang mukanya seram." Kalau hantunya cantik, ramah dan baik hati, pastinya aku akan betah, pikirnya.

Sepertinya mahluk itu tidak menyadari keberadaan Fu. Dia bergerak tanpa tujuan yang jelas—kesana-kemari seperti kebelet kencing.

Fu sebisa mungkin agar tidak bersuara. Dia mencoba tetap diam sampai situasi aman, tapi dia kembali dikejukan oleh suara tangisan perempuan. Sangat dekat.

"Shit," keluh Fu, "Jangan lagi, aku yakin ini pasti seram, seperti hantu toilet."

Tangisan misterius di malam hari adalah tangisan yang membawa petaka. Dan petaka itu menjawab dengan munculnya banyak pasang mata menyala merah menatap tajam ke arah Fu.

"Damn!" keluh Fu.

Memang kebiasaan Fu kadang-kadang memakai bahasa asing, selain dia memang blasteran dia pernah tinggal di Amerika untuk beberapa waktu.

Tidak ada pilihan lain. Fu segera mengambil benda yang sempat ia injak lalu tiba-tiba semua ketegangan itu menghilang begitu saja—setelah memegang sebuah katana yang dia temuakan, semua iblis itu tiba-tiba lenyap bersamaan dengan kabut—tanpa berbekas.

Fu dibuat diam dalam kebingungan, "Hah?" Kemana mereka pergi, pikirnya.

Semua menghilang setelah Fu mengambil sebuah katana berwarna hitam secara keseluruhan. "Ilusi?"

Fu memperhatikan katana itu, "Ini terlihat aneh" ucap Fu setelah melihat ada lambang teratai pada gagangnya.

"Sudahlah, aku tidak mau memikirkan ini."

Fu berdiri, dia akhirnya tau di mana dia berada, "Kuburan heh? Sekarang apa lagi ini? Damn, aku sama sekali tidak mengenal di mana aku berada sekarang."

Sebuah kuburan yang terlihat cukup aneh. Seperti kuburan pada zaman kesatria—terdapat lambang-lambang kesatria pada setiap nisan—yang penuh dengan batu-batu nisan yang tertulis dalam aksara dan latin. Ini seperti perpaduan antara dua budaya kerajaan yang berbeda.

Sebaiknya aku keluar dari tempat ini, pikir Fu. Fu berjalan ke kanan, kemudian ke kiri lalu memutar begitu jauh dan sampai ke tempat di mana dia berada sebelumnya. Hal itu langsung saja membuat Fu naik darah kemudian menendang batu nisan dengan kasar sambil mengumpat, "Kurang ajar!"

Kemudian orb (sinar kecil) berwarna emas melewati wajah Fu. Dia terdiam sesaat setelah menyadari orb tersebut. Fu menoleh ke arah orb itu yang terus menjauh darinya. Karena penasaran, Fu mengikuti arah orb itu pergi. Fu melangkah pelan sampai dia merlihat sebuah gerbang keluar—orb itu kemudian lenyap dari pandangannya.

Ada kekuatan lain yang sengaja menyelamatkan Fu, berawal dari sebuah katana aneh sampai orb yang menunjukan jalan. Fu benar-benar sedang beruntung.

Sekarang tepat di pintu gerbang, Fu melihat tiga jalan besar yang menuju arah yang berbeda. "He-eh," Fu hanya tertawa ringan melihatnya. "Sebaiknya aku menunggu pemanduku muncul." setelah apa yang terjadi sebelunya, Fu yakin pasti akan ada yang datang.

Benar, tidak perlu menunggu lama seekor anjing datang mengongong ke arah Fu sambil menggoyangkan ekor.

"Seperti yang telah aku duga, memang ada yang sengaja membawaku ke sini."

Anjing itu seperti sedang memanggil Fu—anjing yang baik, dia berada di salah satu jalan—menggonggong sambil mengoyangkan ekor.

Fu dituntun oleh seekor anjing menuju sebuah kota besar, kota megah yang berada di dalam benteng—tembok bentengnya seakan-akan mencakar langit. Hanya para Dewa saja yang mampu membangun tembok besar ini, pikir Fu. Tidak disangka-sangka Fu langsung terkejut, "Yang benar saja, itu ukiran namaku yang aku buat … jangan bercanda!"

Selain sudah menodai karya para Dewa, Fu benar-benar terkejut setelah melihat ukiran namanya "Fuga Yadu" pada bagian dinding luar yang tidak terlalu jauh dari gerbang masuk.

"Damn, damn, damn! Yang benar saja, jangan bercanda atau ini hanya kebetualan? Mustahil, aku harus memastikannya dulu."

Fu segera memasuki gerbang dan kembali terkejut sampai-samapi dia harus menganga lebar sambil melotot. "Bercanda, benar-benar bercanda!" Fu belum percaya dengan apa yang dia lihat.

Tidak bisa dipercaya begitu saja, Fu berada di dunia yang sangat dia kenal. "Bagaimana aku bisa berada di sini setelah …." Fu mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. "Sebelumnya aku sekarat, tapi tunggu dulu …." dia harus berpikir logis. Jika aku tiba-tiba berada di sini, mungkin saja aku sedang dalam keadaan kritis sehingga dokter menganjurkan atau memamfaatkan tehnologi VR untuk melancarkan proses oprasi, pikirnya.

"Cukup untuk menjawab bagaimana aku bisa berada di sini, di game The Exorcist."

Tapi bagaimana dengan : baju kaos dan celana olah raga, kalung yang menjadi ciri khas Fu. "Tunggu dulu," logika Fu langsung roboh. "Aku di sini …. Asli!"

Fu kembali menampar wajahnya dan itu lebih sakit dari sebelumnya. "Damn, sakit juga!"

Fu menatap tangannya dan kembali membelalak, "Ini … tidak mungkin. Garis tanganku, lekuk-lekuk sidik jariku … apa yang terjadi denganku?"

Apa hanya kebetulan mirip dengan dunia The Exorcist, pikir Fu. Tidak bisa dipungkiri lagi, Fu sangat tahu di mana dia berdiri sekarang, "Ini benteng Victoria, benteng barat, benteng suci tempat dilahirkannya para Hero. Weeds Town, tempat untuk para pemula, tempat di mana para Hero mengawali petualangan mereka. Yang benar saja!"