Chereads / Sang Pemusnah / Chapter 2 - prolog bg. 2

Chapter 2 - prolog bg. 2

Fu tinggal di kota kecil yang berada di Bali bersama adik kembarnya. Kuta adalah tempat di mana rumah sederhananya dibangun bergaya lokal—ukiran-ukiran khas Bali menempel di setiap dinding rumahnya, memiliki halaman yang luas, cukup sejuk, dan nyaman untuk ditingali.

Kalender di kamar Fu menujukan waktu saat ini yaitu tahun 2024. Cukup menjelaskan kalau memang benar ranah teknologi canggih telah memasuki Bali yang kecil. Juga terbukti dengan berdirinya sebuah perusahaan yang menaungi game terkenal saat ini yaitu The Exorcist Online.

Karena haus dan juga mulai lapar, Fu memutuskan pergi ke mal untuk membeli semua yang dia butuhkan. Dengan mengambil langkah santai, Fu akhirnya keluar dari kamarnya setelah seharian penuh bermain The Exorcist Online semenjak pagi tadi.

Fu menemukan adiknya sedang bersantai di ruang tamu dan terlihat begitu asik dengan acara TV yang dia tonton di salah satu saluran swasta. Fu kemudian menyapa adiknya, "Malam Ran, kau terlihat senang. Apa yang kau tonton?"

"Talk Show, Kak." sahut adik Fu, dia memiliki suara yang indah dan terkesan imut.

"Oh," Fu menjawab singkat. "Oh iya Ran, kakak mau keluar, apa kau mau menitip sesuatu?"

Adik Fu kemudian berpikir sesaat lalu mengelengkan kepalanya.

"Kalau begitu kakak berangkat!" ucap Fu sambil mengikat tali sepatunya.

"Iya Kak, hati-hati!"

"Jaga rumah ya!"

"Oke."

Adik Fu bernama Trirana Yadu dan sering dipangil "Ran" oleh keluarganya. Trirana mirip identik dengan kakaknya—usianya lebih muda sepuluh menit dari kakaknya—dan gender mereka sulit dibedakan jika Fu juga berambut panjang.

Trirana memiliki paras seperti Dewi, siapa saja yang bertemu dengannya pasti akan langsung terpana olehnya. Bahkan Fu harus mengakui kecantikan adiknya.

Trirana mengenakan atasan kaos putih polos—di lehernya dia mengenakan kalung berliontin permata batu Safir—dengan dada yang tidak begitu menonjol. Gadis itu sedang duduk di atas sofa sambil mengangkat kedua kakinya. Terlihat sedang mengenakan celana pendek olah raga. Sepertinya, kepribadian Trirana tidak jauh berbeda dengan kakaknya.

***

Fu sekarang berada di dalam sebuah mal terbesar di Kuta. Dia berada di antara dua rak besar yang menampung berbagai macam sayuran. Fu sedang memilih, sayuran mana yang seharusnya aku beli? Dia sedang berpikir. "Kubis atau Wortel?" Fu terlihat bingung memilih diantara dua sayur kesukaanya itu, mengingat uangnya tidak cukup membeli dua sayuran itu sekaligus. Mau tidak mau Fu harus memilih salah satunya saja, "Baiklah, wortel!" walau sebenarnya hari ini Fu juga sangat menginginkan kubis. Mau bagaimana lagi, sisa uang yang masih ada harus dipakai untuk membeli kebutuhan yang lainnya.

Fu melangkah ke sisi lain lalu berpapasan dengan seorang pria dengan tingkah yang tidak biasa. Karena penasaran, Fu berhenti melangkah lalu menengok orang tersebut. Cara berpakaian orang itu membuat Fu menjadi curiga, "Yang benar saja, dia mengenakan jaket parasut. Apa dia sedang sakit?"

Pria yang berpapasan dengan Fu mengenakan jaket tebal dan membawa sebuah ransel di punggungnya. Dia juga mengenakan topi—pria itu menyembunyikan wajahnya dengan sedikit merunduk—dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaketnya. Setelah pria itu berada tiga meter di belakang Fu, bom tiba-tiba meledak tepat di mana pria itu berhenti.

Tidak ada yang menyangka kalau bencana akan melanda kota yang damai ini. Suara ledakan bom itu lumayan keras, "DUAAAR!" membuat Fu langsung terpental hingga membentur rak makanan lalu kehilangan kesadarannya.

Ledakan bom bunuh diri juga menyusul di tiga titik lain di dalam mal. Itu mengakibatkan banyak kerusakan yang parah.

Wajah Fu berlumuran darah akibat benturan keras, tulang punggungnya juga patah dan dia harus kehilangan banyak darah. Beberapa menit kemudian Fu tersadar, dia mendapati dirinya tergeletak di lantai dan melihat potongan tangan kanannya tepat di depan wajahnya.

Fu merintih, "Gahk." rasa sakit yang menyerang seluruh tubuhnya tidak bisa ia redam dan dia juga tidak merasakan kaki kanannya.

Walau Fu sudah terbiasa melihat darah lukanya sendiri, namun sakit yang dia rasakan sekarang bukanlah efek dari teknologi Virtual Reality.

Fu tidak ingin mati, sekalipun ini di dunia nyata, dia tidak akan menyerah begitu saja. "Aku tidak mau mati!" seru Fu, dia mulai menyeret tubuhnya dengan satu tangannya yang masih utuh.

Darah Fu terus mengalir, dia melawan rasa sakitnya dengan tekatnya yang kuat, dia ingin menjamah pintu keluar mal dan sesegera mungkin dirinya diselamatkan. Namun sayang, tekatnya yang kuat tidak sebanding dengan kondisi tubunya yang sekarang. Darahnya terus mengalir menguras kesadarannya, tenaganya dan pandanganya. Fu baru bergerak hampir satu meter dan setengah meter lagi pintu keluar yang terhalang rak makanan akan terlihat, namun pintu keluar tertutup oleh rak yang roboh. Sepertinya takdir menginginkan Fu untuk mati, tapi Fu memilih melawan takdir itu.

Fu sebisa mungkin melawan rasa sakitnya yang semakin menjadi-jadi. Dia sekeras mukin untuk terus bergerak, tapi sekuat apapun dia bersikeras kesadarannya mulai memudar dan pandangannya semakin kabur. Di saat seperti itu datang seorang wanita yang langsung mengulurkan tangannya ke arah Fu. Mendadak Fu melihat di sekitarnya menjadi serba putih. Api yang berkobar di sekitarnya menjadi samar, tapi dia masih dapat melihat wajah wanita itu yang memancarkan aura keibuan.

Fu meraih tangan wanita yang sepertinya datang untuk menyelamatkannya, tapi sayang Fu harus kehilangan seluruh kesadarannya saat itu juga.