Hari jumat adalah hari di mana Lizzy menjemput Nicole. Dia sudah melapor sang atasan bahwa dia sedikit terlambat untuk hari itu. Tentang keinginan Lizzy ingin menjadi wali Nicole, tak butuh memakan waktu yang lama.
Kini, Lizzy tengah berbincang dengan Lisa yang telah pulang dari rumah sakit. "Nona Lizzy," Lizzy menoleh kepada si dokter yang berkenalan dengannya beberapa hari lalu. Dia adalah David, dokter psikiolog di rumah sakit tempat Nicole dirawat.
"Pasien Nicole sudah selesai berkemas hanya saja dia kelihatan ragu." lanjutnya. Lizzy mengangguk dan kembali memperhatikan Lisa. Sesudah menghentikan perbincangan, Lizzy mematikan ponsel lalu ikut bersama David.
Lizzy melihat tak ada yang berubah dari pandangan Nicole sejak pertama kali bertemu, kedua matanya masih terus saja dipenuhi rasa ketakutan. Bedanya wanita itu berpakaian layak orang kebanyakan dan rambutnya telah rapi. "Hai Nicole, apa kau ingat kepadaku?" sapa Lizzy ramah.
Nicole mengangguk pelan, tapi tak bersuara. "Begini, aku datang ke sini untuk menjemputmu.." belum sempat menuturkan keinginan, Nicole segera menyela. "Kau akan membawaku kemana?"
Lizzy terpaku, Nicole ternyata sedikit berubah. "Aku ingin membawamu ke tempat yang lebih bagus, agar kau bisa sembuh." sahut Lizzy. Nicole sekarang diam. Kesempatan itu diambil oleh Lizzy dengan mengulurkan tangan kepada Nicole.
Melihat tangan Lizzy berada di depannya, Nicole mendorong tangannya menerima uluran tersebut bahwa dia ingin mengikuti Lizzy. Lizzy tersenyum sembari menarik Nicole berdiri, membawanya keluar dari rumah sakit memasuki mobil pribadinya.
Ditutupnya rapat pintu mobil ketika Nicole masuk. Lizzy kembali mendekati seorang perawat meraih barang-barang milik Nicole dari tangan si perawat. "Terima kasih karena sudah merawat Nicole, kami pergi dulu." pamitnya kepada David dan si perawat.
Lizzy lalu masuk ke dalam mobil setelah memasukkan barang Lizzy di dalam bagasi. Mobil milik Lizzy berbunyi dan tak lama sesudahnya, mobil itu pun berjalan keluar dari halaman rumah sakit jiwa B.
Dalam perjalanan, Nicole terus saja diam. Tetapi rasa ketakutan atau tubuh gemetaran tidak tampak sama sekali. Dia lebih tertarik melihat pemandangan kota di balik jendela mobil yang tertutup kaca bening.
Entah berapa lama dia terkurung di rumah sakit jiwa, tetapi yang jelas Lizzy bisa menyimpulkan Nicole rindu dengan kehidupannya di luar sana. Mobil milik Lizzy berhenti tepat di sebuah bangunan berwarna coklat. Lizzy keluar menghampiri seorang wanita yang tengah asyik membaca buku.
Si wanita berdiri dan menjabat tangan Lizzy dilanjutkan dengan perbincangan antara keduanya. Tak lama mereka berdua berjalan menghampiri mobil. Lizzy membuka pintu mobil samping pengemudi di mana Nicole duduk. "Inilah Nicole, wanita yang aku bicarakan."
Lizzy lalu beralih pandangan ke Nicole. "Nicole, keluarlah aku ingin kau mengenal seseorang." Nicole keluar dari mobil dengan enggan. Sepasang mata hazelnya menatap si wanita yang melemparkan senyum kepadanya.
"Hai aku Hirano, siapa namamu?" tanya wanita itu sambil menganjur tangan ke depan Nicole.
"Aku Nicole." jawab Nicole tanpa menjabat tangan Hirano. Hirano membuang napas kasar, menarik tangannya menjauh. Masih raut wajah yang sama, tersenyum simpul.
Lizzy menghampiri mereka dengan koper Nicole. "Nicole, apa kau sudah berkenalan dengan Hirano? Dia akan menjadi psikiatermu sekarang." Nicole yang mendengar ucapan Lizzy sontak memandang remeh kepada Hirano.
Di mata Nicole, Hirano seperti wanita biasa kebanyakan. Sementara Hirano hanya bisa tersenyum getir. "Disinilah dia bekerja dan kau akan tinggal bersamanya." ujar Lizzy dengan melangkah mendekat pada bangunan dengan dominasi warna coklat beserta di belakangnya ada dua wanita yang bersamanya.
Mereka masuk ke dalam melihat kamar yang akan ditempati oleh Nicole. Beda sekali dengan kamar di rumah sakit jiwa, kamar itu terang sebab punya jendela. Ranjang yang nyaman dilengkapi dengan selimut.
Nicole tak banyak bicara dan masuk lalu duduk di atas ranjang. Lizzy dan Hirano lalu keluar dari kamar Nicole. "Jangan khawatir, dia akan kami rawat baik-baik." Lizzy mengangguk lalu pamit untuk bekerja.
Dia sama sekali tak risau, malahan dia sangat mempercayai Hirano. Sekarang, Lizzy harus mengerjakan semua tugas selaku Direktur Utama.
💟💟💟💟
Sore harinya, Lizzy sampai ke apartement beserta badan yang lesu karena seharian bekerja merampungkan kegiatan. "Malam Nyonya," sapa Santi melihat Lizzy masuk.
"Malam Santi." balas Lizzy lemah. Dia menghampiri pintu kamar dan membuka pintu tersebut. Hal yang pertama kali dia lihat adalah amplop berwarna merah muda tergeletak di atas meja dekat ranjang.
Lizzy melangkah dan mengambil amplop itu. Setahunya hanya dia yang punya kunci kamar. Sebelum berangkat juga, Lizzy memastikan kamarnya terkunci bagaimana bisa ada ada sebuah amplop asing di atas meja?
Penasaran timbul dalam diri Lizzy yang segera membukanya, di dalamnya terdapat sebuah undangan dengan nuansa berwarna pink juga.
Untuk Lisa
Aku secara khusus mengundangmu ke Festival Nusantara besok untuk berkencan denganmu. Harap diterima! ❤❤
Lizzy tertawa mengejek. Undangan ini lebay sekali dan tanpa mencari siapa pengirimnya, Lizzy tahu ini adalah ulah Saga. Siapa peduli dengannya, Lizzy tak akan pergi berkencan dengan Saga walau pun pria itu bersujud dan menangis darah di hadapannya.
Lebih baik Lizzy mengambil waktu untuk beristirahat. Dia meremas undangan dan melemparnya masuk ke dalam sampah. Tanpa merasa kasihan, Lizzy membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
💟💟💟💟
Entah apa yang merasuki Lizzy, keesokan hari Lizzy pergi ke Festival Nusantara. Ini semua karena dia tak memiliki aktivitas apapun. Lisa sedang pergi berkencan, Eka tengah sibuk dengan suaminya, Ayah dan Ibu tengah sibuk berdua. Ah, menyedihkan sekali menjadi seorang single yang akan menjadi perawan tua.
Jadi dari pada Lizzy tak melakukan apa-apa, akan baik jika dia bermain-main dengan Saga terlebih dahulu. Lizzy melirik jam tangannya dan mendumel kesal. Kenapa Saga terlambat? Bukannya dia yang menginginkan kencan ini? Lizzy merasa tak tenang.
Tiba-tiba saja sebuah tangan kekar menyentuh salah satu pundak Lizzy. Lizzy yang marah sekaligus waspada, mencengkram tangan tersebut hendak membanting.
"Hei ini aku!" Lizzy melepas cengkramannya dan membalikkan badan menghadap kepada Saga. "Maaf ya aku terlambat." Lizzy mendengus kesal.
"Kau dari mana sih aku sudah menunggumu lama. Cuacanya panas tahu?!" protes Lizzy kepada Saga.
"Kan aku sudah bilang dari tadi, maaf aku terlambat." Lizzy meraung kesal lalu berjalan meninggalkan pria itu yang menampakkan raut wajah bingung.