"Lisa, aku ucapkan selamat ya karena sudah menyelesaikan pengobatanmu." Lisa tersenyum manis dan menerima uluran tangan Dimas dengan senang hati.
"Terima kasih dokter." ucap Lisa. Dimas ikut-ikutan tersenyum. Dia senang bisa melihat Lisa yang sehat sama seperti dahulu. Wajahnya tak terlihat pucat dan muram telah berganti dengan sifat ceria.
"Dengan begini besok kau bisa pulang dan beristirahat di rumah." Ayah dan Ibu Lisa akhirnya tersenyum lega. Beban yang mereka tanggung kini menjadi agak ringan walau mereka tetap mengkhawatirkan Lizzy dengan balas dendamnya kepada Saga.
"Tetapi kau harus mengecek kondisimu setiap minggu. Kau mengerti?" Lisa mengangguk. Dia melarikan pandangan pada kedua orang tuanya dan memeluk keduanya. Tanpa mereka, Lisa mana mungkin melewati masa sulitnya.
Begitu juga dengan Lizzy, sayang sekali karena saudara kembarnya itu tak datang dikarenakan banyak pekerjaan. Sudah berapa hari ini, Lizzy tak pernah mengunjunginya tetapi Lisa tetap berpikir positif.
Dia adalah direktur utama di M&A Corp, sudah semestinya dia sangat sibuk. "Aku permisi dulu." Lisa tersadar setelah Dimas mengatakan dan memutar tubuhnya untuk pergi.
"Tu-tunggu dulu.." Dimas kembali membalikkan tubuhnya kepada Lisa.
"Aku ingin bicara denganmu, berdua saja." Dimas mengerjapkan mata berusaha menyembunyikan kegugupan yang dia rasakan sedang jantungnya berdetak tak karuan.
"B-baiklah." Lisa berjalan diikuti oleh Dimas sedang Ayah dan Ibunya tersenyum melihat mereka.
"Kau mau bicara apa?" tanya Dimas to the point.
"Kau belum jawab pertanyaanku?" Dimas menampakkan wajah penuh tanda tanya.
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah mengatakan tentang perasaanku. Sekarang perasaanmu, jika kau berkenan mau tidak kau jadi pacarku?" Dimas terkesima. Tak sadar dirinya meneguk ludah di depan Lisa dan mencoba untuk berpikir jernih meskipun Dimas tahu sekarang otaknya tak bekerja dengan baik.
"Kenapa kau diam? Apa kau sudah punya seseorang?" tanya Lisa dengan wajah yang pucat pasi. Dimas buru-buru menggeleng.
"Ak-aku masih lajang kok." jawab Dimas malu-malu menatap Lisa yang balik melihat dengan mata berbinar-binar. "Jadi apa kau mau jadi pacarku?" Dimas menggaruk kepalanya lalu mengangguk.
"Kau kelihatan bingung, yang jelas dong!" protes Lisa. Bibirnya mengerucut kesal.
"Iya, aku mau jadi pacar kamu." jawab Dimas setenang mungkin. Lisa mengganti raut wajahnya menjadi senyuman manis. "Sungguh?"
"Iya sungguh." sahut Dimas. Dia tertular memberikan senyum manis kepada Lisa. "Apa kau bersungguh-sungguh?"
"Iya, aku bersungguh-sungguh." Lisa gembira dan saking bahagianya, dia tak malu-malu memeluk Dimas. Jantung mereka mulai berdetak dengan kencang, wajah keduanya serasa hangat.
Lisa agak segan bertatap muka tetapi tubuhnya tak bisa berkompromi sehingga kepalanya mendongak dan mendapati wajah Dimas sangat dekat. Sontak Lisa memberi jarak di antara mereka begitu juga dengan Dimas yang salah tingkah.
"Ja-jadi sekarang.... bagaimana?" Lisa melirik kepada Dimas yang bertanya. "Ya kita pacaran." ujar Lisa.
Dimas kembali menggarukkan kepala dan tiba-tiba dia membuat gerakan yang sulit dibaca. Dia menarik Lisa mendekat, sebelum bertanya Lisa kembali terkesiap saat merasakan dahinya disentuh oleh benda lunak.
Dimas tengah mengecup dahi Lisa dengan penuh kasih sayang. Lisa tak bisa mengatakan apa-apa selain membulatkan matanya kepada Dimas sesudah pria yang berprofesi sebagai dokter melepaskan kecupan itu. "Apa kau mau berkencan denganku?"
"Be-berkencan denganmu?" Dimas mengangguk cepat karena gugup. Agak lama Lisa terdiam dari keterkejutannya dan memproses pertanyaan Dimas.
"Iya aku mau." jawab Lisa.
๐๐๐๐
Keesokan harinya, Lisa mengemas pakaian dengan bersemangat untuk pulang. Dia tak sabar sampai ke rumah karena merindukan suasananya. "Sudah siap Lisa?" Lisa menoleh kepada Ayahnya dan mengangguk.
Dia lalu keluar dari kamar inapnya. Dimas menunggunya di samping sebuah lonceng. Lonceng itu dibunyikan oleh para pasien jika mereka telah menyelesaikan pengobatan di rumah sakit tersebut.
Karena Lisa sudah sembuh, dia berhak untuk membunyikan lonceng. Lisa meraih sebuah tali kemudian menggoyangkan yang membuat lonceng bergoyang dan menimbulkan suara.
Beberapa perawat tampak bertepuk tangan sebagai bentuk penghargaan atas usaha Lisa dalam mencapai kesembuhan. Setelahnya, Lisa keluar dari rumah sakit beserta Dimas dan Ayahnya. "Beristirahatlah yang cukup dan besok kita pergi." Lisa tersenyum sebagai respon.
Keduanya saling memeluk dan berpisah sesudah Ayah Lisa mendekati mereka dengan mobil. "Sampai jumpa besok." ucap Lisa pamit kepada Dimas.
"Ya sampai jumpa." Lisa lalu masuk dengan semringah di wajah. Sesekali dia memandang Dimas sampai mobil pun berjalan meninggalkan rumah sakit. Sang Ayah ikut-ikutan tersenyum melihat Lisa tengah jatuh cinta.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, sesampainya di rumah Lisa segera menelpon Lizzy untuk memberikan kabar baik. "Halo, Lizzy."
"Hm, ada apa?" tanya Lizzy dari balik telepon.
"Tebak aku berada di mana sekarang?" Lisa balik bertanya dengan nada ceria.
"Kau berada di rumah?" Lisa terkejut dan mengerucutkan bibirnya.
"Kok kamu tahu aku ada di rumah? Kau menguntitku ya?" terka Lisa kesal. Lizzy tertawa mengejek.
"Kalau kau tak balik bertanya pasti aku akan berpikir kau masih berada di rumah sakit." Lisa tak terima tapi apa boleh buat. Dia membiarkan dan mengingat kembali kencannya dengan Dimas.
"Lizzy, kemarin aku jadian sama Dimas." ucapnya malu-malu.
"Benarkah? Good luck for you, Lisa. Dimas adalah pria baik dan aku percaya kau akan bahagia bersamanya tidak seperti.."
"Tolong jangan membuat aku mengingatnya, aku masih trauma." Tak ada suara dari balik telepon yang berarti Lizzy menuruti perkataan Lisa.
"Ayo kita ganti topik, bagaimana pekerjaanmu?"
"Baik. Aku sedang sibuk sekarang mengurus beberapa masalah. Maafkan aku kalau tak sempat menjengukmu." jawab Lizzy dengan nada rendah.
"Tak apa-apa aku mengerti dan lagi kau telah memberiku banyak bantuan malahan, aku yang seharusnya minta maaf karena telah merepotkanmu."
"Kau tak perlu meminta maaf, kau saudaraku tentu saja aku harus membantumu. Kalau aku berada di posisi yang sama denganmu, kau pasti akan membantuku bukan?" Lisa membentuk sebuah senyuman.
"Ya." Suara seorang pria terdengar memanggil Lizzy dengan sopan. "Aku harus pergi, nikmati waktumu dan istirahat yang cukup." kata Lizzy.
"Ya, sampai jumpa."
๐๐๐๐
Esok harinya, Lisa terlihat rapi tengah duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Dimas untuk menjemput. Kegugupan meliputi Lisa sekarang. Ini adalah pertama kalinya Lisa berkencan dengan seorang pria.
Bahkan karena larut dalam pikiran, Lisa tak mendengar suara bel rumah yang berbunyi. Ibu Lisa langsung ke arah pintu dan menggelengkan kepalanya melihat Lisa cuma terdiam.
"Pagi Bibi, Lisa ada?" tanya Dimas sesudah pintu terbuka dan menampakkan wanita paruh baya tersebut.
"Ya, ada. Bibi panggilkan dulu." Ibu bergerak menghampiri Lisa dan menyentuh salah satu pundak anak gadisnya. Lisa sontak kaget dan menoleh kepada Ibu dengan pandangan bertanya-tanya.
"Dimas sudah menunggu kamu." Ucapan Ibunya langsung ditanggapi oleh Lisa dengan mengambil tas kecil yang tergeletak di atas meja. Di dalamnya ada semua keperluan yang dibutuhkan oleh Lisa.
Diraihnya tangan sang Ibu dengan tergesa-gesa kemudian menciumnya. "Lisa pergi dulu ya, Ibu." pamitnya. Lisa bergerak dengan cepat dan kecerobohan menimpa dirinya karena kurangnya perhatian Lisa.
Salah satu kaki Lisa terbentur sesuatu yang membuatnya kehilangan keseimbangan. Syukurlah, Dimas yang berada di dekatnya segera menolongnya. "Kau tak apa-apa?"
Lisa melirik sebentar kemudian menunduk menyembunyikan wajahnya yang merah. "Terima kasih." ucap Lisa yang lalu menjauh dari Dimas.
Mereka lalu masuk ke dalam mobil milik Dimas menuju pusat kota. "Kau mau kita kemana dulu?" tanya Lisa bingung harus memulai dari mana.
"Kau tak usah bingung, biar aku yang membawa kita. Kau tinggal duduk saja dengan tenang." Lisa tak bersuara dan mempercayai Dimas.
Mobil itu terus berjalan melewati banyaknya bangunan megah di kota besar. Dimas lalu melambat laju mobilnya dan berhenti di dekat tempat parkir. "Keluarlah, aku akan memarkir mobil." Lisa sekali lagi menurut.
Lisa keluar dari mobil lalu memutar tubuhnya. Sepasang matanya membulat melihat ramainya orang di depan. Bukan itu saja, Lisa makin terkejut karena tempat yang didatangi oleh banyak orang ini adalah tempat kencan mereka. Festival Nusantara.
Lisa terperanjat sesaat pundaknya disentuh. Dia memalingkan wajahnya ke samping dan tampak Dimas tengah tersenyum sambil memandang ke depan. "Jadi di sini kencan kita Festival Nusantara?"
"Kenapa? Ini bagus. Semua yang kita butuhkan ada di sini. Pertunjukan, belanja, game bahkan makanan juga ada." Lisa tertawa kecil.
"Apa menurutmu ini tak bagus?" Lisa menggeleng. "Kalau begitu ayo kita masuk."