Lizzy segera keluar dan menuju bus untuk pergi ke rumah mengambil mobil pribadi. Sesampainya, dia menjalankan mobil tersebut menuju alamat rumah sakit yang dia temukan di internet.
Langit tiba-tiba menjadi gelap karena ditutupi oleh awan mendung. Mobil Lizzy berhenti tepat di sebuah bangunan putih, kedua matanya bergulir pada sebuah kertas yang tertera. "Apa benar ini rumah sakitnya? Menakutkan sekali." gumam Lizzy. Lizzy lantas memberhentikan mobil di halaman parkir lalu keluar.
"Selamat pagi," sapa Lizzy sopan pada seorang penjaga. Penjaga hanya menggumam sebagai balasan sapaan dari Lizzy. "Apa benar ini rumah sakit Jiwa B?" si penjaga hanya mengangguk.
"Apa ada dokter yang bekerja di sini?"
"Ya.." Sosok pria dengan jas putih datang menghampiri Lizzy dan si penjaga. "Maaf, anda siapa?" tanya si dokter to the point kepada Lizzy.
"Saya temannya Nicole Kathrine, Lizzy Cetta. Apa benar dia adalah pasien di sini?" Si dokter mengangguk tapi dengan ragu-ragu.
"Apa boleh saya menemuinya?" Dokter tersebut memandang lekat pada dara 22 tahun itu. Dipandangi dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Saya tak yakin dia mau menemui anda, dia adalah salah satu pasien yang paling parah kami hadapi." jawabnya mengatakan alasan tak yakin. Alis Lizzy terlipat, "Kenapa anda mengatakan hal seperti itu?"
"Ikuti saya." Lizzy dan si dokter lalu masuk menyusuri suramnya koridor. Di mana-mana terdapat orang yang frustasi, depresi dan banyak hal. Terlebih yang paling membuat Lizzy miris adalah perawatannya buruk.
Orang-orang yang bekerja tidak menaruh perhatian pada pasien mereka dan terbengkalai begitu saja. Keduanya berhenti tepat di sebuah kamar yang pintunya di tutup dengan rapat. Sang dokter membuka dan masuk bersama Lizzy.
Tampaklah seorang wanita duduk di ranjang sambil menekuk kedua lutut, menyembunyikan wajahnya yang kusam. "Lihat dia. Sejak dia masuk di rumah sakit ini sampai sekarang, Nicole terus seperti ini. Kami kewalahan jika dia sedang mengamuk entah sebabnya karena apa?" terang si dokter.
Lizzy mengamati agak lama Nicole barulah kemudian dia melihat pada si dokter, "Apa boleh saya berbicara dengan dia?" tanya Lizzy meminta ijin.
"Saya tak tahu Nona, ini sedikit berbahaya karena pasien sering mengamuk. Tapi jika anda memang berniat, maka saya akan menunggu anda di sini jaga-jaga siapa tahu anda diserang." balas si dokter.
"Terima kasih." Lizzy lalu mendekati Nicole dengan pelan dan duduk di tepi ranjang yang menurut Lizzy sudah tak layak dipakai.
"Hai Nicole." Nicole tak menjawab. Jangankan membalas, memberi perhatian saja tidak. Dia sibuk dalam berpikir dan tubuhnya gemetaran. Rambutnya tak pernah di sisir secara rapi sementara kedua matanya terus memandang sudut ruangan yang di dominasi warna hitam seolah-olah takut ada monster yang mengawasinya di balik kegelapan tersebut.
"Kau pasti tak mengenalku. Aku Lizzy Cetta, aku butuh bantuanmu sekarang. Ini menyangkut tentang saudara kembarku, Lisa. Dia dicekoki oleh seseorang dengan obat terlarang. Aku sudah memeriksa suaminya tapi bukan dia pelakunya. Kau adalah temannya Kessi bukan, aku ingin tahu dia orang seperti apa?" Ketika Lizzy menyebut nama Kessi, dia tak melihat kalau saat ini Nicole menatapnya dengan kedua mata tajam.
"Jangan berani menyebut nama jalang itu didepanku!" Teriakan Nicole memeranjatkan Lizzy dan si dokter. Belum bergerak, Lizzy dibanting oleh Nicole ke tempat tidur dan mencekik lehernya.
"Kau tahu kenapa aku bisa berada di tempat ini? Itu semua karena dia yang melakukannya. Dia memberiku sebuah obat yang membuatku lemah dan aku diperkosa oleh beberapa pria yang tak kukenal! Karena dia hubunganku dengan Heru berakhir dan Heru lebih memilih jalang itu ketimbang aku! Lebih parahnya lagi, setelah Heru jatuh miskin disebabkan oleh si jalang, dia bunuh diri dan meninggalkan aku!" Penuturan Nicole benar-benar di luar dugaan Lizzy, namun bukan itu permasalahannya sekarang.
Lizzy masih sulit bernapas karena cekikan Nicole yang semakin kuat. Jika saja si dokter dan dua orang perawat tak bertindak cepat memisahkan Lizzy dan Nicole, bisa saja nyawa Lizzy sudah melayang.
Si dokter segera mengangkat Lizzy yang lemas. Dibawanya ke tempat aman sedang Nicole diberikan obat bius oleh dua perawat.
💟💟💟💟
Lizzy membuka kedua matanya. Dia mendapati dirinya di sebuah ruangan. "Syukurlah anda telah sadar." ucap Dokter. Lizzy menoleh dan mengubah posisinya menjadi duduk.
"Dokter, apa boleh aku tanya?" tanya Lizzy dengan nada pelan. Wajar tubuhnya masih lemah dengan kejadian tadi.
"Tentu Nona. Silakan."
"Kenapa Nicole bisa dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" Si dokter agak lama terdiam. Lagi-lagi Lizzy bisa melihat keraguan di kedua mata si dokter tetapi kemudian membuang napas kasar.
"Pasien Nicole dibawa ke sini karena dia menderita trauma parah. Keluarganya bilang pasien selalu melakukan percobaan bunuh diri dikarenakan berita kematian mantan kekasih yang mendadak." jelas si dokter.
"Jadi kalian tak tahu kalau dia juga trauma akan pemerkosaan." Si dokter menunduk disertai gelengan.
"Bagaimana dengan wali atau keluarganya? Apa dia sering dijenguk?" Si dokter kembali menjawabnya dengan gerakan tubuh sekali.
"Kami berusaha menghubungi keluarga pasien tapi tak ada hasil." Lizzy membuang napas pelan.
"Apa saya bisa menjadi walinya Nicole?" Si dokter menengadah memandang tak percaya kepada Lizzy yang kini memperlihatkannya dengan serius.
"Entahlah Nona, saya tak tahu tetapi jika anda berhasil menjadi wali pasien, apa yang akan anda lakukan?"
"Membawanya dari rumah sakit ini." jawab Lizzy lugas. Nicole adalah saksi kuncinya sekarang dan rumah sakit ini tak layak menjadi rumah Nicole.
Meski Lizzy hampir saja terbunuh, namun sama sekali tak menyurutkan keinginan Lizzy untuk memperoleh hak wali Nicole. Lizzy akan menjadikan Nicole sebagai senjata untuk melawan Kessi. Dia yakin Nicole akan dengan senang hati membantunya. Tetapi sebelum itu terjadi, Lizzy harus menyembuhkan trauma Nicole dan mencoba menyakinkan wanita itu agar mau bekerja sama.