Lizzy, kau masih di sana?" Lizzy mengerjapkan matanya tersadar dari pikiran. "Ya, terima kasih atas informasinya Eka." telepon pun ditutup oleh Lizzy.
Lizzy kembali sibuk membaca biodata Kessi lagi dan akhirnya memutuskan untuk tmidur.
๐๐๐๐
Keesokan paginya, di rumah sakit Lisa menjalani beberapa tes psikologis dari seorang psikiater dan dibantu oleh Dimas. Hasilnya sesuai dengan terkaan Dimas, Lisa mengalami gangguan psikologis.
"Bagaimana hasilnya?" Dimas memandang Lisa yang sedang cemas sekarang namun pria itu tak menjawab dan tersenyum pada Lisa.
"Apa kau sudah makan?" Lisa tercenung sesaat kemudian menggeleng. Dimas lalu mengambil sepiring bubur yang masih hangat. Bubur tersebut dibawakan oleh perawat untuk dimakan oleh Lisa namun gadis itu tak menyukai aromanya sehingga dia hanya meletakkan begitu saja di atas meja.
"Makan dulu supaya tubuh kamu sehat, kamu sendiri yang bilang kalau kamu ingin pulang cepat-cepat." Dimas menyodorkan sendok penuh bubur pada Lisa yang menahan napas.
Lisa berusaha tersenyum dan memakan bubur tersebut. Dimas terus melakukan hal yang sama sampai bubur itu habis. "Gadis baik, minumlah." Lisa mengambil gelas yang dipenuhi air dari Dimas dan meminumnya. Kedua matanya memandang pada Dimas.
Dia sama seperti dulu, pemuda yang baik dan selalu peduli pada Lisa. Awal perkenalan saat keduanya masih remaja di dalam tim badminton, Lisa berpikir Dimas adalah orang yang sombong dari sifatnya yang congkak.
Dia juga sama sekali tak bisa akrab dengan Lisa padahal keduanya berada di dalam tim ganda campuran. Dimaslah yang menegurnya saat Lisa bertengkar hebat dengan Lizzy karena persoalan Lizzy yang terpilih sebagai pemain tunggal putri.
Kalau mengingatnya, begitu banyak kenangan yang terjadi saat mereka masih remaja. Di mana mereka bersama mengejar cita-cita mereka sebagai pemain bulutangkis. "Lisa, obatmu." Lisa memandang Dimas yang kini menyodorkannya obat dan segelas minuman lagi padanya.
Dimas duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Lisa. "Lisa, boleh aku bertanya padamu," Lisa mengangguk setelah menelan obatnya. Dia lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja.
"Apa kau diperlakukan kasar oleh suamimu?" tanya Dimas menyelidik. Pikiran Lisa menerawang, mengingat hari-hari di mana dia bersama Saga. Dimas mengkerutkan alisnya saat Lisa menggeleng.
"Dia hanya menatap benci dan tak peduli padaku. Satu-satunya yang kasar darinya adalah tindakan dingin dan perkataannya yang sarkastik." Dimas mengerjapkan matanya, jika bukan Saga yang membuat Lisa tertekan, lalu siapa yang tega melakukannya?
"Dimas," Dimas kembali memandang Lisa yang kini kikuk. "Karena kau sudah bertanya, boleh aku bertanya padamu?" Melihat sikap Lisa yang kikuk, dia entah kenapa tiba-tiba jadi gugup juga.
Suasana canggung terasa di antara mereka berdua. Dimas pernah merasakan situasi yang sama ketika keduanya berpisah setelah memutuskan untuk keluar dari tim bersama teman-temannya. Dimas masih ingat saat Lisa menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan malam itu.
Tapi yang dia ucapkan hanyalah selamat tinggal. Dimas yang waktu itu baru berumur 16 tahun tahu jelas bahwa bukan itu yang ingin diucapkan oleh Lisa, tapi entah apa yang ingin dikatakan oleh Lisa hanya Lisa yang tahu.
Sekarang mereka kembali terjebak dalam situasi di malam perpisahan. Tatapan Lisa membuat Dimas merasa kembali pada kejadian 10 tahun yang lalu. "Apa kau ... masih sendiri?"
Deg
Wajah Dimas memanas, dia menunduk malu dan memandang Lisa dengan cara melirik. Sama sepertinya, wajah Lisa memerah dan menunduk. "K-kenapa kau menanyakan hal itu?" Dimas balik bertanya dengan gugup.
Lisa melebarkan matanya walau tak merubah pandangannya. "Mm, itu karena.."
Brak!
"Lisa.." Lizzy terpaku sesaat memandang Dimas dan Lisa. Keduanya sama-sama melihat pada Lizzy. "Oh apa aku mengganggu kalian berdua?" tanya Lizzy setelah agak lama.
Dimas berdehem dan melirik Lisa kemudian beralih pada Lizzy lagi, "Tidak, sama sekali tidak. Aku harus pergi, ada pekerjaan lain.." dia menjeda karena melihat lagi pada Lisa.
"Kita akan berbicara nanti." Lisa memulas senyum simpul dan mengangguk pelan. Begitu Dimas pergi, Lizzy menghampiri Lisa dengan senyuman genit.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Lisa innocent, Lizzy otomatis berdecak kesal muak dengan muka innocent Lisa.
"Sudahlah jangan pura-pura, aku tahu kau membicarakan hal apa dengannya ... cinta lama bersemi kembali!" wajah Lisa kembali merah padam. Dia memukul pelan pundak saudara kembarnya yang kini terkekeh meledeknya.
"Aku kesal padamu, kenapa kau selalu tahu apa yang ada di dalam diriku? Apa karena aku mudah ditebak pikirannya!" gerutu Lisa kesal.
"Tidak," jawab Lizzy cepat. Lisa tanpa merubah raut wajahnya menatap Lizzy,
"Lalu.." Lizzy tersenyum penuh arti sambil bersidekap dada.
"Itu mudah karena Dimas adalah cinta pertama Lisa. Dari dulu sampai sekarang, dia tetap dan akan selalu menjadi cinta pertamamu." Lisa tersenyum penuh arti, Lizzy selalu bisa menebak apa yang berada di dalam hatinya.
Kejadian 10 tahun lalu di mana keduanya berpisah adalah hari di mana Lisa mengumpulkan keberaniannya untuk menyatakan perasaannya tapi Lisa terlalu bodoh dan melengser dari tujuan awalnya. Dari mengatakan cinta tapi karena terlalu gugup akhirnya hanya menyisakan ucapan perpisahan.
Sewaktu remaja, Lisa juga terlalu bodoh untuk menyadari perasaan pada Dimas. Jika saja Lizzy tak menyadarkannya mungkin dia masih seperti orang idiot, tak mengetahui kalau dia diam-diam menyukai Dimas.