Chereads / Alta dan Allamanda / Chapter 51 - Ba 27 | Senja, Bunga, dan Trampolin

Chapter 51 - Ba 27 | Senja, Bunga, dan Trampolin

Bab 27. Senja, Trampolin, dan Buket Bunga

Aku menyukai senja. Sekalipun sesaat namun ia lebih memiliki itikad baik ketika pergi dan mengucapkan selamat tinggal dengan cara yang begitu indah. Tidak seperti kamu.

***

Permukaan trampolin yang diduduki Alta hampir dipenuhi beberapa macam tangkai bunga berwarna putih serta pita besar warna-warni yang tergeletak berserakan bersamaan dengan paper tip dan kain jerami. Alta menghirup udara dalam-dalam ketika angin berhembus dan menghantarkan aroma campuran dari bebungaan tersebut ke indra penciumannya. Lalu Alta menoleh pada sisi di seberangnya, seorang gadis sedang fokus menggunting daun-daun di pinggiran tangkai krisan berwarna putih, setelah itu menumpuk tangkai yang sudah rapi menjadi satu. Merasa diperhatikan, gadis itu menaikkan pandangannya.

Gadis itu mengangkat kedua alisnya. "Apa?" tanyanya bingung ketika Alta menatap lurus ke arahnya.

"Sini," perintah Alta menyuruh gadis itu mendekat. Di luar dugaan Alta karena gadis itu langsung beranjak ke arahnya, membuat trampolin berguncang sedikit. Sekarang gadis itu sudah duduk di depannya. Ia mengambil bunga-bunga yang sudah ia rapikan tadi lalu kembali fokus pada pekerjaannya dan mulai merangkai bunga krisan, anyelir, aster, tulip, dan baby breath menjadi satu. Semuanya bunga itu berwarna putih.

Alta menyusupkan tangannya pada bagian rambut gadis itu yang terurai dan menyelipkannya ke belakang telinga.

"Nggak laper?" tanya Alta.

Gadis itu menggeleng. Ia mulai mengikat beberapa tangkai bunga yang ia kumpulkan tadi menggunakan kain jerami. Setelah itu menatap Alta. "Kamu laper?"

Alta bergumam. Ia mengambil alih bunga ditangan gadis itu dan mengikatnya lebih erat agar tangkai-tangkainya tidak terurai kembali. "Kenapa nggak pake bunga mawar?" tanya Alta setelah selesai dan meletakkan buket bunga sederhana itu didepannya.

"Bunda sukanya krisan," jawab gadis itu. Ia kembali merangkai bunga-bunga yang tersisa dan sedikit mengabaikan Alta.

Alta mengangguk. Ia mengamati separuh wajah gadis dihadapannya yang tertimpa sinar dari langit barat, membuat mata abu gadis itu berkilat. Angin sore lagi-lagi menghempas rambut panjang gadis itu dengan lembut. Dengan background yang klasik, rumah bergaya american colonial, halaman penuh bebungaan dan langit barat yang berwana merah menyala bercampur keemasan, Alta merasa bahwa ia seperti melihat sebuah potret foto dengan fokus utama gadis dihadapannya.

Hari ini langit seolah sepakat dengan bumi untuk memberikan satu jeda tanpa hujan demi scene manis untuk dua manusia di atas trampolin berwarna biru itu.

Lalu Alta mengulurkan tangannya. Lagi-lagi menyelipkan rambut gadis itu ke belakang telinga ketika angin menghempaskannya.

"Lamanda.." panggil Alta.

"Ya?" jawab gadis itu sambil menggunting paper tip.

"Setelah apa yang Vero lakuin ke lo, apa lo benci dia?" tanya Alta.

Kali ini gadis yang dipanggil Lamanda itu menghentikan gerakan tangannya merangkai bunga tulip putih. Ia mendongak dan memandang Alta lama. Setelah itu ia tersenyum lalu diluar dugaan Alta lagi, gadis itu menggeleng. Ia kembali pada kegiatan awalnya. Sambil fokus pada karangan bunganya Lamanda menjawab. "Dalam hidup, aku nggak pernah diajari buat membenci orang lain. Bunda bilang, apapun yang telah oranglain lakukan pada kita, seburuk apapun perlakuan itu. Kita nggak berhak membencinya apalagi membalasnya."

Selesai mengikat buket bunga dengan pita Lamanda mengamati hasil karyanya itu lalu mendekapnya erat sambil memandang Alta. "Aku memaklumi alasan Vero benci aku sampai dia berbuat kayak gitu. Aku rasa nggak ada gunanya aku benci dia. Hidup aku terlalu singkat buat membalas benci seseorang. Aku cuma perlu memaklumi, setelah itu memaafkan dan berusaha ngelupain apa yang aku maafkan."

Seolah terlarut dalam perkataan gadis di hadapannya. Alta hanya diam. Seketika ia berpikir bagaimana cara agar ia bisa seperti itu. Memaafkan, melupakan, lalu rasa benci itu hilang. Mungkin dalam merencanakan, otaknya akan dengan mudah melakukannya. Tapi hatinya tidak.

"Kenapa kamu ngeliatin aku kaya gitu?" celetuk Lamanda.

Sadar akan hal itu Alta menggeleng. "Nggak."

Lamanda tersenyum lalu menyerahkan buket bunga yang dipegangnya kepada Alta. Alta mengernyit.

"Buat kamu. Lucu nggak?"

Alta menerima buket bunga tersebut. Mengamatinya sebentar dan kembali melihat ke arah Lamanda. "Lucu," komentar Alta.

Ada banyak hal yang telah berubah pada lelaki di hadapannya namun Lamanda tidak akan menuntut lebih dan menyuruh lelaki itu kembali seperti dulu. Sejak Davino-nya itu kembali, Lamanda sudah sangat bersyukur meskipun tidak percaya pada awalnya. Mungkin Tuhan sedang berbahagia saat merencanakan scene pertemuan mereka lagi dan ingin mereka kembali melanjutkan cerita yang sempat terhenti.

"Kamu laper?" tanya Lamanda. Alta mengangguk.

"Mau mie tek-tek nggak? Enak loh, langganan aku. Biasanya aku beli setiap sore sama Kalka terus makan bareng deh di pinggir jalan bareng Varsha sama Langit."

"Varsha sama Langit?"

Lamanda mengangguk. "Iya, masa kamu lupa?" Lamanda melongok ke arah belakang Alta. "Tuh mereka udah standbye nungguin mie tek-teknya," ujar Lamanda membuat Alta menoleh ke belakang dan mengikuti arah pandangnya.

"Mau nggak?" tanya Lamanda lagi karena Alta tidak menjawab. "Nanti kita makan bareng mereka biar rame sekalian sambil dengerin abang mienya ngelaw-- abangnya udah dateng!!" seru Lamanda dan bangkit berdiri saat melihat penjual mie yang ia maksud melintas dan berhenti tepat di depan rumah Varsha. "Ayo," ajak Lamanda.

Alta menghela napas dan menarik Lamanda kembali duduk. Setelah itu Alta berdiri. "Lo tunggu disini biar gue yang beli."

Lamanda tidak berbicara lagi dan memilih menurut. Setelah itu ia sudah melihat Alta berjalan menjauh, membuka pagar rumah, lalu menyebrangi jalan komplek yang lengang dan berhenti tepat di depan rumah Varsha.