Bab 30. Bad Chrimast bag. 1
Karena mempertahankan kepercayaan tidak semudah ketika kita memutuskan untuk percaya.
***
Kenyataan yang tidak pernah bisa Lamanda tepis adalah bahwa ia tidak pernah bisa menolak apapun permintaan Kalka, ia akan menurut meskipun selalu membantah pada awalnya. Seperti kejadian saat ia meminta pulang ketika sedang dirawat di rumah sakit.
Mungkin karena Lamanda sudah mempercayakan dirinya pada Kalka dan yakin bahwa semua pilihan yang kakaknya berikan adalah yang terbaik untuk dirinya. Jadi Lamanda memilih menurut.
Seperti kali ini, Kalka memintanya untuk ditemani ke undangan makan malam oleh papanya Vero. Tidak perlu ditanya, Lamanda sudah pasti menolak tadi namun pada akhirnya ia tetap ikut karena Kalka tidak berhenti merajuk. Lamanda juga tidak enak hati karena papanya Vero katanya ingin bertemu dengannya juga karena beliau pemilik yayasan tempat ia sekolah sekarang.
Lamanda melihat ke luar jendela mobil. Pepohonan dan lampu-lampu jalanan terlewati dengan cepat. Sepanjang perjalanan, Lamanda habiskan untuk melihat pemandangan kota yang malam ini didominasi warna merah, hijau, dan putih. Seperti toko-toko yang berjejer dipinggir jalan. Hampir semua bagian depannya dihiasi pernak-pernik natal dengan warna tersebut.
Saat mobil berhenti di lampu merah, Lamanda dapat mendengar lagu bertemakan natal terputar jelas di radio mobil saat jeda pariwara.
Lamanda menoleh ke arah cutdown timer lalu lintas yang masih menghitung mundur. Masih lama. Ia melihat Kalka sedang mengetukkan jarinya di setir sambil bergumam mengikuti lagu.
"Ka.." panggil Lamanda. Kalka menoleh. "Emm... banyak ya yang nggak gue tahu waktu gue koma dulu?" tanya Lamanda tiba-tiba.
Kalka mengernyit heran. "Banyak," jawabnya kemudian. Ia kembali melihat ke arah depan. "Misalnya pas gue ngompol gara-gara kamar mandi di ruang inap lo ngadat dan gue harus lari nyari kamar mandi di luar. Lo juga nggak tahu Arsya jadi jelek banget waktu itu anjas, matanya sampe kayak panda gara-gara nangis dan begadang jagain lo. Kaila juga--"
"Bukan itu," potong Lamanda.
Kalka menjalankan mobilnya kembali karena lampu berganti warna hijau.
"Ini soal Davino. Davino yang katanya... meninggal dan donorin matanya buat gue."
Terdengar helaan napas dari Kalka. "Gue jenguk Davino cuma dua kali. Terakhir kali gue lihat keadaan dia, masih sama dan nggak ada perkembangan berarti. Terus, waktu itu sore hari tepatnya. Gue baru pulang dari lomba futsal di Surabaya dan langsung ke rumah sakit. Gue lihat bunda sama tante Viola nangis di depan ruang inap lo."
Kalka mencengkram setir mobilnya saat mengingat kilasan memori terburuknya itu.
"Pikiran gue udah kemana-mana. Gue kira... lo meninggal." Kalka melihat Lamanda yang diam dan terus mendengarkan.
"Ternyata enggak. Lo sadar. Gue lega meskipun lo histeris waktu itu gara-gara nggak bisa lihat apa-apa dan divonis buta." Kalka terus berucap sambil fokus menyetir. "Lo nyariin Davino. Di sisi lain gue juga nyariin Davino yang tiba-tiba ngilang gitu aja. Sampe akhirnya gue ngerti..."
"Dia dibawa ke Singapura buat berobat disana. Sampe delapan hari kemudian, bunda bilang Davino meninggal dan donorin matanya buat lo."
Kalka menyalip mobil sedan didepannya dan sekidit menaikkan kecepatan mobilnya. "Terakhir kali gue lihat tante Viola itu pas dia jenguk lo sehabis operasi. Setelah itu gue nggak pernah ketemu dia lagi. Waktu ke rumahnya pun lo tahu sendiri kan. Kosong," ia menoleh pada Lamanda. "Ada yang lo nggak paham?"
Lamanda mengusap airmatanya yang entah kapan turun. "Tapi Davino masih hidup," kata Lamanda membuat Kalka bingung. "Lo inget Alta?"
Kalka tidak menjawab.
"He's Davino, Ka"
Kalka langsung menepikan mobilnya. Ia mencoba mengingat wajah Alta. Sekilas memang seperti Davino terlebih matanya. Kalka bahkan sempat mengira bahwa Lamanda dekat dengan Alta karena sosoknya yang seperti Davino.
"Dia bilang gitu?"
Lamanda menggangguk.
"Dan lo percaya gitu aja?"
Lamanda menggeleng. "Awalnya gue nggak percaya. Tapi dia jelasin semuanya. Dia tau semua hal tentang gue. Gimana bisa gue nggak percaya sama dia."
Kalka menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Dia bilang apa aja?"
"Hampir keseluruhan dari konflik yang dulu, yang mustahil banget buat oranglain tahu." Lamanda menarik napas dalam-dalam. "Lo inget waktu gue nangis di pinggir jalan sebelum nonton konser?"
Kalka mengangguk.
"Waktu itu gue hampir percaya sepenuhnya karena dia bareng Kendy."
"Kendy temen Davino itu kan?"
Lamanda menggangguk. "Davino kehilangan banyak hal yang nggak mungkin bisa gue ganti. Mulai dari sekolahnya yang harus mengulang, cita-citanya yang harus tertunda, dan banyak lagi kerugian dari efek kelakuan gue dulu." Lamanda membuang pandangan ke luar. "Kalau aja gue nggak ke rumah Aksa waktu itu semuanya nggak bakal terjadi dan berakhir kayak gini."
Ini kali pertama Lamanda menyebut nama lelaki yang sudah lama tidak dilihatnya lagi sejak dua tahun yang lalu itu. Rasanya begitu... aneh.
"Itu takdir dan bukan salah lo. Tuhan udah ngatur semuanya dan lo nggak bisa nyalahin diri lo sendiri terusan." Kalka menghela napas. "Telfon Alta. Gue mau ngomong sama dia."
"Itu masalahnya sekarang. Dia nggak angkat telfon ataupun bales chat gue. Gue takut dia kenapa-napa."
"Dua hari lalu dia ke rumah. Hujan-hujanan dan dia sempat demam. Waktu dia mau pulang gue nyuruh dia nunggu lo aja biar lo yang ngater tapi dia nggak mau. Dia pulang hujan-hujanan pake motor."
"Gue takut dia kenapa-napa, Ka."
Jika Kalka disuruh untuk percaya. Ia akan memilih diam karena bukan Alta sendiri yang mengatakannya. Di sisi lain, ia juga tidak bisa meremehkan perasaan Lamanda terhadap Davino.
Kalka tahu sebelum Lamanda percaya begitu saja ada banyak hal yang telah membuat gadis itu percaya.
"Apa yang bikin yakin banget dan percaya kalo dia Davino?"
"Baby breath."
Sambil menyalakan mobilnya kembali, Kalka berkata. "Lam, gue nggak terlalu ngerti soal lo sama Davino dulu. Apalagi soal Alta yang sekarang. Tapi, ada beberapa hal yang harus lo ingat, lo nggak perlu nyalahin diri lo sendiri dan terlalu khawatir ataupun memikirkan keadaan oranglain. Khawatirin dan pikirin diri lo sendiri sebelum lo coba peduli ke oranglain."
🎼🎶
"Dia nggak bakal kenapa-napa. Mungkin dia sibuk jadi nggak sempet hubungin lo." Kalka mencoba menenangkan Lamanda yang sejak tadi lebih banyak diam setelah banyak bercerita tentang Davino tadi. Ia membuka setbealtnya. "Udah sampai. Ayo turun," ajak Kalka.
Lamanda meraih beberapa tisu di atas dashboard dan mengusap mata sembabnya. Setelah itu ia turun mengikuti Kalka.
Mereka memasuki area rumah megah yang terlihat sepi. Sesampainya di depan pintu masuk, Kalka memencet bel. Tidak lama, seorang pembantu membukakan mereka pintu dan mengarahkan mereka untuk masuk.
Saat sampai di ruang makan, mereka melihat Adrian -papa Vero- duduk disana sambil fokus pada ponsel di tangannya. Lelaki paruh baya itu mendongak ketika pembantunya memberi tahu kedatangan mereka lalu ia tersenyum. Adrian berdiri menghampiri Kalka dan Lamanda dengan senyum yang masih belum luntur di wajahnya.
"Lama nggak ketemu. Gimana kabar kamu?"
Kalka mencium punggung tangan Adrian sesbelum menjawab. "Baik, om. Om sendiri apa kabar?"
"Seperti yang kamu lihat. Baik."
Lalu pandangan Adrian teralih pada Lamanda. "Dia adik kembar kamu?"
Kalka memgangguk. "Iya, om."
"Cantik, Ka. Cocok sama Vero. Semoga mereka jodoh," lalu Adrian tertawa. Sedangkan Lamanda hanya tersenyum tipis untuk menghargai.
Setelah itu mereka duduk sambil mengobrol tentang banyak hal di ruang makan yang mejanya dipenuhi banyak makanan. Lagu klasik yang berasal dari tape di dekat pohon natal di sudut ruangan mengalun pelan menemani malam mereka.
Lamanda menoleh ke belakang ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Begitupula dengan Adrian dan Kalka yang kemudian ikut menoleh. Fokus mereka adalah Vero yang sudah berhenti berjalan dan mematung di tempat.
"Kenapa mereka disini?" tanya Vero pada Adrian.
"Papa yang undang mereka biar makannya nggak berdua aja. Lagian udah lama papa nggak lihat kamu kumpul sama Kalka." Lalu Adrian berdiri. Ia menarik lengan Vero untuk duduk bergabung. Namun, anaknya itu menepis dengan kasar.
"Jadi ini alasan papa nolak ngerayain natal di Bali? Cuma buat makan sama mereka?"
Adrian menggeleng, ia tersenyum. "Papa udah tau kelakuan kamu ke Lamanda di sekolah. Papa tau kenapa kamu sama Raskal ataupun Kalka udah nggak temenan lagi. Sekarang, bukan cuma sekedar makan bareng tapi ini waktunya kamu nyelesaiin permasalahan kamu. Sekarang duduk!" perintah Adrian.
"Kalau papa minta aku duduk dan makan sama mereka, aku nggak mau. Papa yang undang mereka kesini jadi papa aja yang makan sama mereka. Vero bisa natalan sendiri sama temen-temen."
Saat Vero melangkah keluar dari ruang makan, ia dikejutkan lagi oleh kedatangan seseorang. Vero berhenti berjalan begitupula dengan seseorang di depannya.
Namun tidak lama karena Vero melanjutkan langkahnya keluar tanpa mengidahkan panggilan dari Adrian. Toh, tanpa dirinya pun mereka akan tetap makan malam bersama.
Lalu Kalka berdiri dan melihat Lamanda menahan lengannya. "Gue nggak bakal kenapa-napa. Lagian bener kata om Adrian. Masalah ini harus cepet selesai dan mungkin sekarang waktunya."
Perlahan pegangan tangan Lamanda mengendur. Kalka segera berjalan keluar dengan langkah lebar-lebar.
Berbading terbalik dengan Kalka yang sudah berdiri hendak mengejar Vero. Lelaki yang baru datang itu malah langsung duduk setelah bersalaman dan menyapa Adrian. Lalu ia mengambil paha ayam goreng dan memakannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Khas Raskal sekali.
"Kal.." Raskal menoleh ke arah Adrian yang memanggilnya.
"Ayam kecapnya enak om. Ini pasti pake kecap Bango," ucap Raskal seolah mengalihkan pembicaraan.
Adrian menggelengkan kepalanya mendengar perkataan absurd Raskal. "Selesaiin masalah kalian dulu baru makan."
"Yee enakan makan dulu biar bertenaga pas nyelesaiin masalahnya. Ya nggak, Lam?" Raskal memang selalu begitu kepada Adrian karena ia sudah menganggap Adrian seperti ayahnya sendiri.
Lamanda diam tidak mnjawab.
"Pantes kamu jomblo. Mana betah mereka pacaran sama kamu," ketus Adrian.
"Weit jangan salah. Mantan Raskal kalau digabung itu cukup buat ngebentuk idol grup setara JKT48 dari generasi pertama sampe keempat."
"Tapi sekarang kamu jomblo kan?"
"Iya lah. Ini demi Lamanda. Raskal rela putusin pacar Raskal satu-satu terus nunggu Lamanda ngajak taken tapi Lamandanya nggak ngajak-ngajak sampe sekarang." Raskal menoleh pada Lamanda. "Gimana nih, Lam? Capek gue digantungin. Udah kayak jemuran nih."
Adrian tertawa mendengar celotehan Raskal. Kemudian ia melihat Raskal berdiri dan duduk disamping Lamanda.
"Doain gue selamat dan bisa balik kesini lagi buat ngabisin nih makanan. Oke," kata Raskal pada Lamanda sebelum ia berdiri lagi dan berjalan keluar.
Melihat itu Adrian geleng-geleng kepala.
Raskal benar-benar berbeda.