Maudy mengetuk pintu kamar yang dijadikan tempat pertemuannya dengan Madam Chloe. Sahutan dari dalam membuat Maudy langsung membuka pintu dan melihat Madam Chloe sedang menuangkan wineke dalam gelasnya.
"Madam," panggil Maudy pelan.
"Bianca sayang, ayo masuk. Bagaimana kabar kamu? Baik-baik saja, kan? Klien yang datang tidak banyak tingkah, kan?" Maudy sedikit bingung dengan sikap Madam Chloe yang menyambutnya dengan ramah. Madam Chloe mendekati Maudy lalu mencium pipi kiri dan kanannya dan menyuruh Maudy untuk duduk di sampingnya. Madam Chloe menawari Maudy segelas wine dan untuk menghilangkan ketegangan di antara mereka dan Maudy pun menerima gelas berisiwine tadi.
"Aku baik-baik saja Madam. Jangan terlalu khawatir," kata-kata Maudy menenangkan Madam Chloe. Madam Chloe tersenyum senang dan memegang tangan Maudy. Maudy merasa ada hal penting yang ingin Madam Chloe bicarakan.
"Ada apa Madam?" tanya Maudy pelan. Madam Chloe menggelengkan kepalanya lalu melepaskan tangannya yang besar dan kasar dari tangan Maudy. Meski telah melakukan apa pun tetap saja sisi laki-laki masih terlihat jelas di diri Madam Chloe.
"Penting, saking pentingnya tangan Madam tidak bisa bergerak. Ini proyek besar yang melibatkan orang penting dan berpengaruh. Jika proyek itu berani kita tolak bisa-bisa losmen, Bianca Rose, Madam Chloe, dan teman-teman kamu hanya akan menjadi butiran debu dan kita semua akan menjadi pelacur yang hanya bisa berdiri di tepi jalan." Ucapan Madam Chloe sedikit membuat bulu kuduk Maudy berdiri. Sepenting apa pengaruh tamu itu sehingga bisa menutup losmen yang sudah berdiri puluhan tahun ini.
"Siapa Madam?" tanya Maudy penasaran. Madam Chloe lalu mengeluarkan sebuah kertas kecil bertuliskan sebuah alamat. Maudy mengerutkan keningnya saat membaca alamat sebuah apartemen mewah tak jauh dari hotel ini. Baru kali ini ada klien ingin menggunakan jasanya tidak di hotel tapi apartemen mewah. Maudy bertanya-tanya siapakah gerangan klien penting seperti yang dibilang Madam Chloe.
"Besok kamu harus datang ke alamat itu dan apa pun permintaan klien, tolong jangan pernah kamu tolak. Saat kata penolakan keluar dari mulut kamu berarti hidup kita berakhir. Kamu tidak maukan menjadi pelacur jalanan?" tanya Madam Chloe penuh intimidasi, Maudy menggeleng dan menyimpan kembali alamat tadi ke dalam tas tangannya. "Bagus, kamu memang Bianca Rose kesayangan Madam," sambung Madam Chloe penuh sukacita. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan losmen miliknya, karena klien yang ia hadapi kali ini punya kuasa penuh untuk menutup semua ladang pencariannya.
Walau merasa lelah Sekar sama sekali tidak mengeluh, tamu restoran hari ini lumayan ramai dan sebagai pelayan baru Sekar masih sedikit kaku dan gugup tapi semua pekerjaannya bisa diselesaikan dengan sangat baik. Sekar memijat kakinya yang sedikit pegal saat Pasha datang menawari sekaleng minuman dingin.
"Minum dulu."
"Terima kasih, Mas." Sekar mengambil minuman itu dan meneguknya sampai habis, rasa lelah membuatnya haus dan minuman yang diberikan Pasha tadi sedikit mengurangi rasa hausnya. Pasha lalu duduk di sebelah Sekar, entah kenapa ia merasa melihat Sekar seperti melihat Maudy saat pertama kali mereka bertemu, masih lugu dan belum tersentuh beban berat kehidupan.
"Seharusnya kamu minta shift setengah hari saja."
Sekar tertawa dan melihat ke arah Pasha, "Kenapa? Mas pikir aku wanita lemah?" tanya Sekar, Pasha tertawa dan menggelengkan kepalanya.
"Bukan, kamu itu pelayan baru di sini dan biasanya pelayan baru tidak mengambil full satu hari di hari pertama mereka bekerja." jawab Pasha, Sekar pun tertawa dan mengembuskan napasnya.
"Mbak Hani bilang kalau kita kerja penuh satu hari, Ibu Marinka akan memberi bonus lebih dan menurutku bukannya lebih baik bekerja demi bonus tambahan daripada di rumah." Dengan bonus tambahan ia bisa menabung untuk mengganti uang Maudy yang sudah terlalu banyak ia gunakan selama ini.
"Kenapa kamu butuh uang banyak?" Pasha lagi-lagi teringat Maudy, uang menjadi alasan Maudy menjadi pelacur dan sekarang Sekar pun memberi alasan yang sama. Semua karena uang dan uang.
"Saya bukanlah siapa-siapa, Mas. Bukan dari keluarga terpandang yang tinggal menjentikkan jari semua keinginan bisa didapat. Saya harus kerja keras untuk bisa makan dan menghidupi diri sendiri," balas Maudy. Pasha tertawa pelan mendengar alasan Sekar yang menurutnya lucu.
Sekar mengerutkan keningnya melihat Pasha tertawa dan untuk pertama kalinya ia merasa senyum Pasha sangat manis dan menyejukkan hati. Sekar menggelengkan kepalanya dan membuang pikiran konyol yang tiba-tiba muncul di kepalanya.
"Jangan mimpi Sekar!" ujarnya dalam hati. Sekar lalu berdiri dan mengambil tas miliknya dari dalam loker karyawan.
"Saya permisi dulu, Mas. Sudah terlalu malam, takutnya tidak ada lagi angkot yang bisa saya naiki untuk pulang." Pasha pun ikut berdiri dan membukaapron miliknya, ia tidak tega membiarkan Sekar pulang sendiri sedangkan malam semakin larut.
"Mas antar ya. Sekalian jalan pulang," tawar Pasha. awalnya Sekar menolak tapi Pasha tetap bersikukuh dan Sekar akhirnya hanya bisa mengikuti kemauan Pasha.
"Pasha?" Pasha langsung terdiam saat melihat Maudy di depan kos Sekar. Ia tidak menyangka Sekar dan Maudy bisa tinggal di tempat yang sama, Maudy pun bingung melihat Sekar turun dari mobil Pasha.
"Mbak kenal ya sama Mas Pasha? Mas Pasha koki di tempat kerja baruku dan tadi dia menawari diri untuk mengantarku pulang."
"Oh, Mbak kenal kok." Maudy sedikit khawatir Pasha membuka jati dirinya.
"Wah bagus dong." Sekar melihat ke arah Pasha dan mengucapkan terima kasih sebelum masuk ke dalam kosnya.
"Sekali lagi terima kasih ya, Mas." Pasha mengangguk dan melihat Sekar masuk ke dalam kosnya. Setelah yakin Sekar masuk ke dalam kos, Maudy mendekati Pasha dan berbisik pelan.
"Please, jangan sampai Sekar tahu profesi aku. Aku sudah menganggapnya sebagai adik. Dia terlalu lugu untuk tahu betapa kerasnya kota ini," bisik Maudy pelan.
"Aku bukan laki-laki nyinyir, jadi kamu jangan khawatir. Aku tidak pernah menyangka kalian ternyata saling mengenal," sindir Pasha tajam. Maudy menundukkan kepalanya dan Pasha pun malas melanjutkan perbincangan yang semakin membuatnya sesak ini. Ia memutuskan meninggalkan Maudy dan berjanji akan menghapus nama Maudy dari hatinya.
Maudy sadar Pasha berubah beberapa bulan ini, Pasha pelan-pelan mulai menjauhinya, Maudy tidak marah ataupun sedih tapi malah bersyukur dan melihat Pasha dekat dengan Sekar tadi sebuah ide langsung muncul di benaknya.
"Sekar tidak perlu bekerja keras lagi jika menikah dengan Pasha, ya aku akan membuat mereka saling mencintai," ujar Maudy dalam hati.
Maudy mengetuk pintu kamar Sekar dan masuk saat Sekar mengizinkannya, "Ada apa, Mbak?" tanya Sekar sambil melepaskan handuk di kepalanya, Maudy tersenyum lalu memegang tangan Sekar.
"Mbak cuma mau tanya sesuatu. Bisa?"
"Tentu saja, aduh Mbak kayak nggak kenal aku saja," balas Sekar sambil tertawa renyah.
"Menurut kamu Pasha itu orang seperti apa?"
"Baik, perhatian, sopan, masakannya enak, dan yang terpenting sangat tampan," puji Sekar malu-malu. Maudy mengakui apa yang dibilang Sekar ada benarnya. Pasha laki-laki sempurna yang pernah ia kenal dan laki-laki sempurna lebih pantas bersama wanita suci dan juga sempurna. Sekar calon yang cocok bukan dirinya yang kotor dan hina.
"Hmmmm … kamu suka?"
"Ya ampun Mbak, kami itu baru kenal beberapa hari yang lalu," balas Sekar malu-malu. Melihat wajah Sekar yang kemerahan Maudy yakin jika Sekar mulai suka atau paling tidak ada bibit yang bisa dipupuk jadi cinta.
"Hmmm … baiklah. By the way, Mbak haus. Kamu bisa ambilkan minum?" Sekar mengangguk dan keluar dari kamar, Maudy mengambil ponsel Sekar secara diam-diam dan mengirim SMS ke nomor Pasha.
Me :Mas sudah sampai di rumahkah? Terima kasih ya Mas sudah mengantarku pulang.
Tak sampai hitungan detik Pasha langsung membalas SMS yang dikirim Maudy tadi.
Pasha : Mas masih di jalan, macet banget. Kamu langsung istirahat ya, selamat malam Sekar.
Membaca balasan dari Pasha langsung membuat Maudy girang, langkah awal berjalan mulus dan sebentar lagi usahanya pasti membuahkan hasil.
Renata melihat beberapa karyawan membuat kerumunan di depan ruang kerja Ardan, rasa penasaran membuat Renata menyibak kerumunan karyawan. Melihat kedatangan Renata membuat mereka langsung membubarkan diri.
"Bodoh! Kamu itu nggak pernah becus menjadi asisten saya!" Teriakan Ardan terdengar menggelegar. Renata masuk ke dalam ruang kerja Ardan dan melihat asisten baru sedang menangis sesegukan sambil memungut beberapa kertas yang bertebaran, di sudut ruangan berdiri pengawal yang selalu menemani Ardan.
"Ada apa Juna? Kenapa ribut-ribut lagi sih?" tanya Renata.
"Ibu bisa tanya sendiri ke Bapak," balas Arjuna dengan wajah tak kalah dinginnya dibandingkan Ardan, saking kesalnya Renata menendang kaki Arjuna dengan sepatu dan seperti biasa tidak ada ringisan atau kesakitan ditunjukkan Arjuna.
"Pengawal dan atasan nggak ada bedanya, nggak punya hati!" maki Renata sambil membantu asisten baru tadi.
"Dia buat salah apa lagi?" tanya Renata.
"Dia pembangkang dan tidak tunduk pada majikan."
"Ya ampun, dia ini asisten kamu bukan budak atau pembantu." Renata meminta asisten baru tadi keluar dari ruang kerja Ardan begitu pun Arjuna, tapi seperti biasa Arjuna hanya patuh jika Ardan langsung yang memintanya keluar.
"Aku sudah bilang, jika mau jadi asisten atau ISTRI harus siap menjadi budak. Jika tidak mampu ya sudah aku tidak membutuhkan mereka," balasnya dengan sikap acuh lalu kembali memeriksa dokumen yang tadi dibacanya.
"Kamu keterlaluan Ardan, sudah cukup!" teriak Renata. Ardan melirik ke arah Arjuna dan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Arjuna menyuruh Renata untuk keluar dari ruang kerja Ardan. Renata mengeram kesal dan sekali lagi menendang kaki Arjuna dengan sepatunya.
"Kamu dan dia sama-sama gila. Kalian memang cocok!" maki Renata sebelum meninggalkan ruang kerja Ardan. Awalnya ia tidak setuju rencana ibunya untuk menikahkan Ardan tapi semakin lama sikap Ardan semakin aneh dan mungkin sikap anehnya itu bisa hilang jika ada wanita di sampingnya.