Maudy menyunggingkan senyum licik. Ia tidak menjawab atau pun menunjukkan sikap takut dengan tuduhan yang dilontarkan Ardan barusan. Ia mulai berhitung dalam hati, sambil menatap jarum jam di dinding.
"Empat … tiga … dua …satu"
Bughhh
Maudy memutar kepalanya dan melihat Ardan yang sombong dan angkuh tadi jatuh tidak sadarkan diri di lantai. Obat tidur yang ia masukkan ke makanan milik Ardan tadi menolongnya dari situasi tidak mengenakkan tadi.
"Maaf, tapi aku terpaksa melakukan ini. Kamu terlalu sulit didekati dan keluargaku menjadi taruhannya jika kamu masih sulit aku dekati." Maudy memastikan sekali lagi Ardan benar-benar tidak sadarkan diri karena pengaruh obat tidur. Setelah menunggu beberapa saat, Maudy lalu membawa tubuh Ardan dengan susah payah menuju kamar yang ada.
Tubuh Ardan yang lunglai ia baringkan di atas ranjang. Maudy mulai membuka satu persatu baju yang melekat di tubuh Ardan, tujuannya hanya satu mengatur seolah Ardan memerkosanya dan setelah itu Ardan tidak akan bisa mengelak atau pun membatalkan pertunangan mereka.
"Maaf, sekali lagi aku minta maaf," ujar Maudy. Setelah Ardan terbaring tanpa sehelai benang pun ia kembali ke dapur dan membuka laci tempat menyimpan alat-alat dapur. Maudy mengeluarkan sebuah pisau dan mengiris jarinya lumayan dalam. Darah mulai mengucur dan ia kembali masuk ke dalam kamar.
Maudy meneteskan darahnya di atas ranjang agar Ardan percaya kalau Maudy adalah wanita suci yang ia renggut keperawanannya dan jika nanti mereka menikah Ardan tidak akan pernah tahu jika Maudy sudah tidak suci lagi.
"Kamu akan dikutuk langit, Maudy!" Maki Maudy dalam hati.
"Ya, tentu saja aku akan dikutuk langit. Menggunakan cara selicik ini untuk mendapatkan harta yang bukan milikku tapi aku harus melindungi keluargaku. Aku sudah menandatangani tiket masuk ke neraka dan sekarang sudah terlambat untuk keluar dari neraka yang telah aku masuki," bisiknya pelan sambil membuka satu persatu baju miliknya. Maudy lalu berbaring di samping Ardan seolah-olah mereka baru saja bercinta, Maudy mengacak-acak rambut dan membuat memar sebagian tubuhnya agar Ardan semakin yakin jika ia benar-benar memerkosa Maudy tanpa sadar.
Ardan membuka matanya ketika sinar matahari pagi membuat matanya silau. Ia memegang kepalanya yang masih terasa berputar-putar. Hawa dingin membuat Ardan menarik selimut semakin tinggi. Ardan merasa ada yang aneh dengan dirinya. Ia pun membuka mata dan sedikit kaget melihat dirinya tanpa sehelai benang pun, rasanya ia tidak pernah tidur tanpa pakaian seumur hidupnya.
Maudy yang tidak tidur sejak semalam mulai melancarkan aksinya. Maudy menangis terisak sambil menarik selimut yang sama untuk menutupi tubuhnya. Ardan menoleh ke arah kirinya dan shock melihat Maudy dengan penampilan acak-acakan sedang menangis.
"Kamu …." Mata Ardan menangkap bercak berwarna merah di spray putih yang ia dan Maudy kenakan. Otaknya mencoba mencerna apa yang sedang terjadi dan satu jawaban akhirnya ia simpulkan.
"Apa yang kita lakukan, Maudy?" Tanyanya dengan suara keras. Ardan melihat Maudy semakin menangis dan seperti ketakutan saat melihatnya. Sungguh Ardan tidak ingat dengan apa yang ia lakukan tadi malam. Hal terakhir ia ingat adalah mengonfrontasi maksud dan tujuan Maudy mendekatinya, hanya itu. Tapi kenapa akhirnya ia bangun dalam kondisi tanpa busana, ada bercak darah dan kondisi Maudy yang berantakan seperti ini.
"Kamu jahat Ardan," ujar Maudy dalam isak tangisnya. Ardan menjambak rambutnya dan mengutuk kebodohannya.
"Aku tidak ingat dan tidak tahu kenapa ini bisa terjadi, tapi …." Ardan bingung mau membela diri jika kenyataannya ia memang sudah memerkosa Maudy. Sekali lagi ia melirik bercak darah tadi dan keraguan kalau Maudy adalah wanita binal dan liar hilang seketika. Bercak darah itu membuktikan Maudy layak dan pantas menjadi istrinya. Maudy bukan wanita yang sengaja diumpankan untuk mengeruk harta miliknya.
Melihat reaksi Ardan, Maudy bersyukur rencananya berhasil. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu Ardan membuka hati dan membiarkan Maudy masuk untuk mengisi kekosongan hatinya.
Nimas dan ibunya terlihat gelisah menunggu kedatangan Ardan dan Maudy. Begitu pun Ibu Marinka dan Renata beberapa kali mereka mencoba menghubungi ponsel Ardan. Beberapa tamu undangan mulai hadir dan memberi selamat ke Ibu Marinka.
"Bisa?" Tanya Ibu Marinka.
"Nggak Mi, ponsel Ardan mati dan Maudy juga mati," balas Renata sedikit panik. Ia takut Ardan melakukan hal gila untuk membatalkan pertunangannya dan keselamatan Maudy menjadi taruhannya meski Renata tidak terlalu menyukai Maudy yang terlihat bermuka dua.
"Coba lagi, tamu-tamu sudah hadir atau coba kamu hubungi Arjuna. Seharusnya dia tahu di mana Ardan sekarang, buruan!" Perintah Ibu Marinka. Renata mengangguk dan mencoba menghubungi Arjuna.
"Saya tidak bersama Tuan Ardan," sela Arjuna dari belakang. Ibu Marinka dan Renata memutar tubuhnya dan melihat Arjuna sedang berdiri di depan mereka tanpa Ardan atau pun Maudy.
"Loh kok bisa? Seharusnya kamu bersama Ardan."
"Tuan dan Nona Maudy pergi berdua dan beliau menyuruh saya untuk tidak mengikutinya," balas Arjuna dengan jujur.
"Ya ampun …." Ibu Marinka memutuskan kembali masuk ke dalam aula sambil menunggu kedatangan Ardan dan Maudy.
Perbincangan Ibu Marinka dan Arjuna tak luput dari pandangan Nimas. Rasa penasaran membuatnya mendekati keluarga Ardan untuk bertanya kabar kakaknya tapi Arjuna menghalangi Nimas mendekati Ibu Marinka dan juga Renata.
"Maaf, lebih baik Nona menunggu di luar saja," ujar Arjuna.
"Saya hanya mau bertanya di mana kakak saya," balas Nimas sambil menghalau tangan Arjuna dari tangannya. Arjuna semakin mencengkeram erat tangan Nimas.
"Tunggu di sini, Nyonya Marinka sedang tidak ingin diganggu." Arjuna tetap melarang Nimas untuk masuk. Nimas mencoba menghentakkan tangan Arjuna sekali lagi tapi tenaganya kalah besar. Nimas pun menginjak kaki Arjuna dengan ujung tumit sepatunya. Arjuna melepaskan tangannya dan Nimas tersenyum licik.
"Jangan pernah meremehkan orang miskin Tuan Pengawal yang budiman," sindir Nimas sambil melewati Arjuna untuk menemui Ibu Marinka.
Pertengkaran Nimas dan Arjuna tak luput dari pandangan Pasha dan Sekar yang sibuk mempersiapkan acara pertunangan anak Ibu Marinka.
"Kayaknya acara belum dimulai ya, Mas?" tanya Sekar sambil mendorong rak berisi makanan untuk para tamu yang mulai berdatangan.
"Bukan urusan kita, setelah kamu selesai meletakkan makanan ini langsung ke dapur ya," ujar Pasha. Sekar menunjukkan dua jempolnya dan mendorong rak besi ke dalam aula. Wajah Sekar terkagum-kagum melihat dekorasi aula, untaian bunga segar semakin menambah semaraknya acara pertunangan yang cukup mewah ini.
"Wanita yang beruntung," ujar Sekar.
"Kita sudah telat Tuan acara sebentar lagi akan dimulai," ujar Maudy panik. Ia takut Ardan berubah pikiran lagi. Susah payah ia mengatur rencana licik untuk menjebak Ardan dan detik-detik menuju rencana pertamanya berhasil Ardan bukannya membawanya ke lokasi acara pertunangan tapi membawanya ke tempat lain.
"Kita tidak mungkin menghadiri acara pertunangan dengan kondisi kacau seperti ini," balas Ardan. Maudy melirik pakaiannya serta pakaian Ardan yang memang tidak layak dipakai saat acara pertunangan mereka.
"Semuanya kacau karena ulah Tuan, andai semalam …."
"Jangan bahas masalah semalam! Lebih baik kamu tutup mulut dan berhenti mengoceh."
Mobil Ardan berhenti di depan sebuah butik ternama. Mereka lalu masuk dan Ardan sibuk memilih gaun yang cocok dipakai Maudy di acara pertunangan mereka.
"Ini."
"Ini."
"Gaun ini cocok untuk kamu kenakan di acara itu." Ardan menyuruh Maudy mencoba beberapa baju keluaran terbaru. Maudy mengambil gaun berwarna pastel itu dan mengikuti keinginan Ardan agar semua ini cepat selesai dan mereka bisa segera ke restoran milik Ibu Marinka.
Maudy keluar dari ruang ganti dengan mengenakan gaun yang Ardan pilihkan tadi. Ardan lalu menyuruh Maudy berputar dan Maudy pun mengikuti perintahnya. Ia berputar beberapa kali sampai kepalanya sedikit pusing.
"Hmmmm … not good, saya tidak suka, terlalu jelek dan sedikit terbuka, ganti." Ardan lalu menyuruh pelayan butik mencarikan baju lain dan ia kembali membaca majalah. Pelayan butik menyerahkan gaun baru berwarna soft pink ke tangan Maudy yang terlihat kesal.
Maudy keluar dari ruang ganti dengan memakai gaun yang berbeda dan Ardan kembali menilai penampilan Maudy.
"Lumayan, mbak saya mau gaun itu. Kamu langsung pakai saja." Ardan menutup majalahnya dan kini gilirannya mencari setelan untuk ia pakai. Beberapa pelayan butik sibuk menunjukkan model-model terbaru dan selalu ditolak Ardan.
"Kamu pilihkan yang paling bagus," ujar Ardan sambil mendorong tubuh Maudy ke area khusus laki-laki.
"Ribet banget sih, toh Tuan pakai apa pun akan terlihat bagus dan pantas," ujar Maudy sambil mengambil secara acak sebuah setelan jas dan menyerahkannya ke tangan Ardan. "Jas ini saja," sambungnya. Ardan mengambil setelan jas dari tangan Maudy lalu masuk ke ruang ganti. Maudy membuang napas dalam-dalam dan memilih menunggu sambil membuka ponselnya. Beberapa SMS dari Nimas dan ibunya masuk secara bersamaan.
"Sial!" Maudy langsung menghubungi Nimas dan memberi tahu kondisinya baik-baik saja.
"Sebentar lagi anak Ibu Marinka dan tunangannya datang. Ada beberapa bahan makanan kurang di dapur dan nggak ada koki yang bisa keluar. Kamu bisa tolong belikan di swalayan?" tanya Pasha sambil menyerahkan catatan bahan yang kurang dan sejumlah uang ke tangan Sekar.
"Bisa Mas, mumpung tugasku sudah selesai." Pasha mengangguk dan mengacak rambut Sekar sebelum ia kembali ke dapur. Sekar membaca satu persatu bahan yang mesti dibelinya dan menghitung biaya yang dibutuhkan. Langkah Sekar terhenti saat tanpa sengaja ia menabrak seseorang.
"Awwww," teriak Sekar sambil memegang pinggangnya.
"Punya mata nggak!" Sekar langsung terlonjak kaget mendengar teriakan kencang. Sekar mengangkat wajahnya dan ia langsung shock melihat laki-laki yang dulu ia tendang di depan mall sedang menatapnya marah.
"Ma … maaf." Sekar lalu berdiri dan berusaha menyembunyikan mukanya agar tidak dikenali Ardan.
"Kamu … wanita di mall yang berani menantang dan menendang saya!" Ardan tidak akan pernah melupakan wanita yang berani menantang dan menendangnya dan ia bersyukur Tuhan mempertemukan mereka hari ini.
"Maaf, Tuan salah orang," elak Sekar sambil berusaha kabur dari intimidasi Ardan.
"Oh, jadi kamu pelayan di sini. Menarik."