Wajah Sekar semakin merah dan merona saat Pasha melepaskan bibirnya. Sekar memegang bibirnya dan menunduk malu. Jantungnya berdetak tak karuan. Ciuman tadi merupakan ciuman pertamanya. Pasha membuka matanya dan lagi-lagi ia mengutuk kebodohannya. Ia memang mencium Sekar tapi entah kenapa hati dan otaknya masih memikirkan Maudy.
"Shit! Sekar terlalu baik untuk gue jadikan pelarian."Pasha memaki dirinya sendiri dan menyalahkan dirinya yang belum mampu melupakan Maudy sampai detik ini.
"Mas, kita ciuman?" tanya Sekar dengan lugu. Pasha tertawa dan mengacak rambut Sekar dengan tangannya. Ia mengangguk dan kembali menatap hamparan langit yang membentang luas di angkasa. Matanya terpaku pada satu bintang yang bersinar terang. Pasha mengangkat tangannya dan memberi tahu Sekar keberadaan bintang itu.
"Kamu lihat bintang itu?"
Sekar mengangguk pelan, "Bintang yang indah," balas Sekar pelan. Pasha tertawa dan setuju dengan pendapat Sekar tadi. Bagi Pasha, keindahan bintang itu sama persis dengan senyum yang Sekar miliki. Pasha serius tentang hal itu.
"Bintang itu mengingatkan Mas sama kamu. Kamu dan bintang itu sama-sama memancarkan sinarnya yang indah."
Sekar semakin terpesona setelah mendengar ucapan Pasha yang terdengar gombal tapi tulus itu. Ia semakin mengagumi Pasha dan merasa Tuhan sudah memberinya laki-laki yang pantas ia cintai.
"Gombal banget sih. Sudah berapa wanita menjadi korban kegombalan, Mas?" tanya Sekar sambil tertawa pelan. Pasha terdiam saat mendengar pertanyaan Sekar. Di dunia ini hanya dua kali ia dekat dengan wanita, Maudy dan Sekar. Pasha tidak menyangka bisa mengeluarkan kalimat seperti tadi bahkan saat ia bersama Maudy saja tidak pernah.
"Hanya kamu. Kamu satu-satunya wanita yang Mas samakan dengan bintang. Kamu wanita spesial Sekar, dan wanita spesial pantas disandingkan dengan bintang di langit." Sekar terharu dan rasanya ingin terbang ke langit mendengar ucapan Pasha tadi.
"Mas gombal banget."
"Mas serius." Pasha kembali menarik pinggang Sekar dan ingin sekali lagi memastikan bayangan Maudy benar-benar hilang dari otaknya dan Pasha butuh bantuan Sekar. Mereka kembali berciuman. Sekar tidak lagi diam seperti tadi menerima ciuman Pasha, ia mulai membalas dan ciuman mereka semakin intens di bawah terangnya bintang yang menyinari malam mereka.
"Aku jatuh cinta untuk pertama kalinya," ujar Sekar dalam hatinya. Ia semakin mengaitkan kedua tangannya di leher Pasha. Sikap posesif membuat Sekar ingin memiliki seluruh hal yang ada di diri Pasha. Termasuk memastikan hati Pasha sudah melupakan wanita beruntung itu.
Sekar mengutuk kebodohannya karena telat bangun. Semalam Sekar dan Pasha menghabiskan waktu sampai dini hari dan sialnya ia baru bangun saat jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Ibu Marinka memang tidak pemarah tapi Sekar merasa tidak enak datang terlalu siang. Sekar pun memutuskan untuk meminta waktu libur khusus untuk hari ini dan untungnya Ibu Marinka memberi izin dirinya untuk libur.
"Ahhhh akhirnya semua beres." Sekar menghapus peluh yang membasahi wajahnya. Sejak kerja Sekar sangat jarang membersihkan kamar kosnya dan berhubung hari ini waktunya lumayan senggang Sekar pun memutuskan untuk membersihkan kamar kosnya.
'Drttt drttt'
Sekar langsung menyambar ponselnya dan melihat nama Pasha muncul di layar ponselnya, dengan girang Sekar langsung mengangkatnya.
"Halo Mas."
"Ibu Marinka bilang kamu hari ini libur ya?"
"Iya, aku ketiduran hehehehe. Jadi lebih baik aku libur hari ini. Mas lagi apa?"
"Ah kamu pintar banget ambil waktu libur. Fiuhhhh hari ini ada tamu spesial yang bawelnya minta ampun. Anaknya Ibu Marinka datang dengan tunangannya dan kamu tahu? Dia tidak membiarkan Mas keluar dari dapur dan permintaannya nggak ada yang benar."
Sekar mengingat jelas sifat anak Ibu Marinka yang sombong dan arogan, "Iya, aku pernah melihat anak Ibu Marinka. Laki-laki itu sangat sombong dan arogan. Mas yang tabah ya, kalau perlu kasih obat pencahar agar dia belajar menghormati orang lain."
"Hahahaha kamu kejam juga ya, mana mungkin Mas melakukan itu. Mas memang tidak menyukainya tapi bukankah merugikan orang lain itu adalah perbuatan tidak terpuji. Mas yakin suatu saat nanti dia akan sadar kalau sikap dan perilakunya itu sangat menyebalkan."
"Entah kapan dia berubah. Ya sudah Mas kembali kerja saja. Aku mau mandi dan setelah itu mau kemall. Mumpung libur hehehehe."
Pasha mematikan ponselnya saat melihat anak buahnya membawakan lagi sebuah catatan pesanan dari kamar VVIP. Pasha membuang napasnya saat membaca pesanan anak Ibu Marinka.
"Ikan goreng tanpa tulang? Ckckckc umur berapa sih anak bos?" tanya Pasha kesal.
"Tiga puluhan Mas, tapi sikapnya jutek dan dingin tapi tunangannya cantik banget kayak bidadari. Kok mau ya dia jadi tunangan manusia es itu. Ah, siapa sih wanita yang nggak mau dengan pewaris MahesaGroup. Uangnya saja nggak berseri," sindir anak buahnya. Rasa penasaran Pasha menggelitik sanubarinya untuk melihat bentuk dan rupa anak Ibu Marinka. Sejak ia bekerja di restoran ini enam bulan yang lalu sekali pun ia tidak pernah bertemu anak Ibu Marinka yang terkenal sombong itu.
"Mungkin wanita itu pintar di ranjang kali, makanya anak bos langsung klepek-klepek," sela anak buah lainnya. Pasha mulai masak hidangan sesuai pesanan anak Ibu Marinka dan membiarkan dua anak buahnya sibuk berspekulasi tentang alasan wanita itu mau menjadi tunangan anak Ibu Marinka.
Malam harinya
"Belanja bulanan sudah, untuk makan malam nanti juga sudah, hmmm … apalagi ya yang kurang?" Sekar mencoba mengingat kembali apa saja yang ingin ia beli hari ini. Mumpung hari ini ia masih ada di mall, "Kayaknya semua kebutuhanku beberapa hari ini sudah cukup. Lebih baik aku buru-buru pulang sebelum terjebak macet apalagi di luar hujan sangat lebat," sambungnya sambil menyimpan kembali catatan yang dibacanya tadi.
Hujan semakin deras membasahi jalan dan membuat beberapa sudut jalan tergenang air. Sekar melambaikan tangannya untuk menghentikan taksi yang lewat dan sialnya semua taksi itu sudah penuh. Beberapa kali Sekar mengumpat saking kesalnya melihat taksi yang lalu lalang seperti enggan berhenti di depannya.
Hari semakin larut. Hujan tak juga kunjung berhenti dan Sekar masih menunggu sambil memandang rintik-rintik hujan yang masih membasahi jalan tadi. Sebagian pengunjung mulai meninggalkan kawasanmall dan tak jarang ada yang berani menerjang dinginnya hujan.
"Taksi … kenapa sulit sekali mencari taksi malam ini," gerutu Sekar sambil berpangku tangan agar rasa dingin tidak membuatnya masuk angin. Petugas keamanan mulai mengumumkan pemberitahuan kalaumall akan segera ditutup. Sekar melirik jam di tangannya dan ternyata sudah hampir tiga jam ia menunggu tanpa kejelasan bahkan mall yang tadinya penuh sesak oleh pengunjung mulai terlihat sepi.
"Tunggu siapa, Mbak?" tanya salah satu petugas keamanan yang merasa iba melihat Sekar menunggu sejak tadi.
"Taksi, Pak," jawabnya singkat. Petugas keamanan mencoba membantu dengan menghubungi beberapa penyedia taksi dan sialnya semua taksi malam ini sulit untuk dihubungi. Pengaruh cuaca juga menjadi alasan supir taksi enggan untuk membawa penumpang dari kawasan rawan banjir dan juga macet.
"Maaf, Mbak."
"Ya sudah, Pak. Saya coba jalan saja dan mudah-mudahan ada transportasi lain yang bisa saya gunakan untuk pulang." Sekar lalu berdiri dan memegang semua barang bawaannya. Petugas keamanan merasa iba dan meminjamkan payung miliknya.
"Pakai payung ini, Mbak."
"Terima kasih banyak. Saya nggak akan lupakan jasa Bapak." Sekar beruntung masih bisa menemukan orang berhati mulia di zaman seperti ini. Sekar lalu membuka payungnya dan menyusuri jalan yang mulai terendam banjir setinggi mata kakinya.
Saat akan keluar dari gerbang mall tiba-tiba sebuah mobil sport mewah berwarna hitam melaju dengan kencang masuk ke dalam kawasan mall dan menyebabkan genangan air di jalan langsung menciprati dan membasahi baju serta tubuh Sekar.
"Hei!" teriak Sekar saking marahnya melihat kearoganan pemilik mobil sport mewah tadi, seluruh tubuhnya basah dan itu berarti asmanya bisa kambuh sebelum Sekar sampai di rumah. Apalagi hari ini Sekar lupa membawa inhaler di dalam tasnya.
Mobil sport hitam tadi berhenti persis di depan lobby mall. Beberapa petugas keamanan langsung mengerumuni mobil itu.
"Bos besar datang dan lo bilang payung nggak ada!" makinya ke petugas keamanan yang meminjamkan payung ke Sekar tadi.
"Gue nggak tahu bos bakal datang," balasnya takut. Mata Sekar tak luput dari perbincangan dua petugas keamanan tadi.
Tinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
"Gue nggak ikut campur," ujar petugas keamanan. Ia lalu mendekati mobil sport dan sumpah serapah langsung keluar dari pemilik mobil sport tadi.
"Kalian buta! Saya sudah menunggu dari tadi dan kalian sama sekali tidak membukakan payung?" teriak pemilik mobil sport yang ternyata Ardan. Petugas keamanan itu menunduk saking takutnya melihat amarah sang atasan.
"Ma … maaf Tuan. Teman saya dengan lancang meminjamkan payung ke salah satu pengunjung." Ardan mematikan mesin mobilnya lalu membuka jas yang melekat di tubuhnya, emosinya hari ini sulit dikendalikan dan ia butuh pelampiasan agar jiwanya tenang malam ini.
Ardan lalu keluar dari mobilnya dan melihat petugas keamanan yang lancang memberikan payung ke orang lain dan menyebabkan dirinya basah kuyup seperti ini.
"Kamu saya pecat!" teriak Ardan. Sekar tersentak mendengar ucapan Ardan. Suara itu sangat familiar di telinganya dan rasa bersalah membuat Sekar menghampiri Ardan dan dua petugas keamanan tadi. Saat melihat wajah Ardan barulah Sekar teringat calon atasan yang dulu secara arogan menolak dirinya saatinterview beberapa minggu yang lalu.
"Ini saya kembalikan payungnya ke tangan anda. Tuan arogan dan sombong!" Sekar menyerahkan payung tadi ke tangan Ardan. Setelah itu Sekar menendang kaki Ardan dengan sepatunya dan lari begitu saja sebelum Ardan balas dendam dengan menyakitinya. Ardan bahkan kehilangan kata-kata menyuruh anak buahnya menangkap wanita lancang yang berani menendang kakinya.
"Tangkap wanita sialan itu." Petugas yang dipecat tadi acuh dan tidak mendengar perintah Ardan. Hanya petugas satunya yang sibuk mengejar Sekar yang sudah menghilang di tengah hujan yang semakin deras.
"Tuan sudah memecat saya dan berarti saya tidak perlu lagi mengikuti keinginan Tuan," jawab petugas keamanan tadi sebelum meninggalkan Ardan yang masih kesal sambil meringis menahan sakit di kakinya.