Chereads / My Beauty Slave / Chapter 1 - Laki - Laki Arogan

My Beauty Slave

🇮🇩Sataellite
  • 70
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 855.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Laki - Laki Arogan

Tiga tahun sebelum tragedi.

Menunggu memang menyebalkan. Sudah dua jam Sekar Kinanti menunggu tapi namanya tak kunjung dipanggil untuk masuk ke dalam ruang interview. Beberapa calon pegawai lainnya sibuk merapikan dandanan mereka yang terlihat berlebihan untuk sekedar interview, sedangkan Sekar hanya bermodalkan kemeja putih milik Maudy, teman satu kos yang mau meminjamkan kemejanya untuk dipakai Sekar. Mungkin hanya rok hitam satu-satunya milik Sekar yang bisa dikenakannya hari ini.

Sekar melirik beberapa calon pegawai yang sibuk memoleskan makeup yang menurutnya tidak seharusnya mereka kenakan di situasi seperti sekarang, setiap orang punya pemikiran masing-masing. Alih-alih berdandan menor, penampilan Sekar saat ini bisa dibilang biasa-biasa saja. Ia hanya memakai bedak bayi dan lipstick murah itu pun dengan warna tidak terlalu mencolok. Rambut ikalnya hanya dikuncir kuda tanpa disanggul seperti mereka.

Sekar Kinanti, saat ini usianya baru saja menginjak 23 tahun. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di perusahaan sebesar ini. Lowongan ini ia dapatkan atas rekomendasi Maudy, teman satu kos yang dulu sempat menjalani training di perusahaan ini. Sekar anak tunggal dan hidup sebatang kara sejak kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan maut beberapa tahun yang lalu, sejak itu ia berjuang menghidupi diri sendiri dengan bekerja di restoran ataupun menjadi pengasuh bayi untuk membayar biaya kuliahnya. Hidup memang keras tapi tidak menjadikan ia wanita lemah dan cengeng.

Lamunan Sekar buyar saat melihat beberapa calon pegawai keluar dengan wajah sumringah, pasti mereka percaya diri bisa bekerja di perusahaan ini, ya mungkin ada orang dalam yang siap membantu. Huh, zaman sekarang sangat jarang bisa bekerja di perusahaan besar tanpa embel-embel nama keluarga atau dari golongan mana. Sekar sadar peluang untuk bisa kerja di perusahaan ini sangat kecil jika hanya bermodalkan nilai kuliah yang lumayan bagus, yah dengan persentase kemungkinan untuk lolos hanya sepuluh persen, tapi tidak ada salahnya mencoba.

"Nona Mia, Nona Sekar, Nona Anna silakan masuk," teriak wanita muda dari pintu ruang interview. Sekar mengambil map berisi resume tentang dirinya dan masuk ke ruang interview.

Di dalam ruangan itu telah menunggu dua orang, satu laki-laki dan satu wanita. Jantung Sekar entah kenapa langsung berdetak tak karuan, peluh mulai membasahi keningnya padahal ruangan ini terpasang alat pendingin ruangan.

"Jangan gugup Sekar, walau kemungkinan untuk bisa bekerja di sini sangat kecil tapi bukankah hidup itu harus berjuang?" ujarnya dalam hati sambil menghapus peluh agar tidak merusak penampilannya.

Sekar menyerahkan map yang ia bawa tadi ke tangan wanita yang memanggil namanya tadi. Sekar mencoba untuk tersenyum tapi wanita itu mengacuhkannya dan menyerahkan map tadi ke pihak yang akan mewawancarainya nanti.

Sekar dan beberapa calon pegawai lainnya duduk di kursi yang sudah dipersiapkan. Sekar berusaha untuk tetap tenang menjawab pertanyaan yang akan ditanyakan laki-laki dan perempuan yang duduk di depannya. Laki-laki itu menatap Sekar sekilas dengan sorot mata dingin, bahkan bulu kuduk Sekar langsung berdiri saat laki-laki tadi menatap Sekar dengan tajam, rahangnya terlihat keras dan kaku. Sekar yakin laki-laki ini yang akan menjadi atasannya kelak jika ia diterima sebagai pegawai baru perusahaan ini.

Laki-laki itu membuka map milik Sekar sekilas bahkan Sekar yakin laki-laki itu tidak membaca resumeyang ia buat, map itu berpindah ke wanita di sampingnya, wanita itu sedikit berumur di atas laki-laki tadi, ia membuang napas panjang sambil membuka map milik Sekar.

Wanita itu membaca lumayan lama dan tersenyum melihat prestasi yang ditorehkan Sekar. Lalu ia menutup map dan berbisik pelan ke telinga laki-laki sebelumnya. Lagi-lagi ia menatap Sekar dengan sorot mata aneh. Sekar sedikit tidak nyaman setiap laki-laki itu menatapnya.

"Jadi Anda lulusan terbaik di kampus?" tanya laki-laki itu. Sekar mengangguk dan menatap lagi laki-laki itu. Ia tak berhenti memainkan penanya dan sesekali melihat Sekar lalu melihat calon pegawai lainnya.

"Iya Pak, seperti yang saya tulis di dalam resumeitu," jawab Sekar seramah dan sesopan mungkin. Laki-laki itu mengangkat tangannya dan memanggil wanita yang tadi. Lalu ia berbisik sambil menatap Sekar. Setelah selesai wanita itu mendekati Sekar lalu berbisik pelan di telinganya.

"Baiklah Nona Sekar. Anda boleh keluar dulu dan silakan tunggu panggilan berikutnya," ujar wanita itu.

"Maaf, kenapa Bapak tidak memberi pertanyaan tentang kompetensi ilmu yang saya miliki? Bukankah biasanya interview selalu …." Wanita itu menarik tangan Sekar untuk segera keluar dari ruang interviewini.

"Next." ujar laki-laki angkuh dan sombong tadi tanpa memedulikan keberatan Sekar.

"Oke Sekar jangan pernah nangis dan terlihat lemah, perusahaan ini memang bonafit tapi cara mereka memperlakukan orang sangat tidak manusiawi," ujar Sekar dalam hati. Sekar menghempaskan tangannya dan mendekati meja di mana laki-laki sombong dan arogan tadi duduk tanpa merasa malu memperlakukannya seperti tadi. Sekar mengambilresume tadi dan merobeknya persis di depan muka laki-laki arogan itu.

"Selamat siang Bapak dan Ibu yang terhormat!" katanya dengan menyindir. Wanita di sebelahnya terlihat segan dan meminta maaf kepada Sekar sedangkan ia sibuk membaca map peserta berikutnya.

Saat pintu tertutup laki-laki tadi menutup kembali map yang dibacanya, ia mengusir calon pegawai lainnya dan menyuruh sekretarisnya menghentikaninterview ini.

"Wanita itu … sangat berani menantangku." Tangan Ardan meremas resume yang dibacanya. Wanita yang duduk di sebelahnya hanya bisa membuang napas saking bingung melihat tingkah adik tirinya yang suka seenaknya memperlakukan orang lain.

"Mbak bingung mau kamu apa. Sudah satu bulan kita mencari pegawai yang sesuai kriteria kamu dan wanita tadi menurut Mbak layak untuk jadi asisten kamu." Laki-laki bernama Ardan melirik kakaknya dan mengernyit sinis.

"Aku menginginkan wanita itu sebagai budakku, dia menarik dan cocok. Aku mau Mbak Rena menghubungi wanita tadi." Ardan menyunggingkan senyum liciknya. Wanita tadi cocok dijadikan budaknya, budak yang akan menuruti semua perintahnya.

"Tidak ada manusia yang mau dijadikan budak. Sudah cukup obsesi kamu memiliki budak," balas Rena sambil menggelengkan kepalanya, entah sudah berapa banyak wanita dijadikan budak oleh adik tirinya ini, budak dalam arti pembantu yang melakukan apapun untuk majikannya kecuali yang berhubungan dengan kontak fisik dan sex.

"Bukankah buah jatuh tak jauh dari pohonnya? begitu pun aku. Mbak lupa bagaimana aku hadir di dunia ini? Dari wanita yang diperbudak papi," sindirnya tajam sebelum meninggalkan ruang interview dengan membawa file berisi data dan resume Sekar.

"Sampai kapan, Ardan?" Rena membuang napasnya. Ia kembali mengingat bagaimana sulitnya Ardan didekati saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah. Ia tahu sikap Ardan itu untuk melindungi dirinya dari rasa sakit sejak dipisahkan dari Ibu kandungnya.

Ardan Mahesa dan Renata Mahesa memiliki satu Ayah yang sama tapi berbeda ibu. Kisah hidup Ardan sejak awal bisa dikatakan sangat tragis. Dipisahkan dari ibu kandungnya saat usia Ardan baru menginjak 5 tahun. Sejak itu dirinya sangat tertutup dan sulit didekati. Ardan jarang tersenyum dan bicara jika tidak terlalu penting. Renata sangat menyayangi Ardan dan menerimanya sebagai adik walau ibunya sejak awal tidak terlalu menyukai Ardan.

Ardan cenderung bersikap keras dan otoriter. Sangat suka dilayani dan memerintah orang. Baginya asisten itu tidak saja saat berada di kantor tapi juga di kehidupan nyata. Setiap asisten yang menjadi tangan kanannya selalu diperlakukan seperti budak. Meski tak jarang hanya bertahan beberapa hari.

"Jadi gimana interview kamu?" tanya Maudy saat Sekar menghempaskan tubuhnya di sofa. Sekar menggeleng pelan lalu menghela napas dengan berat. Maudy terlihat kecewa melihat raut muka Sekar yang suram sejak kepulangannya tadi.

"Sabar ya, mungkin belum rezeki. Semangat! Kamu bisa coba di tempat lain. Maaf Mbak nggak bisa bantu kamu." Sekar memegang tangan Maudy, sebenarnya Sekar merasa tidak enak menjadi pengangguran, semua keperluan dan biaya hidupnya selama ini ditanggung Maudy, berhubung hanya Maudy satu-satunya teman sekampung yang ada di Jakarta.

"Maafin aku ya Mbak. Selalu ngerepotin tapi nanti aku coba cari kerja di tempat lain asal bisa menghasilkan uang dan bisa bantu-bantu Mbak," kata Sekar sedikit tidak enak.

"Ya ampun, kamu kayak nggak kenal Mbak aja. Kita ini walau bukan saudara, tapi Mbak sudah menganggap kamu seperti saudara sendiri. Mbak selalu teringat adik Mbak di kampung setiap melihat kamu kesusahan." Maudy lalu membuka lemari bajunya dan mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya ke tangan Sekar.

"Ini buat keperluan kamu. Mbak ada rezeki sedikit dan semoga kamu bisa gunakan secukupnya." Sekar mencoba menolak pemberian Maudy, tapi usahanya sia-sia saat Maudy menunjukkan wajah tidak suka saat Sekar menolak uang itu.

Sekar bertambah terkejut setelah tahu jumlah uang yang diberikan Maudy setiap bulan semakin bertambah. Sekar semakin merasa malu dan bertekad akan melakukan apapun untuk membalas kebaikannya.

"Astaga Mbak, ini banyak banget." Sekar mengembalikan setengah dari jumlah yang diberi Maudy.

"Nggak apa-apa kamu pakai untuk beli baju atau ke salon," balas Maudy. Terkadang Sekar penasaran di mana Maudy bekerja hingga bisa menghasilkan uang sebanyak ini. Maudy hanya memberi tahu jika sekarang ia sedang bekerja disebuah perusahaan.

Maudy tersenyum miris, "Maaf ya Sekar, andai kamu tahu uang itu Mbak dapatkan dari cara nggak halal mungkin kamu akan jijik, tapi sungguh Mbak melakukan itu semua karena terpaksa. Bisa apa sih lulusan SMA di kota sebesar ini. Kamu yang lulusan universitas saja kesulitan mencari pekerjaan apalagi Mbak," ujar Maudy dalam hati, tak ada yang tahu profesi yang ia geluti saat ini. Menjadi pelacur untuk menyambung hidup dirinya dan juga keluarga di kampung.

"Makasih ya Mbak. Aku sudah terlalu banyak utang budi sama Mbak," kata Sekar berterima kasih. Maudy memberi tanda dengan tangannya dan pamit untuk kembali bekerja, walau baru sejam lalu ia pulang setelah menemani tamu VVIP.

"Aku harus cari kerja yang layak. Mbak Maudy terlihat sangat kelelahan demi menghidupi dua orang." Sekar mengambil jaket andalannya dan pergi keluar dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan apa pun untuk membantu keuangannya.