Chereads / My Only Love: Aku Hanya Bisa Mencintaimu / Chapter 42 - Eastern Wallace

Chapter 42 - Eastern Wallace

Hari Sabtu...

Di kediaman Eastern Wallace, banyak orang memakai baju hitam serta membawa setangkai bunga Lily putih. Begitu masuk ke dalam rumah, mereka meletakkan bunga putih tersebut di atas meja besar dimana ada sebuah foto seorang wanita di atasnya. Wanita dengan wajah keriput dan sangat kurus serta rambut yang bewarna coklat kemerahan diselingi uban di beberapa sisi.

Padahal wanita itu masih belum memasuki kepala empat, tapi karena penyakitnya, wanita itu terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya dan bahkan meninggal muda. Wanita itu adalah nona pertama keluarga Paxton, Chloeny Paxton.

Seluruh keluarga Paxton dan beberapa kolega yang bekerja sama dengan bisnis Paxton hadir di tempat itu untuk memperingati kematiannya sekaligus mengenang segala kebaikan almarhum Chloeny.

Meskipun secara resmi mereka berkumpul hanya untuk mengenang nona pertama Paxton, namun yang sebenarnya adalah para Paxton hanya ingin mencari tahu rahasia yang disembunyikan Chloeny...Yang kini diteruskan oleh Benjamin. Tentu saja mereka tidak akan langsung bertanya pada Benjamin, melainkan bertanya pada rekan-rekan bisnis yang dulu merupakan teman dekat Chloeny.

Sementara Benjamin yang tidak tahu rahasia apa yang dimaksud hanya menggunakan acara ini untuk memperat hubungan bisnis dengan para rekannya.

Kedua orang tua Vincent berbincang dengan Brittany Paxton sementara Benjamin dimonopoli oleh Felicia Bernz. Vincent tidak begitu menyukai anggota Paxton dan dia tidak berniat untuk mendekati mereka, karena itu dia lebih memilih menyendiri.

"Vincent, apa kau akan menyendiri lagi?"

Seorang wanita menghampirinya dan memeluknya. "Kau tahu kau tidak sendirian."

"Aku tidak terbiasa kau bersikap baik padaku." lanjut Vincent dengan senyum tipis.

"Aku hanya baik padamu untuk hari istimewa ini saja."

"Terima kasih. Tapi biarkan aku sendiri. Kumohon, Alice."

Alice menghela napas sadar tidak bisa memaksakan kehendaknya disaat pemuda didepannya sedang dalam masa terpuruknya.

"Baiklah. Aku harap kau tidak menyalahkan dirimu sendiri." Alice menepuk lembut sebelah pipi Vincent dengan jiwa keibuannya.

"Bagaimana aku bisa menyalahkan diriku sendiri jika aku tidak tahu apa yang terjadi? Aku akan baik-baik saja." sahut pria itu sambil bergerak menjauhi ruangan yang ramai.

Vincent menaiki tangga ke lantai dua menuju ke sebuah kamar yang sering dikunjunginya belasan tahun yang lalu. Kamar ini merupakan tempatnya mengadu tiap kali Benjamin menjahilinya dan juga... tempat yang dipenuhi kenangan bahagianya sekaligus mimpi buruknya.

'Chloe, coba dengar.. Benjie menyembunyikan mainanku!'

'Apa kau mencubit pipinya?'

'Tentu saja..ups..'

'Bagaimana aku bisa menghukumnya kalau kau sudah mencubitnya lebih dulu?'

Vincent teringat akan dirinya yang masih berusia delapan tahun sering mengeluh dan memohon pada seorang wanita dewasa untuk menghukum sepupunya.

Vincent menghela napas dan berdiri disamping jendela kamar. Dia memejamkan matanya sambil mengingat kembali masa indahnya bersama Chloe. Tanpa disadarinya ada sebuah gas yang keluar dari sebuah lubang dibelakang lemari. Vincent menghirupnya tanpa mengetahui itu adalah gas yang bisa membuatnya berhalusinasi.

'Pinpin..pinpin'

Vincent mendengar sebuah suara di dekatnya. Anehnya, saat di mencari sumber suara tersebut, dia tidak melihat siapapun disana.

"..."

Tidak lama kemudian dia mendengar suara dari luar kamar. Dengan langkah ringan tak bersuara, Vincent keluar dari kamar dan mendekati sumber suara tersebut. Disaat bersamaan gas halusinasi telah berhenti keluar.

"Tuan kedua Alvianc, apakah anda benar-benar tidak tahu mengenai pasukan Chloe?"

"Tuan Paxton. Ini kesekian kalinya saya memberitahu anda, saya tidak tahu. Lagipula, untuk apa anda mencari sesuatu yang tidak ada? Menurut sepengetahuan saya Nona pertama tidak memiliki pasukan apapun."

"... Kalau begitu bisakah aku minta tolong anda memberitahu saya dimana saya bisa menemukan Tuan besar Alvianc?"

Rahang Vincent mengeras mendengar ini. Untuk apa Martin mencari tahu keberadaan Marcel Alvianc?

"Maaf. Semenjak meninggalnya nona pertama, kakak mengungsi ke tempat privasinya. Bahkan saya sendiripun tidak bisa menghubunginya. Meski saya ingin membantumu, saya tidak bisa berbuat banyak."

"Kalau begitu apakah anda pernah mendengar tentang operasi Stealth?"

Vincent segera keluar dari kamar dan mengeluarkan suara yang keras untuk menarik perhatian kedua pria tersebut.

Gregorius Alvianc tampak merasa lega dengan kedatangannya sementara Martin sama sekali tidak menyukainya.

"Kenapa wajah kalian tegang sekali?" Vincent telah menggunakan topengnya. Dia memasang ekspresi polos yang tidak tahu apa-apa.

Martin mendengus dan pamit pada Greg sebelum meninggalkan mereka.

"Pria tua itu tidak akan menyerah sebelum mendapatkan keinginannya." gumam Greg dengan sangat pelan.

"Memangnya apa yang diinginkannya?" tanya Vincent dengan nada tak tertarik sedikitpun.

"Tidak ada. Kenapa kau disini?"

"Aku malas bertemu dengan mereka."

"Aku mengerti perasaanmu." angguk Greg menyetujuinya. "Aku sama sekali tidak melihat Clarissa, biasanya dia akan menempel dan mencarimu seharian. Apa kalian bertengkar?"

Kening Vincent mengernyit dan menatapnya tidak suka ke arah Greg, suami dari Alice.

"Maaf, aku sudah kelewatan. Tapi dari tadi ibumu mencarimu, sebaiknya kau bergabung dengan keluargamu."

Vincent menghembuskan nafas beratnya dan akhirnya menuruti apa yang diucapkan Greg.

'Pinpin..pinpin...'

Lagi-lagi Vincent mendengar suara itu. Dia berbalik dan melihat seorang anak batita yang baru bisa berjalan dengan kedua tangan terulur ke arahnya.

'Pinpin..'

Saat Vincent mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan anak perempuan itu, bayangan anak itu menghilang. Ah, apakah ini merupakan salah satu ingatannya yang menghilang?

"Apakah Chloe punya anak perempuan?" Vincent bahkan nyaris tertawa mendengar pertanyaannya sendiri. Tidak mungkin Chloe memiliki seorang anak.

"Kau ini bicara apa, tentu saja Chloe tidak memiliki anak. Kalau dia memiliki anak, sudah pasti penerus tahta Paxton adalah anaknya dan bukan Benjamin."

Benar. Itu memang benar. Tapi kenapa dia merasa anak kecil di ingatannya juga tinggal di rumah ini?

"Bukankah ada seorang anak perempuan yang juga tinggal disini? Aku jarang melihatnya, tapi.. aku yakin pernah melihatnya."

"Maksudmu anak bibi pengasuh Chloe? Aku dengar dia memang membawa anaknya agar bisa merawat penyakit Chloe dan menjaga anaknya. Aku dengar bibi itu membawa anaknya pergi setelah dipecat."

Vincent mengangguk mengerti. Sedikit demi sedikit dia mulai mengingatnya.

"Ingatanmu sudah kembali?" tiba-tiba saja Greg menyadari sesuatu.

"Tidak. Hanya beberapa potongan kecil memori yang kuingat. Seperti biasa... tidak ada satupun yang penting untuk diingat. Kalian juga tidak mau memberitahuku."

Greg mendesah sedih. "Bukannya tidak memberitahumu, tapi kami memang tidak tahu apa yang terjadi."

"Ya, jawaban yang sama persis dengan keluargaku. Aku bukanlah anak kecil dan aku tahu pasti, ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku."

"Vincent.."

"Lupakan saja. Aku sudah tidak peduli. Itu sudah masa lalu." Vincent mengucapkannya dengan nada dingin dan kembali berjalan ke ruang utama saat merasa pusing.

"Ngomong-ngomong aku dengar kau sudah memiliki seorang kekasih."

Vincent memutar matanya mendengar itu. Vincent sangat mengenali mobil yang kemarin melewati mereka sambil membunyikan klakson. Mobil itu milik saudara iparnya. Dan ternyata benar, begitu dia masuk ke dalam rumahnya, Vanessa telah menanyainya ribuan pertanyaan mengenai Cathy.

Vincent hanya mendesah pasrah sadar kakaknya itu pasti sudah menyebarkan berita ini ke semua kenalannya. Cepat sekali gosipnya menyebar. Gerutu Vincent dalam hati.

"Belum. Tapi aku berencana menjadikannya kekasihku."

"Hoo?" terdengar jelas nada riang pada suara Greg. "Vincent kecil sudah dewasa sekarang."

Vincent mendengus dan tidak menghiraukan kalimat terakhirnya.

"Greg, bagaimana caranya membuat terkesan seorang gadis?"

"Hah? Kupikir kau sudah tahu. Kau bahkan yang mengajari Pasha untuk mendapatkan Sophia."

Yah, memang benar. Untuk mendapatkan hati Sophia, Vincent serta Frank harus bekerja keras membantu Pasha yang pasif agar tidak kehilangan Sophia yang akhirnya kedua insan tersebut melangsungkan pernikahan mereka beberapa minggu lalu.

Vincent tersenyum saat mengingat dia harus membuat Sophia terbang ke Pina sehari sebelum pernikahan mereka. Pasha cemberut seharian dan tidak mau bekerja lagi.

"Percayalah, gadis yang sedang kukejar berbeda. Dia tidak akan terpesona jika aku memberinya bunga. Aku juga tidak bisa membawa ke suatu tempat yang indah atau romantis karena pasti dia tidak akan terpesona akan semua itu."

"Gadismu aneh sekali. Wanita mana yang tidak suka dengan bunga kecuali kalau dia buta."

"...." lebih tepatnya buta warna. Ucap Vincent dalam hati.

"Yah, tidak peduli apapun itu, seseorang tidak harus mengagumi sesuatu melalui visual saja. Bisa melalui suara atau... hal-hal yang disukainya. Kau harus lebih kerja keras lagi untuk memenangkan hatinya."

"Aku tahu itu." napas Vincent terasa berat saat menjawabnya dan dari wajahnya mulai bercucuran keringat.

"Kau baik-baik saja?" Greg memiliki firasat buruk melihat kondisi Vincent yang tampak tidak sehat.

"Aku tidak tahu. Kepalaku.. terasa pusing." kini suara Vincent melemah dan tidak bertenaga.

Vincent menyenderkan sebelah tubuhnya ke arah dinding dan kemudian terjatuh. Dia merasakan tubuhnya ditopang dan mendengar namanya berulang kali disebut sebelum dia kehilangan kesadaran sepenuhnya.

-

"Sst.. jangan bersuara."

Vincent melihat seorang wanita sedang berjongkok di depan sebuah lemari pakaian.

"Chloe, kau sedang bicara dengan siapa?"

Chloe segera bangkit berdiri dan menutup lemarinya. "Bukan siapa-siapa." jawabnya dan melewatinya dengan terburu-buru.

Karena Vincent kecil penasaran, dia berjalan dan membuka pintu lemari... ternyata tidak ada apa-apa selain baju yang tertata dengan rapi.

Vincent kembali berbalik untuk keluar dari kamar saat melihat seorang wanita dilumuri darah dengan sebuah lampu hias yang besar diatas tubuhnya.

Wajah Vincent terkejut sambil menatap adegan didepannya dengan ngeri. Wanita itu mengangkat sebelah tangannya ke arahnya dan saat itulah.. Vincent terperanjat dan terbangun.

Vincent membuka matanya dan bingung dengan sekitarnya sambil mengatur pernapasannya yang terengah-engah. Ini bukan kamarnya, tidak.. ini memang kamarnya. Lebih tepatnya dia sering tidur di kamar ini saat dia menginap di rumah ini. Vincent melihat pasangan suami istri Alvianc menatapnya dengan khawatir di sebelah kirinya.

"Apa yang terjadi?"

"Di dalam tubuhmu ada bahan kimia yang membuatmu berhalusinasi." jawab seorang yang tidak dikenalnya di sebelahnya lain.

"Dia adalah dokter. Tiba-tiba saja kau pingsan, jadi aku memanggilnya. Untung saja ada dokter diantara para tamu yang datang."

"Halusinasi? Aku sama sekali tidak berhalusinasi. Kepalaku... hanya pusing." jawab Vincent dengan yakin.

Rupanya Vincent telah melupakan apapun yang dilihatnya didalam pikirannya.

"Hm.. mungkin karena hanya sedikit yang masuk ke dalam tubuhmu, jadi efeknya juga tidak terlalu terasa. Tapi jenis obat ini sangat kuat, jadi meskipun kau mengkonsumsinya dalam skala kecil, kau tetap akan terkena efeknya. Kau pingsan selama setengah jam jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku akan menganggapnya tidak pernah terjadi. Karena itu tuan muda Regnz, tolong berhenti mengkonsumsi obat terlarang."

Vincent mendecak dalam hati. Mana pernah dia meminum obat terlarang? Kedua orang tuanya akan menghajarnya dan mengusirnya dari rumah kalau dia melakukannya.

Setelah pasangan Alvianc mengucapkan terima kasih, sang dokter kembali ke acara tersebut sementara Alice, Greg dan Vincent tampak memikirkan sesuatu dengan sangat serius.

"Apa kau minum sesuatu? Atau menghirup suatu gas tanpa kau ketahui?" tanya Alice karena dia tahu Vincent bukanlah orang yang mengkonsumsi obat ilegal tersebut.

"Aku tidak tahu. Tapi aku sama sekali belum minum dari tempat ini. Berarti mungkin aku menghirup sesuatu tanpa kusadari."

"Kau ingin aku menyelidikinya?" kali ini Greg yang bertanya. Mengetahui apa yang bisa dilakukan pria itu, Vincent hanya tersenyum. Sudah pasti pria itu segera mendapatkan jawabannya kalau dia mengerahkan anak buahnya.

"Tidak perlu. Lagipula, tidak terjadi apa-apa...huf..hafa afa?" tiba-tiba saja Alice mencubit kedua pipi Vincent dengan gemas.

"Kau sama sekali tidak berubah. Kalau kau yang terancam bahaya, kau tidak mau mencari tahu. Tapi kalau ada yang mengancam keluargamu, taring dan cakarmu malah kau keluarkan. Aku tidak mau peduli lagi. Hmph!" dengan kesal Alice keluar dan kembali ke kerumunan para tamu.

"Keluargaku belum tahu kan?"

"Belum. Kami tahu kau tidak ingin membuat keluargamu khawatir."

Mendengar ini, Vincent bernapas lega. Setelah memastikan dirinya sudah tidak merasa pusing lagi, Vincent serta Greg berjalan ke ruang utama untuk bergabung dengan keluarga mereka.

Seharian itu Vincent menyadari seseorang memandanginya dengan rasa kebencian dan amarah yang luar biasa. Orang itu adalah Stevanord Paxton atau lebih sering dikenal dengan Steve Mango. Tentu saja Vincent sama sekali tidak memperdulikannya dan ikut bergabung bersama Felicia dan Benjamin.