"Kakak.. kakak.."
"Kak Cathy..kak.. bangun.."
"Hiks.. kak Cathy.."
Cathy jelas mendengar adik-adiknya memanggil namanya, dia jelas mendengar isakan tangis adiknya. Dia bahkan bisa merasakan sebuah tangan besar menggengam tangannya dengan erat. Tapi dia sama sekali tidak bisa membuka matanya. Dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Apa yang terjadi? Ada apa dengannya?
Dia ingin segera bangun, dia ingin membuka kelopak matanya dan menenangkan ketiga adiknya bahwa dia tidak apa-apa. Rasanya dia ikut merasa sedih jika harus mendengar adik-adiknya menangis, apalagi penyebab tangisan mereka adalah dirinya.
Cathy masih terus berusaha membuka kelopak matanya atau menggerakkan tubuhnya yang hasilnya sia-sia belaka. Hatinya mulai merasa panik saat suara adik-adiknya menghilang. Apakah dia mati? Apakah dia sudah tidak bisa terbangun lagi? Tiba-tiba saja Cathy dilanda ketakutan yang luar biasa.
Tidak lama kemudian dia mendengar suara percakapan.
"Warna rambutnya terlalu mencolok."
"Kita bisa menutupnya dengan topi."
"Nona, anak ini semakin hari semakin mirip dengan anda."
"Kau benar, dia tidak akan aman jika berada disini."
Bukan suara adiknya tapi suara asing yang didengarnya. Siapa? Siapa mereka?
"Hush! Jangan ganggu aku belajar. Pergi sana."
Kali ini dia mendengar seorang anak laki-laki. Kenapa suara yang didengarnya tidak ada satupun yang sama? Dia ada dimana? Siapa mereka? Kenapa dia tidak bisa melihat apa-apa?
Sekali lagi dia mencoba membuka matanya dan hatinya merasa lega luar biasa begitu dia bisa melihat sekitarnya. Dia melihat dua orang dewasa tidak jauh darinya sedang berdiskusi sesuatu dengan wajah serius. Matanya berkaca-kaca saat melihat kedua wajah orang itu. Dua orang yang sangat dirindukannya. Apakah ini mimpi? Kalau iya, dia tidak ingin terbangun dari mimpinya.
"Mama.." Cathy menyadari suaranya tidak normal. Dia melirik ke arah tangannya dan sadar dirinya bukanlah dirinya. Dia adalah anak batita?!
Wanita yang dipanggilnya mama menolehnya dengan terkejut kemudian tersenyum sambil mendekatinya.
"Benar. Aku adalah mamamu. Mulai sekarang aku adalah mamamu."
Kenapa ibunya mengatakan kalimat ini? Bukankah wanita yang kini memeluknya memang adalah ibunya sejak dia dilahirkan?
"Catherine, dia adalah papamu. Ayo, coba panggil dia papa."
Catherine menoleh kearah seorang pria yang memandangnya dengan tidak suka. Dia teringat akan hari itu dimana pria itu menamparnya dengan keras. Apakah selama ini ayahnya tidak pernah menyayanginya? Bahkan semenjak dia masih kecil??
"Daniel.. dia juga merupakan keluargamu. Di dalam dirinya mengalir darah yang sama denganmu!"
Cathy melihat ayahnya menghela napas kemudian mendekati mereka berdua dengan langkah berat.
"Rambut anak ini terlalu mencolok. Kita harus mengubahnya. Bagaimana kalau kita mengecatnya dengan warna lain?"
Sang ibu mendelik ke arah suaminya. "Kau bercanda?! Dia bahkan belum genap tiga tahun."
"Ini juga demi kebaikannya. Cepat atau lambat mereka akan menyadari keberadaan anak ini."
Sang ibu mendecak dan mencari sesuatu dari lemari pakaiannya. Kemudian sang ibu mengambil sebuah topi bundar cantik khusus anak perempuan dan meletakkannya di atas kepala Cathy. Rambut ikal Cathy yang tebal diikat dan dimasukkan kedalam topi.
"Nah, dengan begini rambutnya tidak akan terlihat. Astaga... cantik sekali. Aku tidak pernah melihat anak secantik ini." sang ibu menciumi wajahnya berulang kali.
"Sejak kapan kau memiliki topi seperti ini?"
"Sejak kita menikah. Aku menginginkan anak perempuan karena itu aku membeli baju dan aksesoris yang imut untuk calon bayi perempuan kita."
"Kita bahkan belum memiliki anak."
"Hush! Bukankah anak ini anak kita? Iya kan Cathy.. Mulai sekarang aku akan memanggilmu Cathy." sekali lagi sang ibu menciumi kedua pipinya.
Cathy hanya berdiam disana tidak bisa memproses percakapan yang terjadi diantara kedua orangtuanya.
Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kenapa tubuhnya kembali seperti tubuh anak-anak? Dan juga kenapa dia merasa dia hanyalah anak adopsi dari kedua orang tua adik-adiknya?
Jika dia memang bukan anak kandung mereka, lalu siapa orang tua kandungnya? Apakah karena ini, karena dia bukan putri kandungnya, ayahnya bersikap jahat padanya?
Karena terlalu larut pada pikirannya, Cathy sama sekali tidak menyadari perubahan yang terjadi disekitarnya. Dia merasa dia memiliki tubuhnya tapi disaat bersamaan dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya seolah ada seseorang yang mengendalikannya.
"Papa,papa.. mama dimana? Cathy mau bertemu dengan mama."
"Sudah kubilang kan, saat ini mama menginap di rumah sakit untuk menyambut adik Cathy. Kali ini Cathy akan punya adik kembar."
"Cathy juga mau ikut papa ke rumah sakit."
"Tidak. Hari ini kau di rumah." suara pada ayahnya sangat tegas menolak dibantah.
"Tapi pa.."
"Cathy, terakhir kali saat kau keluar.. kau melepaskan topimu sembarangan. Papa tidak mau kau keluar tanpa menggunakan topi."
"Cathy janji, kali ini Cathy tidak akan melepaskan topi Cathy."
Sang ayah menghela napas tidak sabar. "Masalahnya sekarang kita sudah tidak memiliki topi lagi. Tiap kali kau memakainya, kau akan melepasnya di sembarangan tempat. Entah sudah berapa banyak topi yang kau hilangkan. Untuk sementara ini kau di rumah saja."
"Tidak mau, Cathy mau ketemu mama." rajuk Cathy mulai terisak.
Pada akhirnya sang ayah menarik tangannya dan mengurungnya di kamarnya.
Klik! Terdengar suara kunci menandakan pintu kamarnya terkunci sehingga Cathy tidak akan bisa keluar dari kamarnya.
"Papa, papa, buka pintunya. Cathy tidak mau disini. Cathy mau sama papa. Papa.. papa" isak Cathy sambil menggedor pintunya dengan keras.
Cathy tidak ingin menangis tapi kenyataannya air matanya mengalir dengan deras membasahi pipinya. Apakah mugkin karena dia berada dalam tubuh anak-anak, jiwanya juga ikut menjadi seperti anak-anak? Anak yang cengeng seperti dulu?
Untuk beberapa saat Cathy merasa dia bisa mengambil alih kendali tubuhnya. Dia memutar knop pintu dan membukanya dengan perlahan. Cathy mendesah lega saat pintunya bisa terbuka, namun apa yang dilihatnya tidak seperti diharapkannya.
Kejadiannya persis seperti lima belas tahun yang lalu. Cathy tahu seharusnya dia menutup kembali pintu kamarnya dan bersembunyi di balik belakang pintu. Dengan begitu dia tidak akan berhadapan ayahnya yang sedang mabuk dan dia tidak perlu merasakan rasa panas di pipinya. Tapi... dia sudah sangat menyayangi adiknya sehingga tanpa pikir panjang dia segera berlari menghadang ayahnya di depan pintu kamar adik-adiknya yang sedang menangis.
Bahkan dirinyapun juga menangis terisak tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Saat ayahnya mengangkat tangannya untuk menamparnya, dia memejamkan matanya mengantisipasi rasa sakit yang akan datang. Namun rasa sakit itu tidak pernah datang dan akhirnya dia membuka matanya kembali.
Kali ini dia berada di suatu tempat yang sama sekali tidak pernah dilihatnya. Dia yakin dia tidak pernah datang ke tempat itu, tapi disaat yang sama dia merasa nostalgia dengan tempat ini. Dimana ini?
Cathy mendengar suara berderik dari atas kepalanya, membuatnya mendongakkan kepalanya. Dia melihat sebuah lampu hias cantik berukuran besar sedang bergetar. Dia memincingkan matanya menatap lampu itu dengan curiga. Sedetik kemudian, ukuran lampu tersebut membesar dan jarak diantara kepalanya dengan lampu semakin dekat.
Saat menyadari apa yang terjadi tubuh Cathy melemas dan menatap lampu besar tersebut jatuh ke arahnya dengan tatapan ngeri.
"TIDAAAAKKK!!!" dalam sekejap dia mengangkat tubuhnya terduduk di atas ranjang sambil berteriak.
"Cathy! Cathy! Ssttt.. tenanglah. Itu tidak nyata, hanya mimpi. Sstt.."
Napas Catherine terengah-engah dan tertegun saat mendengar suara menenangkan di sebelahnya.
Vincent? Kenapa Vincent ada disini? Cathy memandang kesekelilingnya. Apakah ini mimpinya yang lain? Namun dia merasakan usapan lembut pada tangannya dan mendengar suara isakan si kembar di telinganya. Dia juga mencium aroma medis yang tidak disukainya membuatnya sadar dia berada di rumah sakit. Apakah berarti dia sudah terbangun dari mimpinya?
"Kakak.. kupikir kakak tidak akan bangun lagi." isak Lina yang kini memeluknya dari sisi kirinya.
Cathy mulai bisa bernapas dengan normal dan kini bisa melihat wajah kusut dari ketiga adiknya dengan jelas. Apakah mereka menangis terus? Berapa lama mereka menangis sehingga wajah serta rambut ketiga adiknya jauh dari kata rapi?
"Kau baik-baik saja?"
Cathy menoleh ke sebelah kanannya dan memandang Vincent yang juga memasang ekspresi khawatir pada dirinya.
"Hm. aku baik-baik saja. Apa yang terjadi padaku?"
"Kebetulan aku melihatmu membeli es krim. Jadi aku berjalan untuk menyapamu dan tiba-tiba kau jatuh pingsan. Adik-adikmu menangis sepanjang perjalanan ke rumah sakit... hingga sekarang sebenarnya." tangan Vincent mengusap lembut kepalanya, "Untunglah akhirnya kau sudah sadar."
"Kenapa aku bisa pingsan?"
"Masih belum dipastikan. Mungkin karena kau terlalu kecapaian. Maafkan aku, sepertinya ini kesalahanku. Tidak seharusnya aku mengajakmu berkeliling beberapa hari terakhir ini." Vincent berusaha untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Tidak. Itu tidak benar." balas Cathy terburu-buru. "Itu bukan salahmu dan juga aku sama sekali tidak keberatan. Sungguh." lanjutnya dengan nada meyakinkan.
Vincent tersenyum menyesal ke arahnya dan sekali lagi mengusap lembut kepala gadis itu.
"Aku akan memberikan kalian ruang." ucap Vincent meninggalkan kamarnya.
Sekali lagi kepekaan luar biasa Anna menyadari tatapan sedih kakak sulungnya melihat kepergian Vincent. Dia bertanya-tanya apakah mungkin pemuda bernama Vincent inilah yang telah mengisi hati kakaknya? Tapi dia tidak begitu memikirkannya. Untuk saat ini dia ingin memastikan kesehatan kakaknya.
Sementara itu Vincent yang telah menutup pintu kamar segera mengepalkan kedua tangannya. Rahangnya mengeras dan tatapannya dipenuhi dengan amarah yang tak bisa dibendungnya. Semua orang yang berjalan melewatinya bergidik ketakutan merasakan aura permusuhan dari tubuhnya.
Siapa sebenarnya pelakunya? LS ataukah orang lain? Berani sekali mereka menyuntikan cairan halusinasi pada Catherinenya! Berani sekali mereka membuat gadis yang dicintainya mengalami mimpi buruk! Jika sampai dia menemukan mereka, Vincent tidak akan melepaskan mereka dengan mudah. Kemudian Vincent mencari tempat yang sepi untuk menghubungi anggota timnya.
Sementara itu di dalam kamar inap Cathy, si kembar tidak mau melepaskan pelukannya meski Cathy sudah berulang kali meyakinkan mereka bahwa dirinya baik-baik saja.
Tadinya saat Cathy terbangun dari mimpi anehnya, dia nyaris menangis. Karena disaat bersamaan dia terbangun, hati dan jiwanya sudah merasa terpukul mengingat apa yang dilihatnya dalam mimpinya.
Dia mengingat ayahnya sama sekali tidak memperdulikannya disaat ibunya mengandung anak kembar. Tidak. Bahkan sebelum Anna lahir, ayahnya sudah bersikap dingin padanya. Dia tidak pernah lagi diperbolehkan keluar dan seringkali dikurung di kamarnya. Ayahnya tidak pernah lagi mengajaknya bermain di luar seperti dulu, yang akhirnya dia hanya bisa mencari ibunya.
Sayangnya, ibunya yang akan melahirkan anak kembar harus dirawat di rumah sakit membuatnya tidak bisa bertemu dengan sang ibu tercinta. Ayahnya sering memarahinya tiap kali dia merengek ingin bertemu dengan sang ibu di rumah sakit. Dia dikurung dalam kamar tiap kali ayahnya pergi atau menjenguk sang ibu yang akan melahirkan. Setelah ibunya meninggal karena pendarahan, sikap ayahnya semakin memburuk.
Dan yang paling menyakitkan adalah ketika ayahnya...menampar wajahnya dengan sangat keras. Dia ingin menangis.. hatinya terasa seperti dikoyak-koyakkan. Kenapa dalam waktu singkat kenangan kelam mengenai ayahnya muncul secara bersamaan? Kenapa dia tidak melihat satupun kenangan indah yang dilaluinya bersama ayahnya? Apakah mungkin dia tidak memiliki kenangan indah bersama ayahnya? Apakah benar ayahnya memang tidak menyayanginya sejak dia dilahirkan?
Pemikiran ini membuat hatinya hancur tak berdaya dan ingin menjerit sekeras-kerasnya meluapkan kesedihannya.
Tapi.. begitu dia melihat wajah Vincent... melihat tampang adik-adiknya yang sangat buruk.. secara reflek air matanya tidak jadi menerobos keluar. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya, dia tidak pernah menangis dihadapan orang lain. Tidak.. dia tidak mengizinkan dirinya terlihat lemah dihadapan orang lain.. terlebih lagi dihadapan adik-adiknya. Dia tidak ingin membuat mereka khawatir dan menjadi sedih karena dirinya. Bahkan saat inilah dia yang sedang menghibur ketiga adiknya agar mereka berhenti menangis sambil berusaha menenangkan mereka. Dan dia berusaha mengalihkan pikirannya dari kenangan pahitnya agar dia tidak menjadi lebih lemah dan menangis. Dia harus kuat demi adik-adiknya.
-
"Sudah malam, sebaiknya kalian pulang. Pak Neels akan mengantar kalian pulang."
Vincent berusaha membujuk ketiga adik Cathy untuk pulang karena jam sudah larut malam. Vincent memanggil supir keluarganya dan memintanya untuk mengantar mereka pulang.
"Biar si kembar saja yang pulang. Aku ingin disini menemani kakak." desak Anna
"Aku tahu kau sangat mengkhawatirkannya, tapi aku tidak bisa membiarkannya bersedih melihat adik-adiknya jatuh sakit atau membolos sekolah besok."
"Kak Cathy akan sendirian..."
"Dia tidak sendirian." potong Vincent tegas. "Aku akan menemaninya. Aku janji, kakakmu akan baik-baik saja."
Semula Anna tidak bisa mempercayai sepenuhnya pada Vincent. Meski mereka pernah bertemu di pulau Pina, Anna masih menganggap Vincent hanya seorang kenalan biasa. Ditambah lagi dia tidak pernah mendengar kakaknya bercerita mengenai kedekatannya dengan pria ini.
Namun melihat kesungguhan pria ini dan kepanikan saat melihat kakaknya pingsan; ditambah dengan perubahan sikap kakaknya yang berbunga-bunga membuatnya bertanya-tanya, apakah mungkin.. pria yang berhasil mengisi hati kakaknya adalah pria di hadapannya saat ini?
Anna teringat percakapan kakaknya dengan Vincent sebelumnya. Vincent sudah sering mengajak kakaknya pergi bersama. Apakah itu berarti mereka berdua sudah menjalani hubungan khusus? Sejak kapan? Sampai mana perkembangan hubungan mereka? Kenapa kakaknya tidak pernah menceritakannya?
Akhirnya Vincent berhasil membujuk Anna dan si kembar menurutinya dan masuk ke dalam mobil sebelum akhirnya diantar supir keluarga Vincent hingga tiba di Red Rosemary.
Sementara itu Vincent kembali ke kamar inap Cathy dan sekali lagi melihat Cathy sedang mengalami mimpi buruk.
Vincent mengenggam tangannya kembali sambil berbisik menenangkan. Dia berharap mimpi buruk gadis itu segera berakhir dan efek obat apapun yang didalam tubuhnya segera menghilang.
Tit.tit..tit...tit....tit.....tiiiiiiiiiiit
Vincent segera menekan tombol memanggil perawat sadar detak jantung Cathy melemah dan berhenti.
Tidak lama kemudian sang dokter wanita dan beberapa perawat masuk ke dalam dan berusaha menyelamatkan Cathy. Vincent mengacak rambutnya frustrasi saat menunggu di luar kamar, tanpa disadarinya air matanya mulai mengalir di pipinya.