Chapter 47 - Merasa Aman

"Aaaaaaaaa!!"

Cathy langsung terbangun dari mimpi anehnya. Jantungnya berdesir ketakutan saat melihat suasana disekitarnya gelap. Jantungnya berdetak terlalu cepat hingga membuatnya sesak. Dia memegangi dadanya sambil mengerang kesakitan. Dimana dia? Dimana ini?

Lampu ruangan tiba-tiba menyala membuatnya memicingkan kedua matanya. Tangannya bergerak untuk melindungi matanya dari lampu yang yang menyilaukan kemudian sadar, tangan kanannya sedang dimasukkan jarum infus.

"Kau baik-baik saja?" sebuah suara bertanya dengan lembut disebelah kirinya.

Cathy bangkit untuk duduk dengan nyaman dibantu oleh tangan kokoh menopang punggungnya.

Kemudian teringatlah dia.. dia berada di rumah sakit. Tapi ini bukan seperti saat dia terbangun tadi. Tempat ini jauh lebih besar dan ranjang yang ditempatinya juga jauh lebih nyaman. Dia bahkan bisa melihat sebuah pintu yang menjadi penghalang antara ruangan ini dan sebuah balkon? Apakah mungkin saat ini dia berada di salah satu kamar vip?

Kemudian matanya melirik ke arah sebuah jam yang terpasang di atas dinding didepannya. Jam dua... jam dua pagi?!

Kenapa Vincent belum pulang? Apakah pria itu yang menungguinya selama ini? Bagaimana dengan pamannya? Kenapa pamannya sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya? Apakah pamannya sudah tidak lagi memperdulikannya?

Dia yakin Anna pasti sudah memberitahu sang paman bahwa dirinya jatuh pingsan di taman tamasya. Dia yakin pamannya tahu bahwa saat ini dia berada di rumah sakit. Lalu kenapa dia tidak mendengar satupun kabar bahwa pria itu mengkhawatirkan kondisinya?

Semenjak mereka pulang dari Pina, Benjamin tidak pernah lagi kembali ke rumah mereka. Sesekali hanya menanyakan kabar melalui telepon atau chat. Tapi Ben tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di rumah.

Apakah pamannya kembali membencinya? Apakah dia melakukan kesalahan besar sehingga merugikan hotel di Pina? Itukah sebabnya dia 'dipecat' dan pria itu tidak pernah muncul lagi?

Kenapa? Kenapa Benjamin sangat tega? Padahal dia sudah mulai menerima kehadiran pria itu. Dia sudah mulai menerima kenyataan bahwa ayahnya membencinya dan terbuka pada pamannya. Dia mulai menganggap Benjamin sebagai pengganti sosok ayahnya. Tapi kenapa? Kenapa sekarang pria itu kembali seperti dulu?

Sekali lagi Cathy menggigit bibirnya dengan keras. Dia bertanya-tanya apakah dia memang melakukan kesalahan yang tak bisa dimaafkan?

Cathy sama sekali tidak peduli rasa sakit yang dirasakan saat sentuhan lembut pada bibirnya membuatnya terkejut.

"Jangan gigit bibirmu sendiri, aku tidak ingin melihatmu terluka."

Mata Cathy terasa seperti ditusuk sesuatu yang menyebabkan air matanya memaksa untuk keluar. Dia berusaha menahan agar air matanya tetap pada tempatnya dan dia berusaha menahan diri agar tidak kembali menggigit bibirnya.

Saat ini dia merasa dirinya sangat lemah, dia ingin berteriak, dia ingin menangis. Dia ingin sendiri, tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya pada siapapun. Saat adik-adiknya berada di sisinya dia masih bisa menahannya. Dia masih bisa menjaga dinding pertahannya tetap kokoh berdiri. Namun sekarang entah kenapa dia merasa dinding yang dia bangun selama bertahun-tahun mulai retak. Dia merasa sudah tidak sanggup jika memendam kesedihannya lebih lama lagi.

Cathy ingin bersuara, dia ingin mengusir orang itu dari hadapannya agar dia bisa bebas menangis tanpa dilihat orang. Tapi.. dia tidak berani membuka mulutnya karena dia tahu, begitu dia berbicara.. air matanya akan langsung mengalir turun ke pipinya. Karenanya, dia mengalihkan pandangannya ke arah jendela yang transparan dimana dia bisa melihat keadaan balkon, menolak menatap langsung mata orang itu.

Dia merasa tatapan pria itu bisa menembus ke dalam lubuk hatinya dan menghancurkan pertahanannya. Dan dia sama sekali tidak menginginkannya.

Tidak lama kemudian dia merasakan dua lengan yang kuat melingkari tubuhnya. Cathy terperanjat saat mencium aroma lemon bercampur parfum maskulin dari tubuh yang sangat dekat dirinya. Dia meronta dan berusaha melepaskan diri dari dekapan orang itu namun pelukannya semakin dipererat.

"Sst.." bisik pria itu dengan sangat menenangkan sambil menepuk lembut pungggung dan mengusap kepalanya dengan menenangkan. "Tidak akan ada yang melihatmu menangis. Aku juga tidak akan melihatnya. Jadi menangislah sepuasmu."

Krak! Kini dinding pertahanannya runtuh. Cathy sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi dan air matanya yang sudah terbendung membuncah keluar tanpa peringatan. Dia terisak dan menangis dengan keras. Bahkan kedua tangannya mencengkram kain baju pria itu dengan kuat seolah dia takut pria itu akan meninggalkannya seperti ayah dan pamannya.

Untuk pertama kalinya dia merasa takut yang sangat luar biasa. Dia bisa menerima kenyataan ayahnya membencinya bahkan mengusir dan menghajarnya tiap kali dia datang menjenguknya di rumah sakit jiwa. Dia juga mulai mempersiapkan diri jika seandainya pamannya sudah tidak peduli padanya atau mengusirnya dari rumahnya.

Tapi dia tidak siap.. tidak akan pernah siap jika Vincent akan meninggalkannya. Dia merasa takut kalau Vincent akan melakukan hal yang sama seperti pamannya.. Dia takut Vincent akan meninggalkannya. Kalau hal itu terjadi, apa yang akan terjadi pada dirinya? Dia sudah merasa hatinya hancur berkeping-keping membayangkan tidak akan bertemu dengan pemuda itu lagi. Menyadari pemikirannya membuatnya tidak berhenti menangis dan cengkramannya pada baju Vincent semakin erat.

Cathy sama sekali tidak tahu apa yang dirasakan Vincent mendengarkan tangisannya. Cathy sama sekali tidak melihat ekspresi penderitaan Vincent saat berusaha menenangkan dirinya. Cathy juga tidak tahu bahwa hati Vincent seperti dirajam puluhan pisau tiap kali mendengarkan tangisannya.

Tentu saja Cathy juga tidak tahu, tidak peduli apapun yang terjadi, Vincent tidak akan pernah meninggalkannya. Kalaupun seandainya Cathy yang pergi meninggalkan Vincent, pria itu sudah pasti akan melacak keberadaannya dan akan menemuinya.

Sementara Vincent sendiri dia sudah menyadari awal saat wanita dicintainya terbangun tadi sore. Wanita itu sudah pasti akan menangis seperti sekarang kalau seandainya tadi tidak ada adik-adiknya. Dia sangat tahu gadis tercintanya akan bersikap tegar dan menyembunyikan kesedihannya dari adik-adiknya. Mengetahui akan hal ini bagaimana mungkin Vincent akan meninggalkannya seorang diri? Mana mungkin dia membiarkan gadisnya bersedih sendirian?

-

Entah berapa lama Cathy menangis sebelum akhirnya Cathy mulai merasa tenang dan hanya tersisa isakan kecilnya. Sebuah tangan menghapus air matanya dengan jari-jari yang lembut membuatnya sadar dia telah menangis dihadapan orang lain. Setelah sekian lama semenjak dia pindah ke Red Rosemary, pada akhirnya dia menangis di depan orang lain. Dan orang itu adalah Vincent.

Entah kenapa segala sesuatu yang dia lakukan untuk pertama kalinya selalu dilakukannya bersama pria itu. Tampaknya pria itu memiliki karisma sendiri yang membuatnya tidak bisa menolak keberadaannya disisinya.

"Maaf. Bajumu jadi kotor gara-gara aku." ucap Cathy dengan perasaan bersalah.

"Tidak masalah selama perasaanmu membaik." jawab Vincent mengelus pipinya dengan lembut.

Catherine menelan ludahnya dengan terharu. Seumur hidupnya dia tidak pernah diperlakukan hangat oleh seseorang seperti ini. Dia tidak mendapatkan perhatian dan pengertian seperti yang dilakukan oleh Vincent terhadap dirinya. Menyadari kenyataan ini sekali lagi air matanya keluar dari matanya membuat Vincent menjadi panik.

"Ada apa? Kenapa kau menangis lagi? Apakah ada yang sakit?"

Cathy segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. Kenapa.. kenapa kau sangat baik padaku? Tanyanya dalam hatinya.

"Adik-adikku.." tapi dia tidak berani menanyakannya secara langsung dan asal mengalihkan pembicaraan mereka.

"Aku menyuruh mereka pulang. Sudah larut malam dan mereka harus bangun pagi untuk sekolah. Anna masih ingin disini, tapi aku berhasil memaksanya untuk pulang."

"Hm.. terima kasih." Cathy merasa lega setidaknya ada seseorang menggantikannya untuk memperhatikan adik-adiknya. Hatinya akan diliputi perasaan bersalah jika sampai adik-adiknya jatuh sakit hanya gara-gara menemaninya disini.

"Sebenarnya apa yang dikatakan dokter mengenai tubuhku? Aku tidak mungkin jatuh pingsan karena kecapaian. Setidaknya aku sangat yakin akan itu."

Vincent mendesah dan terkadang berharap gadis yang disayanginya ini tidak terlalu pintar.

"Apa kau mengingat sesuatu sebelum pingsan? Misalnya mencium bau tidak enak atau makan sesuatu yang tidak pernah kau makan sebelumnya? Atau mungkin.. seseorang menyuntikkan sesuatu padamu?"

Cathy berusaha mengingat-ingat kejadian tadi siang. Dia ingat memesan empat es krim cone di sebuah stan, kemudian.. penjual es krim mengatakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Lalu.. lalu.. dia tidak ingat. Dia tidak ingat apapun setelah dia menerima es krim cone yang keempat.

"Aku tidak tahu. Aku hanya membeli es krim dan.. aku tidak ingat setelahnya. Jadi sebenarnya ada apa?"

Vincent mendesah berat. Kalau bisa dia tidak ingin memberitahu hal yang sebenarnya pada Cathy. Tapi.. menyembunyikan kebenaran juga bukanlah jalan keluarnya.

"Seseorang memasukkan obat halusinasi padamu. Entah kau bisa melihatnya melalui mimpi atau disaat kau tersadar. Karena tubuhmu tidak kuat dengan obat itu, kau langsung jatuh pingsan, dan mungkin... kau melihat halusinasi itu melalui mimpimu."

Ekspresi Cathy dipenuhi dengan ketakutan yang luar biasa saat mendengar penjelasannya.

"Jangan khawatir, dokter akan memastikan tidak akan terjadi sesuatu buruk padamu. Mereka masih mencari cara untuk menghilangkan efek halusinasi itu, karena itu bersabarlah. Kau hanya perlu ingat, apapun yang kau lihat itu tidak nyata. Anggap saja itu adalah mimpi buruk yang bisa kau lupakan." ucap Vincent sambil menggengam tangannya dengan meyakinkan. Dengan sengaja Vincent tidak memberitahu efek mengerikan halusinasi tersebut... gagal jantung yang bisa menyebabkan kematian. Dia tidak ingin Cathy merasa takut lebih dari ini.

"Jadi aku masih belum boleh pulang?"

Vincent tersenyum sedih saat menjawabnya, "Jangan khawatir, aku akan menemanimu disini." sekali lagi Vincent mengelus lembut kepalanya turun ke pipinya dengan rasa sayang yang dimilikinya.

Ajaibnya, hanya kalimat dari Vincent saja, Cathy sudah tidak merasa takut lagi. Dia merasa aman dan damai. Sekali lagi, untuk pertama kalinya dia mengandalkan seseorang. Dan orang itu tidak lain adalah Vincent.

"Vincent.."

"Hm?" tangan Vincent masih melekat di pipinya dengan usapan lembut.

"Kenapa seseorang memberiku obat halusinasi?"

Vincent tidak langsung menjawab dan menurunkan tangannya dari pipinya. Semula Cathy merasa kehilangan saat pipinya tidak merasakan kehangatan tangan pria itu. Namun jantungnya bergetar saat tangan pria itu menggenggam tangannya. Bukan rasa getaran takut seperti saat dia bermimpi buruk, namun getaran yang menyenangkan hingga membuat kedua pipinya merona. Untungnya dia baru menangis dengan keras membuat mata, hidung dan pipinya memerah. Vincent tidak akan bisa melihat perbedaan rona merahnya.

"Aku tidak tahu.. tapi aku akan pastikan hal seperti ini tidak akan terulang lagi."

Kalau Cathy yang dulu pasti akan menunjukkan senyuman sarkasmenya karena omongan tak masuk akal itu. Bagaimana caranya seorang Vincent yang bukan bergerak di bidang kepolisian bisa memastikan dia tidak akan terkena obat aneh lagi?

Tapi Cathy yang sekarang.. saat mendengar suara yang penuh keyakinan dari pria itu membuat hatinya merasa hangat. Dia malah merasa aman terlindungi dengan ucapan pria itu.

Cathy bertanya-tanya sebenarnya apa saja yang terdapat di otak pria itu? Kenapa pria itu sanggup membuatnya tidak bisa menolak kehadiran pria itu baik didalam hatinya maupun di pikirannya?

"Sebaiknya kau kembali tidur."

"Aku sudah tidak mengantuk." bohong Cathy. Dia tidak ingin tidur dan melihat halusinasi yang menyeramkan lagi.

"Kau tidak perlu takut dengan mimpi burukmu. Aku akan menemanimu disini. Dan jika kau melihat mimpi buruk lagi, aku akan membangunkanmu. Ya?"

Cathy tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menurutinya. Cathy kembali berbaring dan merasakan tangannya masih digenggam oleh pemuda itu membuatnya merasa aman.

'Tanganmu hangat sekali.' pikir Cathy yang tidak lama kemudian terlelap dengan tenang.

Cathy sama sekali tidak tahu bahwa dia telah mengutarakan pikirannya membuat jantung Vincent berdegup dengan kencang.

Vincent mengangkat tangan Cathy yang digenggamnya dan membawanya kearah bibirnya. Vincent mengecup punggung tangannya dengan lembut.

Setelah memastikan gadis itu telah tertidur pulas, secara perlahan Vincent melepas genggamannya dan mematikan kembali lampu utama dan hanya membiarkan lampu kecil menyala untuk meninggalkan sedikit penerangan.

Kemudian dia kembali duduk di tempatnya tadi, menggenggam tangan Cathy sebelum akhirnya juga ikut terlelap.

Sebenarnya Vincent sama sekali tidak berencana tidur untuk memastikan jantung Cathy terus berdetak dengan normal. Namun ada seseorang mengeluarkan sebuah gas memenuhi kamar tersebut tanpa diketahuinya.

Gas tidur.

Pintu balkon terbuka dan seorang pria masuk ke dalam dengan mantap menghampiri ranjang Catherine.