Hari Minggu yang sangat dinantikan oleh West bersaudara.. hari dimana mereka akan melakukan ritual piknik mereka di Green Park. Meskipun mereka sudah sangat sering ke tempat yang hanya diisi rerumputan dan taman pasir untuk anak-anak bermain, West bersaudara tidak akan pernah bosan berpiknik disana.
Hanya saja ada yang aneh dengan kakak sulung mereka. Tentu saja Anastasia si gadis terpeka diantara mereka berempat yang menyadari perubahan kakak sulung mereka.
Kakaknya tidak pernah berhenti tersenyum bahkan bersenandung disaat memasak yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya. Tidak hanya itu, sudah beberapa hari ini kakaknya membangunkan si kembar dengan senyuman lebar dan sinar mata ceria.
Yah, kakaknya memang membangunkan mereka dengan sabar tapi tidak pernah dengan tersenyum. Seringkali si kembar akan malas bangun dan minta untuk dibangunkan lima menit kemudian. Hal ini sering membuat kakaknya marah karena si kembar akan terlambat masuk sekolah kalau tidak segera bangun.
Si kembar sudah mulai masuk sekolah sejak hari Senin lalu dan kakaknya membangunkan si kembar dengan ceria. Jika mereka tidak mau bangun, kakaknya akan menggelitik si kembar tanpa ampun hingga mereka bangkit dari ranjangnya.
Hal inilah yang membuat Anna bertanya-tanya; sebenarnya apa yang sudah membuat kakaknya berubah?
Begitu tiba di Green Park, Cathy membeberkan kain besar di rerumputan untuk menjadi alas mereka sebagai tempat duduk.
Cathy membuka keranjang bekalnya sambil bersenandung ria tanpa mengetahui salah satu adiknya memandangnya dengan curiga.
"Kakak, apakah mungkin kak Steve menyatakan perasaannya padamu?" pertanyaan Anna menarik perhatian si kembar yang sibuk memotret sekitarnya dengan menggunakan kamera ponselnya dan langsung memandang kakak sulung mereka dengan antusias.
Sudah lama si kembar sangat menginginkan kakak tercinta mereka menjadi kekasih seorang pria berambut emas yang tampan itu.
"Huh? Kenapa kak Steve menyatakan perasaan?"
"Bukankah tadi pagi yang menelpon kakak adalah Kak Steve, kan?"
Pagi-pagi tadi Steve memang menghubunginya dan suara pria itu agak aneh.
'Apa kau harus ke Green Park? Bagaimana kalau ke Orchid Park saja hari ini?'
'Itu pasti menyenangkan, tapi kami akan menghabiskan waktu empat jam perjalanan. Aku tidak ingin membuat si kembar kecapaian. Besok mereka harus ke sekolah.'
Steve terus berusaha membujuknya supaya hari ini tidak pergi ke Green Park. Hingga akhirnya Steve menyerah karena Cathy bersikeras tetap akan ke Green Park.
Cathy bertanya-tanya ada apa dengan sahabatnya itu? Tidak biasanya pemuda itu melarangnya untuk melakukan sesuatu.
"Sikap kakak akhir-akhir ini sangat aneh.." lanjut Anna membuyarkan lamunannya, "seperti orang yang sedang jatuh cinta."
Mendengar kalimat terakhir adiknya, kedua pipi Cathy merona yang membuat si kembar antusias melihat rona wajahnya.
"Asyik! Kak Cathy dan kak Steve sekarang sepasang!" seru Lina dengan senang.
"Apa? Tentu saja tidak." bantah Cathy dengan tegas. "Kak Steve hanyalah seorang kakak. Tidak lebih dari itu."
"Aaaawww.." seru si kembar dengan sangat kecewa. Mereka bahkan tidak mau menyembunyikan kekecewaan mereka.
Cathy hanya menggelengkan kepala melihat tingkah konyol si kembar. Lain halnya dengan Anna. Dia tidak merasa kecewa mendengar dia gagal menjadi calon adik ipar dari model yang sedang terkenal. Baginya tidak peduli siapa yang akan mengisi hati kakaknya, asalkan pria itu bisa membahagiakan kakaknya dan melindunginya, dia akan menerima hubungan mereka.
Selama ini kakaknya selalu bersikap tegar dan melindunginya serta si kembar. Dia berharap kakaknya bisa membuka diri dan menunjukkan sisi lemahnya pada orang itu. Dia berharap kakaknya bisa menemukan seseorang yang tulus menyayanginya dan melindunginya. Hanya itulah yang diinginkan Anna untuk kakak tercintanya.
"O ya? Kalau begitu siapa orangnya?" tanya Anna dengan nada menginterogasi.
Muncullah wajah Vincent dibayangan Cathy membuatnya merona sekali lagi.
Semenjak reuni mereka diperpustakaan dua minggu lalu, Vincent sering mengajaknya keluar bersama entah untuk menemaninya belanja peralatan tulis atau membeli sebuah pigora atau mengunjungi arena permainan. Dan disaat mereka menentukan ingin makan apa, entah bagaimana caranya Vincent bisa mengetahui apa yang diinginkannya saat itu.
Sebagai contoh, sewaktu mereka merasa lapar dan mencari makan di mall. Ada tiga restoran yang berjejer di lantai teratas mall tersebut. Restoran yang menjual makanan India, kemudian sushi dan Italy. Waktu itu Cathy sedang ingin makan sushi tapi dia tidak ingin memberitahu Vincent karena tidak ingin merepotkan Vincent dengan makan sesuatu yang tidak disukai pria itu.
'Kau mau makan masakan India?' tanya Vincent padanya.
'Hm.. boleh. Terserah kau saja.' jawabnya.
'Bagaimana kalau sushi? Kau suka sushi?'
'Lumayan.' jawabnya pada Vincent tapi di dalam hatinya ia menjawab sangat suka dan ingin makan sushi saat ini juga.
'Baiklah. Kita makan sushi saja kalau begitu.'
Waktu itu Cathy tidak percaya apa yang didengarnya dan rupanya kejadian itu tidak terjadi satu atau dua kali. Di hari-hari berikutnya juga terjadi hal yang mirip.
Misalnya saat memilih sebuah menu makanan yang tertera di buku menu. Dia ingin memilih menu makanan nomor enam, tapi disaat yang sama juga ingin makan yang nomor dua. Dia takut dia tidak bisa menghabiskan dua menu makanan sekaligus jadi dia sangat bimbang dalam memilihnya. Akhirnya pilihannya jatuh pada nomor enam.
'Aku ingin makan yang nomor dua, tapi sepertinya pilihanmu juga menggiurkan. Bagaimana kalau kita saling berbagi?'
Cathy tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya mendengar tawaran itu dan langsung disetujuinya.
Contoh yang lain saat Vincent mengajaknya makan cemilan di stan pinggiran jalan. Disaat dia bingung membedakan botol yang mana berisi mayonais atau saos tomat karena dimatanya warna botol tersebut hampir sama; pria itu duluan yang memberikan jawabannya.
'Yang ini mayonais, yang ini saos barbekyu, yang ini saos tomat. Kau lebih suka yang mana?'
Cathy sempat bertanya-tanya apakah pria itu memiliki kemampuan membaca pikiran orang?
Dan yang lebih membuatnya terkejut adalah dia tidak keberatan ketika pria itu yang selalu membayar makanan mereka. Vincent selalu menolak dirinya mengeluarkan uang sepersenpun untuk biaya makan mereka. Selama ini dia paling tidak suka jika harus berhutang ataupun seseorang membayar apa yang dibelinya, khususnya dari seorang pria. Tapi entah kenapa pria itu berhasil membuatnya menuruti keinginan pria itu dan membiarkan dirinya ditraktir lagi dan lagi.
Tidak hanya itu.. sikap pria itu terlewat manis dan hangat tiap kali mereka bersama. Yah, terkadang pria itu akan menggodanya dan menjahilinya. Anehnya dia merasa tidak keberatan dengan keusilan pemuda itu.
Disaat mereka berpisah, pemuda itu akan sering menghubunginya atau mengechatnya. Terkadang isi chatnya hanya sekedar ucapan selamat pagi atau selamat tidur. Tanpa disadarinya dia menanti-nantikan chat pemuda itu dan pertemuan mereka berikutnya.
Catherine menggeleng-gelengkan kepalanya menyadari perasaannya. Apakah cinta memang bisa membuatnya berserah seperti ini?
"Kakak.. jadi siapa orangnya?" desak Anna yang sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya.
Sebenarnya Cathy sendiri masih belum ingin adik-adiknya mengetahui siapa yang telah mengisi pikirannya selama ini. Lagipula dia tidak tahu bagaimana perasaan pria itu pada dirinya. Jadi dia tidak menjawab pertanyaan adiknya.
Dua hari yang lalu mereka berdua memang bergandeng tangan dan suasana diantara mereka seperti sepasang kekasih. Tapi.. apakah mereka memang sepasang kekasih? Vincent tidak pernah menyinggung soal ini. Bahkan dia juga tidak berani menyinggungnya. Bagaimana kalau dia mendapat jawaban yang tidak diinginkannya? Bagaimana kalau pria itu hanya menganggapnya teman biasa?
Tapi... kenapa dia merasa pemuda itu menatapnya seolah dirinyalah satu-satunya wanita di matanya? Apakah dia boleh mengartikan bahwa pria itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya?
Catherine segera menyingkirkan lamunannya yang tidak jelas dan segera fokus pada adik-adiknya.
"Hari ini aku membuat sandwich kesukaan kalian." Cathy mengambil sebuah sandwich dari keranjangnya dan menyuapkannya pada mulut Anna.
Anna yang cemberut karena kakaknya menolak memuaskan penasarannya hanya membuka mulutnya menyambut sandwich buatan kakaknya.
Cathy tertawa geli saat menyadari adiknya sedang ngambek. Padahal biasanya yang paling tidak bisa menahan rasa penasarannya adalah adik bungsu mereka, Elizabeth.. tapi kenapa sekarang Anna jadi ikut-ikutan tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Ah, gampang sekali. Kita bisa datang langsung ke PHY dan bertanya pada kak Steve langsung." ujar Lizzy membuat Cathy dan Anna mendelik ke arahnya. "Apa salahku? Kalian kok jadi ganas sekali?" tanya Lizzy dengan nada polos.
"Sebelum kita masuk ke sana, pak satpam sudah akan mengusir kita duluan. Lagipula anak dibawah umur dilarang keras masuk ke PHY."
Cathy memandang Anna tidak percaya dengan jawaban konyol adiknya itu. Tidak mungkin satpam PHY akan mengusir mereka karena kebanyakan staf disana sudah tahu siapa mereka. Hanya saja... kak Ririn yang pasti akan marah-marah kalau melihat adiknya datang untuk bermain-main.
"Bukan karena kita dibawah umur. Tapi tante Ririn akan memarahi kita nantinya." kali ini Lina menjawabnya sesuai dengan fakta yang disusul dengan anggukan Cathy menyetujuinya.
"Tapi, setidaknya kita dapat makan gratis dari tante Ririn."
Cathy beserta Anna menggelengkan kepala mereka. Memang benar. Kak Ririn akan mengusir mereka dengan cara mentraktir mereka dengan makanan kesukaan si kembar. Yang pada akhirnya Cathy mengembalikan uangnya pada kak Ririn karena tidak ingin merasa berhutang pada siapapun. Tapi kak Ririn hanya bilang ini hadiah karena dirinya banyak membantu bintang yang dibina PHY dengan merekomendasikan nama mereka. Justru inilah membuatnya semakin sungkan pada manager 'kakak'nya. Jadi tiap kali dia berkunjung ke gedung PHY, dia sudah tidak lagi mengikut sertakan adik-adiknya.
"Tidak perlu kesana, karena kakak dan kak Steve hanya sebatas teman. Ini kenyataannya." sahut Cathy dengan tegas.
Cathy mendecak saat melihat ekspresi manyun dari si kembar. Tampaknya mereka ingin sekali menjodohkannya dengan kak Steve.
"Ahhh, panas sekali hari ini. Panas-panas begini enaknya makan es krim." rajuk Lina.
"Benar sekali." sahut Lizzy menyetujui rengekan saudara kembarnya.
"Baiklah, aku akan membeli es krim."
"Aku akan membantu."
"Tidak perlu. Kau jaga si kembar agar mereka tidak berkeliaran dan tersesat."
"Ishh kakak, kita kan bukan anak kecil lagi." omel Lina membuat Anna dan Cathy tertawa cekikikan.
"Tapi sikap kalian masih seperti anak-anak." sahut Anna sambil bergerak menggelitiki kedua adik kembarnya.
Cathy tersenyum lebar melihat kekonyolan adik-adiknya dan beranjak pergi menuju ke stan penjual es krim terdekat.
Terdapat tiga stan penjual es krim dan satu stan penjual gulali. Setelah menimbang-nimbang, dia membeli gulali manis yang merupakan cemilan kesukaan Anna sebelum membeli es krim cone di sebelah stan gulali tersebut.
"Anna! Nih gulali kesukaanmu." panggilnya dan menyerahkannya pada Anna saat adiknya menghampirinya.
"Kakak yakin tidak perlu bantuanku?"
"Yakin. Sudah sana, nikmati dulu cemilannya sama si kembar."
"Baiklah." dan Anna kembali berjalan ke tempat adik kembarnya yang tidak jauh dari stan-stan penjual makanan ringan.
Cathy kembali ke stan es krim dan memesan empat cone es krim. Yang menjual es krim merupakan seorang pria tua dengan senyuman ramah. Setelah menanyai rasa apa saja yang diinginkan Cathy, pria tua tersebut menyendok es dengan scoop dan menaruhnya di atas cone.
"Nona, warna rambut anda cantik sekali." seru si penjual tiba-tiba membuatnya merasa kurang nyaman.
Meskipun begitu, Cathy hanya tersenyum dengan sabar sambil menunggu es pesanannya selesai.
"Tapi sebaiknya anda mengganti warnanya. Pasti akan lebih cantik lagi. Bagaimana kalau coklat terang atau hitam? Apakah anda tidak berniat mencobanya?"
Cathy mengeluh dalam hati merasa menyesal telah salah memilih stan es krim. Akhirnya dia memutuskan tidak memberi jawaban apa-apa sambil menunggu es krim pesanannya siap dan dia akan segera pergi dari stan ini.
Cathy tidak sabar lagi saat dia telah menerima tiga cone dan sedang menanti cone yang terakhir. Yang membuatnya kesal, pria tua itu tidak berhenti atas ucapannya mengenai warna rambutnya. Dia bahkan sama sekali tidak ingat seperti apa warna rambutnya dan dia juga tidak bisa melihatnya karena kondisi matanya.
"Dengan memiliki wajah seperti itu dan warna rambut khas akan membuat si ular melakukan hal yang sama seperti belasan tahun lalu."
Cathy sama sekali tidak memperhatikan kalimat terakhir, dia hanya menantikan cone terakhirnya dan ingin segera kembali ke tempat adik-adiknya.
Dan saat cone terkahir terarahkan dihadapannya dia menerimanya dengan senang hati lalu mendengarkan suara tajam dari pria tua tersebut.
"Ssstt... Jangan bersuara!"
Cathy menatap pria tua itu dengan bingung sama sekali tidak menyadari gerakan tangan pria tua itu menyuntikkan sesuatu ke tangannya yang terulur untuk menerima cone terakhir. Kemudian terlintas suatu kenangan yang telah lama terkubur di benaknya.
Seorang wanita memasukkannya ke dalam sebuah lemari.. lebih tepatnya wanita itu mengurungnya.
'Sstt.. jangan bersuara.' ucap wanita itu. Kemudian wanita itu berbicara sesuatu yang tak bisa didengarnya. Cathy jelas melihat mulut wanita itu bergerak, tapi telinganya tidak bisa mendengar satupun apa yang diucapkan wanita itu. Lalu wanita itu bangkit berdiri dan menutup pintu kurungannya.
Bersamaan cahaya yag semakin berkurang, sekitarnya juga berubah menjadi gelap. Kedua tangannya menjadi lemas dan keempat cone yang digenggamnya terjatuh ke bawah. Dia merasakan rasa sakit tiba-tiba menyerang kepalanya dan tubuhnya serasa berat. Sedetik kemudian.. dia terjatuh pingsan.