Chapter 2 - Prahara Djipang

"Kau diperalat, Danang Sutawijaya! Tak mungkin aku sampai hati melukaimu, keponakanku sendiri. Pembunuhan Kakang Mukmin bukan atas perintahku. Aku telah mengetahui semuanya. Ada yang tidak beres di lingkungan Keraton Demak di Pajang."

Penangsang dengan tenang menghampiri Danang Sutawijaya. Dibentangkan kedua tangannya lebar-lebar pertanda betapa rindunya ia ingin memeluk anak angkat sepupunya yang gagah itu. Gurunya Sunan Kudus meramalkan bocah ini nantinya akan menjadi pemimpin baru di masa depan. Penangsang berkepentingan agar ia dapat memperoleh pemahaman Islam Puritan agar praktek abangan bisa dihapus dari bumi Demak. Ya, sebagai murid Sunan Kudus, Penangsang memang dikenal penyiar Islam garis putih dan menolak pencampuran budaya dengan agama sebagaimana banyak dipraktekkan pemeluk agama Islam bekas kawula Kerajaan Majapahit. Sekilas raut ragu di wajah Sutawijaya. Namun air mukanya kembali seperti sebelumnya, nanar.

Kedatangan Penangsang dengan tangan terbuka membuat kaki kiri Sutawijaya beringsut satu langkah. Kedua tangan bocah remaja tanggung itu masih memegang erat Tombak Kyai Pleret. Di belakang Penangsang terdengar ringkikan keras Gagak Rimang seolah ingin memberitahukan majikannya bahwa ada bahaya yang mengintai. Akan tetapi semua terlambat.

"Wuut, cras!"

Angin menderu ketika Kyai Pleret mengarah ke lambung Penangsang yang seketika terkoyak senjata sakti Mataram itu. Darah bercucuran dari lambung yang kini memperlihatkan usus yang terburai. Penangsang limbung dan terhuyung tiga langkah ke belakang. Beruntung Gagak Rimang menyangga tubuhnya sehingga tidak terjatuh. Keris Kyai Kober berwarangka cokelat itu dilepaskannya dari sabuk belakang tubuhnya. Usus yang terburai disangganya dengan keris peninggalan Sunan Kudus tersebut.

"Kau keras kepala Danang. Tarik mundur pasukanmu. Jika terburainya ususku ini dapat memuaskan hatimu, biarlah aku mengalah. Segera bentuk tim penelisik tewasnya paman angkatmu Kakang Mukmin. Aku berjanji akan membantumu menyelidiki siapa dalang atas semua ini."

Suara Penangsang tetap tenang. Kebijaksanaan terlihat di wajahnya. Pelajaran tauhid yang didapatnya langsung dari guru sekaligus ayah angkatnya Sunan Kudus, telah mematangkan emosinya.

Sutawijaya sontak terpengaruh dengan ketenangan pamannya yang kini terluka itu. Ia menyeret langkahnya mundur ke belakang ke arah pasukannya yang berbaris berbanjar membentuk benteng. Suasana seketika hening. Kedua belah pasukan yang masih berhadapan itu nampak menahan diri menunggu aba-aba dari pemimpinnya.

"Serang!"

Aba-aba dari arah pasukan Pajang itu memecah keheningan. Suara yang keras itu berasal dari arah pasukan yang dipimpin Ki Panjawi. Seketika pasukan Pajang maju mengejar Penangsang yang masih bersandar di badan Gagak Rimang. Penansang tak punya pilihan lain selain mempertahankan diri. Pasukan yang mengejarnya itu tak mampu menahan langkah pria yang telah memiliki kekuatan batin itu. Pasukan yang mengejarnya terpelanting sebelum mampu menyentuh tubuhnya. Penangsang terus maju ke arah pasukan lawan. Niatnya telah bulat, ia ingin menangkap Danang Sutawijaya untuk menghentikan pertumpahan darah. Langkahnya terhenti ketika Ki Panjawi dan Ki Ageng Pemanahan menghadang langkahnya.

Ki Panjawi melempar bungkusan kain yang belakangan diketahui berisi kotoran bertubi-tubi ke arah Penangsang yang menghalau dengan kedua tangannya. Bungkusan kain hitam berisi kotoran itu pecah berantakan dan beberapa diantaranya mengenai tubuh dan wajah Penangsang.

"Hei Arya Penangsang, lihatlah tubuh dan wajahmu itu penuh kotoran manusia. Aku sengaja mengambil kotoran itu dari penderita penyakit kusta untuk menghinakanmu!"

Suara lantang Ki Panjawi itu langsung menikam kesabaran Penangsang. Emosinya tak dapat dikontrolnya lagi. Diraihnya keris Kyai Kober yang warangkanya masih mengganjal usus yang terburai. Inilah yang dikehendaki Ki Panjawi, membuat Penangsang marah.

"Crat!"

Darah Penangsang kembali tertumpah ke bumi. Kali ini karena kerisnya sendiri, Keris Kyai Kober. Penangsang yang marah, lupa jika keris saktinya itu masih mengganjal ususnya yang terburai akibat dirobek tombak Kyai Pleret. Pria perkasa yang telah memimpin Djipang dengan adil dan bijaksana itu terdorong ke belakang. Sebelum tubuhnya jatuh ke bumi, kuda Gagak Rimang menyelamatkan tubuhnya dan membawanya lari menjauh dari arena pertempuran.

Menghilangnya Gagak Rimang disambut gegap gempita pasukan Pajang, sementara pasukan Djipang yang marah langsung merangsek ke arah pasukan lawan. Seketika perang saudara itu terjadi. Arya Penangsang tewas karena dicurangi lawannya saudara angkat Joko Tingkir.

Pasukan Djipang yang marah bertempur tanpa pemimpin dan tanpa strategi itu jadi korban keganasan pasukan Pajang. Alih-alih balas dendam, pasukan Djipang porak poranda tewas di medan pertempuran dengan gagah berani. Tak ada kata menyerah dalam keseharian pasukan yang ditempa langsung Penangsang itu.

Arya Mataram menyaksikan semua dari kejauhan. Jika saja ia tidak berjanji dengan kakaknya, pasti ia yang akan memimpin pasukan Djipang. Kemarahan dan kesedihannya itu mesti ditelannya sendiri.

"Selamat jalan Kakang. Insya Allah engkau meninggal syahid. Aku pergi ke Palembang memenuhi janjiku padamu!"

Bergegas dipacunya Rindang Penangin, kuda hitam kesayangannya itu menuju Bengawan Sore. Kapal besar itu bertolak meninggalkan Djipang menjemput takdirnya di bumi Sriwijaya Palembang.

(Bersambung)