Hari - hari yang indah selalu mereka lalui bersama dengan penuh kegembiraan, kesibukan belajar dan kejahilan Putra.
Naya dan Abi selalu bersaing dalam merebut gelar juara di sekolah, sedangkan Putra tidak peduli dengan itu semua.
Putra merasa tidak harus ambil pusing tentang itu semua sebab jalan hidupnya telah ditentukan oleh kedua orang tuanya. Pendidikan, karir bahkan mungkin tentang jodoh pun sudah direncanakan oleh orang tuanya. Jadi Putra merasa cukup nikmati saja saat ini dengan sesuka hatinya.
Tanpa terasa ujian kelulusan tiba, semua siswa sibuk melakukan persiapan menghadapi ujian.
Dua minggu kemudian berlalu, ujian telah selesai dan kini saatnya pengumuman kelulusan, hari ini di sekolah sedang di adakan upacara kelulusan. Satu jam kemudian acara yang membosankan tersebut berakhir.
"Abi, ikutlah dengan ku. Ada yang perlu aku beritahukan kepadamu" Naya berbisik kepada sahabatnya itu begitu upacara kelulusan berakhir.
"Tentang apa?" Abi penasaran.
"Ikut saja, nanti kamu juga tahu".
"Jangan berisik, kepala sekolah sedang berkicau" Putra berusaha membuat lelucon tapi tidak mengena.
"Hust..kualat nanti kau! Jelas jelas beliau sedang memberikan nasehat kelulusan" Abi protes.
"Tau nih kemana otak pemuda satu ini, sudah sekolah tiga tahun masih saja nihil" Naya mengejek.
Putra ingin membalas tapi tiba tiba ponselnya berdering.
"Halo..halo..iya sebentar, aku pindah tempat dulu..disini terlalu berisik" Putra pergi ketempat yang lebih sepi.
"Abi, ayo ikut aku"
"Iya..iya.."
Naya membawa Abi masuk ke dalam gedung Olahraga. Abi pun hanya bisa menuruti ajakan sahabatnya itu.
"Ehm...Abi..".
"Ya..".
"Selamat ya atas kelulusannya".
"Terimakasih, selamat juga untukmu Naya".
"Uhm..Abi, sebenarnya aku ingin bilang ini sejak lama, Abi itu selalu menjadi contoh dan panutan yang baik untukku, sehingga aku ingin menjadi seoertimu dan.. aku menyukaimu.." dengan malu - malu akhirnya Naya menyelesaikan kalimatnya.
Abi tersenyum tipis, "Aku juga menyukaimu".
"Ah..benarkah?" Naya merasa sangat bahagia.
"Ya, aku menyukaimu. kamu adalah sahabat terbaikku dan juga Putra" dalam hati Abi berucap maafkan aku Naya, kamu akan lebih bahagia jika tidak bersamaku.
Bunga yang baru saja mekar mendadak layu dan kering hingga tak indah lagi untuk dipandang.
"Maksud akuu..." ucapan Naya sengaja dipotong oleh Abi.
"Ohya..aku lupa ada janji dengan guru pembimbing, maafkan aku Naya tapi aku harus pergi sekarang" Abi coba menghindar.
"Baiklah.." Naya menahan air matanya yang terasa akan tumpah sekuat tenaga.
"Sampai ketemu nanti Naya".
Naya berjalan gontai keluar dari gesung olahraga yang letaknya tidak jauh dari aula tempat diadakannya upacara kelulusan.
"Nay, kamu kenapa? Apa kamu baik baik saja? Apa kamu sakit?" Putra mendadak jadi khawatir.
Naya tidak menjawab, malah dia menangis tersedu sedu di dada Putra.
"Apa yang terjadi? Katakanlah.." Naya masih terus menangis tanpa mempedulikan pertanyaan Putra.
"Ok, tenangkan dirimu. Menangislah sepuasmu" akhirnya Putra pasrah bajunya menjadi basah karena air mata Naya.
Saat dirasa tangisan Naya mereda, Putra coba melihat keadaan Naya dengan menatap wajahnya, Namun Naya malah membenamkan wajahnya di dada Putra.
Putra merasa hatinya seperti di aduk aduk oleh perasaan yang dia sendiri tidak mengerti cara menerjemahkannya. Untuk saat ini dia lebih memilih untuk hanyut mengikuti arus mengalir.
"Putra, tolong antarkan aku pulang".
"Baiklah, tapi jauhkan dulu wajahmu dari dada ku" Putra menahan nafas untuk sesaat.
"Maaf, aku sedang merasa kacau".
"Ah..aku sudah terbiasa dengan keadaanmu yang kacau bahkan dalam keadaan kulitmu yang gosong itu aku dapat menerimanya".
"Dasar!, kapan kamu berhenti menjahiliku?".
"Mungkin jika aku mati"
"Hei! Jaga ucapanmu..karena ucapan itu bisa menjadi doa. Tarik kembali ucapanmu..".
"Ok, tarikkanlah untukku"Putra berkata asal.
"Putra...stop deh bercandanya".
"Baiklah...".
"Jadi diantar pulang nggak?".
"Iya tolong.."
"Tapi hapus dulu air matamu, aku tidak mau dikira telah menyakitimu".
"Kalaupun orang ingin peduli, mereka tidak akan bisa apa - apa jika kau pelakunya. Sebab tidak ada yang bisa menyentuhmu di sekolah ini".
"Kau pikir aku ini hantu? Hingga tidak bisa disentuh?" Putra terperanjat, gila nih cewek becandanya kelewatan, kurang mundur sikit..Putra cekikikan sendiri dengan pikirannya.
"Duh!" Naya menepuk jidatnya sendiri. "Aku lupa kalau lagi bicara dengan kutu IQ jongkok" Naya pura pura kesal.
"Apa kau bilang?" Putra mencubit pipi Naya dengan gemas. "Dasar gadis gosong!".
"Aaaww...ampun, hahahha" Naya mengaduh.
"Ah..syukurlah, akhirnya kau tertawa juga".
"Ehm..terima kasih Putra, walau kau suka jahil padaku tapi sekarang aku tahu..ternyata kau berguna juga" Naya tersenyum lebar memamerkan sederet gigi putih rapi.
Putra tersenyum lega, "Kapan kita sampai rumahmu jika kebanyakan bicara?" Putra berjalan ke arah parkiran meninggalkan Naya yang segera mengejar langkahnya yang panjang.
Di dalam mobil akhirnya Naya menceritakan kejadian yang membuatnya menangis.
"Tadi sewaktu kamu pergi menerima panggilan di ponsel, aku mengajak bicara Abi" Naya coba melihat reaksi Putra.
"Terus aku mengajaknya bicara di gesung olahraga, aku menyatakan perasaanku yang aku pendam selama ini kepadanya" Naya kembali melihat respon sahabatnya itu namun Putra tetap tenang mengemudikan mobil.
"Selanjutnya apa yang terjadi?"
"Abi menolak perasaanku..." Naya mulai berkaca kaca lagi matanya.
"Cup..cup..jangan menangis, masih banyak persediaan cowok di luar sana" Putra menggunakan tangan kirinya untuk mengusap usap kepala Naya.
"Gadis bodoh, gitu saja nangis".
"Perasaan wanita itu lebih sensitif tau".
"Iya..iyaaaa"