Putra menatap Naya tanpa berkedip, Putra membiarkan penglihatannya menikmati pahatan cantik wajah bidadari di hadapannya.
"Putra" panghil Naya pelan.
Putra masih terdiam. Ia tidak menghiraukan panghilan Naya.
"Putra!" ucap Naya memukul pelan dada Putra.
"Hah, apa?" Putra tersentak.
"Apa yang lo lakuin?"
"Gue nggak, ah sorry. Gue nggak bermaksud kurang ajar kok" kata Putra begitu menyadari posisinya. Putra bangkit, ia duduk di tepi ranjang.
"Santai aja, kenapa jadi tegang gitu wajah lo?" Naya mengadu bahunya dengan bahu Putra. Mengalihkan kecanggungan.
"Nggak kok, gue baik-baik aja."
"Nggak bohong?"
"Hemm, Nay. Boleh tanya nggak?" kata Putra ragu.
"Apa?"
"Lo punya pacar?"
"Kok gitu tanyanya?"
"Ya tanya aja. Lo kan sekarang cantik, nggak mungkin para cowok nggak ngejar-ngejar lo."
"Hahaha."
"Kok malah tertawa?" Putra bingung.
"Lucu aja."
"Ah Lo. bukan cuma wajah yang berubah. selera humor lo juga."
"Hahaha iya."
"Iya apa?" tanya Putra tak sabar.
"Ya ada beberapa bagian dari diri gue yang berubah" kata Naya jujur.
"Hah! jadi bener lo operasi plastik?"
"Hei!" Naya memukul lengan Putra. "Enak saja kalau ngomong. Nggak sampai segitunyalah. Lo denger gosip dari siapa kalau gue oplas?"
"Lalu?"
"Gue hanya lakukan perawatan diri aja, ngubah kulit gue yang tadinya lo kata abu gosok, sekarang jadi putih glowing. Kebetulan saat di luar negri gue kenal sama salah seorang designer. Dia kata gue oke, cuma sayang kulit nggak bagus. Nah dari dialah gue belajar merawat diri dan berpenampilan. Cuma itu kan kekurangan gue selama ini?" ucap Naya bangga.
"Hemm, bener juga."
"Bagaimana menurut lo? penampilan gue gimana?" Naya membusungkan dadanya, bergaya sedikit minta penilaian.
"Sempurna, gue seperti melihat bidadari."
"Bullshit!" lagi-lagi lengan Putra kena pukul.
"Ough, sakit tau. Nanti kalau lengan gue patah gimana? lo mau tanggung jawab nikahi gue?" Omel Putra.
"Pppfffffttt apaan sih? suka ngaco deh."
"Serius gue. Mana ada gue tampang-tampang bercanda? Lihat mata gue, serius kan?" Putra menyergap kedua bahu Naya, memandangnya dengan tak berkedip.
Hening!
Naya membeku ditatap seperti itu. benar kata Putra. ia tidak bercanda dengan ucapannya. Hah! hati ini pun berdebar tak karuan, aku merasa sesak. Oksigen di sekitarku terasa menipis. Batin Naya.
"Nih, makan tangan gue" Naya menempelkan telapak tanganya di wajah Putra. "Becanda terus!" keluhnya mengalihkan kecanggungan.
Putra menggenggam tangan Naya, lalu mencium punggung tangannya. Hangat dan lembut bibir Putra terasa di punggung tangan Naya. Begitu lembut, terasa ketulusannya.
Desiran hati Naya meronta, tubuhnya bagai mendapat sengatan listrik dalam jumlah kecil. Samar tapi berarti.
Putra menatap Naya sekali lagi, pandangannya begitu dalam. Putra perlahan mengarahkan tangan Naya ke dadanya, menempel tepat di sisi luar jantungnya. Sehingga Naya dapat merasakan debaran jantung Putra secara nyata. Bola mata Naya bergetar. Naya bergeming.
"Gue serius dengan ucapan ini, gue nggak pernah main-main dengan lo. Gue sungguh mencintai lo, bahkan saat mengetahui lo mencintai Abi saat itu. Hingga sekarang cinta gue tak pernah berubah buat lo" kata Putra sungguh-sungguh.
Astaga Putra membuat pernyataan? Pernyataan yang jujur membuatku bingung. Pernyataan yang sulit untuk aku jawab. Aku pernah kehilangan persahabatan dengan Abi karena aku menyatakan cinta, kali ini aku tidak mau kehilangan persahabatanku lagi. Aku masih terlalu takut untuk berhubungan dengan kata yang bernama cinta. Kekecewaan Hati ini yang pernah mencintai Abi masih teramat membekas hingga saat ini. Maafkan aku Putra, mungkin hanya waktu yang mampu menyembuhkan kecewa di hatiku ini.
"Gue ..." kata Naya bergetar.
"Sstttt ..." Putra menempelkan telunjuknya di bibir Naya. "Lo nggak harus jawab sekarang. Lo bisa datang ke gue saat lo sudah siap. Gue hanya ingin lo tau perasaan gue ke lo. Gue lega sekarang. Setelah hampir empat tahun, akhirnya gue bisa katakan ini ke lo" Putra tersenyum.
"Makasih Put, lo memang terbaik. Gue beruntung punya lo."
"Gue juga beruntung kenal lo. Mulai sekarang jangan pernah sungkan lagi ke gue. Mulai sekarang Lo bisa katakan apapun yang lo butuhkan atau yang lo mau, gue selalu siap untuk lo."
"Ok, thank you so much" Naya memeluk Putra.
Naya merasa lega, ia tidak harus kehilangan persahabatannya dengan Putra, mungkin untuk saat ini entah apa yang akan terjadi suatu hari nanti. Naya hanya bisa berharap semoga hubungan baiknya dengan Putra bisa abadi.
Brak!
Fiza membuka pintu kamar Naya dengan kasar. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
"Itik buruk rupa! Cepet turun. Mama menunggu di bawah" kata Fiza tanpa adab, seperti lagi nyuruh pelayan saja.
Tatapan tajam Fiza penuh kebencian. Fiza pergi begitu saja, tanpa berkata lebih. Sepertinya ia sedang buru-buru.
"Kenapa dengan dia? Aneh" gumam Putra.
"Sudah, kita turun saja."
"Nay, gue nggak suka kak Fiza bersikap seperti itu ke lo. Sekali-kali lo harus lawan, biar dia nggak seenak hidup dia sendiri. Lagi pula lo kan adiknya, masa dia begitu?" Putra nggak terima.
"Sudah. Gue sudah terbiasa kok. Kak Fiza memang begitu sejak kecil."
Putra menghela nafas berat, ia lalu mengusap lembut puncak kepala Naya. Begitu terasa ketulusan kasih sayangnya Putra kepada Naya. Sayang, Naya sudah terlanjur kecewa akan cinta.
Naya turun bersama Putra, Mama Vera dan Kak Fiza sudah menunggu dengan tidak sabar di bawah.
"Cepat Naya" kata Vera.
"Ada apa Ma?"
"Kita harus segera berangkat, ayo?" Ajak Vera.
"Iya, cepat sedikit kenapa? Sopir sudah nunggu tuh" omel Fiza.
"Kita mau kemana?" tanya Naya penasaran.
"Ikut saja" kata Vera, wajahnya sudah kusut.
"Biar Naya ikut dengan saya. Kami bisa mengikuti dari belakang."
"Hei!" Fiza angkat bicara, tapi segera dihentikan oleh Vera. "Ma?" Fiza terkejut. Vera hanya mengedipkan mata.
"Baiklah, kalian bisa mengikuti mobil kami dari belakang" ucap Vera.
"Ada apa ini?" tanya Naya cemas.
"Kita ikuti saja mereka. Nanti lo juga tau. Semuanya akan baik-baik aja. ok?" kata Putra menenangkan.
"Ok."
Mobil yang ditumpangi Vera dan Fiza berada di depan, sementara Putra dan Naya di belakang. Naya tidak tenang, pikirannya penuh dengan tanda tanya.
"Perasaan gue nggak enak. Ada apa ya?" ucap Naya.
Putra menggenggam tangan Naya menggunakan tangan kirinya. "Tenang ya? percaya deh, semua pasti baik-baik aja. Kalaupun tidak baik, gue ada di samping lo. Lo bisa andalin gue" kata Putra memberi semangat.
Walaupun Naya tetap cemas, tapi dia menghargai usaha Putra. Naya harus sedikit membunyikan kekhawatirannya. Semoga semua baik-baik saja, seperti kata Putra.
"Hemm, gue ngerti."
Apa yang sebenarnya terjadi? Kemana Vera membawa Naya? Apakah suatu saat nanti akhirnya Naya menerima cinta Putra?