Fisa membelalakkan matanya hingga nyaris terkeluar dari tempatnya. Ia tidak percaya dengan penglihatannya. Bagaimana bisa si itik buruk rupa berubah secantik ini dari mana dia belajar tentang ini semua? Apa mungkin Papa diam-diam memberikan uang agar Naya bisa operasi plastik? Astaga, aku tidak percaya ini.
"Kau operasi plastik ya? Dimana? hah tak kusangka kau tertarik juga dengan penampilan. Aku pikir tampang bulukmu dulu itu sudah mendarah daging."
"Kak, bagaimanapun juga aku ini adikmu. Mau aku jelek atau cantik seperti kakak. aku tetap bagian dari keluarga ini dan itu tidak akan berubah sampai kapanpun."
"Wow, si itik buruk rupa sekarang pandai bicara juga ya? Hah, tidak sia-sia kau sampai belajar ke luar negri" balas Fisa yang tidak ingin kalah dari adiknya.
Sial, dia sudah berani menantangku sekarang. Baru juga cantik sedikit sudah belagu. Lihat saja, aku tidak akan membiarkanmu senang dengan ini semua.
"Maaf kak, aku tidak berminat untuk bertengkar dengan Kakak."
"Sudah-sudah, Naya sebaiknya kamu istirahat. Naiklah ke kamarmu, nanti aku suruh salah seorang pelayan untuk membantumu membersihkan kamar."
"Iya, Ma" Naya mengambil kopernya untuk dibawa ke kamarnya.
"Biar aku bantu bawakan" kata Putra yang sudah mengankat koper Naya.
"Makasih" kata Naya.
"Eh tunggu. Putra, kamu disini saja. Biarkan si itik buruk rupa itu membawa kopernya sendiri" cegah Fisa yang tidak senang melihat Putra selalu dekat dengan Naya.
"Sudah biarkan" kata Vera menghentikan Fisa.
"Ma ..." protes Fisa.
"Tidak apa-apa, biarkan. Jangan ribut-ribut, adikmu baru saja pulang, biarkan dia istirahat. Lagipula papa tidak akan suka jika melihat kalian bertengkar."
"Ah mama nggak asik!" Fisa menghentakkan kakinya ke lantai lalu pergi menuju kamarnya.
"Hemm, seperti anak kecil saja" gumam Vera melihat tingkah Putri sulungnya. "Kau bantu Naya bawa kopernya, terima kasih Putra" kata Vera.
"Iya tante."
Putra membawa koper Naya dan berjalan dibelakangnya menuju kamar yang sudah lama ia tinggalkan.
"Apa kau senang?" tanya Putra disela perjalanan mereka berdua menaiki tangga.
"Kenapa?"
"Karena tante membelamu di depan kak Fisa."
"Ya, aku merasa lega. Setelah sekian lama, ini kali pertama mama membelaku di depan kak Fisa. Masalah kecil sih, tapi aku senang. Sebab mama tidak pernah melakukan ini kepadaku sebelumnya."
"Aku harap untuk seterusnya tante bisa memperhatikanmu juga. Bukankah seharusnya begitu? karena kalian sama-sama anak yang lahir dari rahimnya."
"Ya begitulah, sayangnya aku terlahir buruk rupa."
"Hei, kamu cantik sekarang. Apa kau lupa?"
"Aku senang mama berubah baik kepadaku sekarang tapi jika itu karena penampilanku ini, aku kecewa."
"Hei semangatlah, aku rasa tante Vera punya alasan khusus. Positif thinking, ok?" Putra mengacak rambut Naya.
"Ok" kata Naya tersenyum. "Tapi jangan acak-acak rambutku, jadi jelek kan?" protes Naya menepis tangan usil Putra, ia membalas dengan mencubit pinggang Putra tapi ia segera menghindar.
Naya merasa sangat beruntung mempunyai sahabat seperti Putra, ia selalu bisa membuatnya tersenyum. Berpikir positif terhadap hal-hal yang kurang berpihak kepadanya. Kalau tidak ada Putra, pasti Naya merasa tidak sanggup melanjutkan hidupnya. Putra adalah malaikat bagi Naya.
Sampai juga, Naya berdiri di depan kamar dengan daun pintu berwarna gold, warna kesukaannya tapi ia tidak pernah bisa memakai warna tersebut dalam tubuhnya. Hemm ya karena masa lalu Naya yang memiliki kulit coklat seperti terbakar matahari, warna yang tidak bagus bagi gadis muda pada jamannya.
"Ayo buka, kok malah bengong" ucap Putra membuyarkan lamunan Naya.
"Iya, sabar dong. Kau ini menggangguku saja, aku kan juga butuh mengingat masa lalu" protes Naya sambil membuka pintu kamarnya.
Masih sama, tidak ada perubahan sama sekali. masih tetap rapi dan bersih. Aku rasa papa selalu menyuruh pelayan untuk membersihkan tempat ini.
"Wah, kamarmu tetap sama. Tidak ada yang berubah sedikitpun."
"Yap, aku juga merasa begitu."
Naya melihat kesekeliling ruangan, kamar yang amat ia sukai. Kamar inilah yang menjadi tempat satu-satunya yang paling nyaman dalam rumah besar ini bagi Naya. Naya pernah sewaktu usia sekolah dulu berdiam diri seharian di kamar karena kesal dengan mamanya yang selalu membela Fisa, menomor satukan kakaknya itu.
Naya yang merasa lelah lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan senyuman.
Aku kembali, katanya dalam hati.
Bruuk!
Putra juga merebahkan diri di samping Naya, membuatnya tersentak tapi tidak berkomentar. Naya membiarkan Putra berbaring di sampingnya, malah Naya menarik lengan Putra dan merentangkannya. Naya menggunakan lengan Putra sebagai bantal. Putra sama sekali tidak keberatan.
"Aku pinjam" kata Naya tanpa melihat Putra.
Putra terkejut dengan sikap Naya, tapi tidak menolak. Ia lantas tersenyum senang, lama mereka tidak berjumpa ternyata tak merubah sikap Naya kepadanya, masih seperti dulu. Putra merasa lega, inilah Naya yang ia kenal. Periang, pandai, tegar, berani dan percaya diri meski punya kekurangan. Putra tersenyum semakin lebar lalu menatap Naya dari samping.
Naya bagai bidadari, aku seperti sedang menjaga bidadari di sampingku. Abu gosok ini sudah menjelma menjadi bidadari yang mampu menggetarkan dadanya. Putra mengingat kembali saat pertama melihat Naya setelah lama tidak bertemu, waktu di bandara tadi. Naya berjalan dengan anggun memakai dress kuning dengan rompi berbahan jeans lengan pendek sambil menyeret koper ukuran kecil, sangat menawan. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menggerakkan tubuhnya. Putra menelungkupi Naya kemudian, membuat mata indah Naya membola.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Naya.
Aahhh getaran-getaran apa tuh? ciyee ...
Putra kelihatnnya mulai menunjukkan perasaannya nih.