Chereads / Tentang (Aku) yang Lain / Chapter 5 - BAB 4

Chapter 5 - BAB 4

Kembali ke rumah yang membuatnya tidak nyaman, selama perjalanan pulang Charity hanya memandang keluar jendela sambil berharap rumah itu menghilang. Ya ... kalau rumah itu menghilang, Charity tidak perlu lagi kesana dan menghadapi misteri yang masih tidak bisa diterima akal.

"Sebentar lagi ulang tahunmu, apa mau mengadakan pesta kecil-kecilan? Kamu boleh mengundang teman-temanmu kesini, aku bisa mengatur masalah tiket mereka."

Charity menghembuskan nafas berat, bisa-bisanya Ayah memikirkan pesta ditengah dilemanya tentang rumah itu. Usianya tepat 18 tahun sebulan lagi, tapi apa bisa Charity bertahan dengan semuanya hingga bulan depan? Kalau dia tidak mengikuti takdirnya, apa dia akan mati?

"Charity, kamu sedang dalam masalah ya?" Vergo tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya lagi. Sudah cukup selama ini ia diam melihat sikap dingin putrinya.

"Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir," ujar Charity pelan, masih menatap keluar jendela.

"Apa kamu benar-benar tidak suka pindah ke rumah itu? Kenapa? Di rumah lama juga kamu tidak terlihat nyaman dengan teman-temanmu yang sering datang ke rumah. Kufikir kamu lebih suka sendirian."

Charity melirik ayahnya sedikit sebelum kembali menatap keluar meski yang ia lihat hanyalah hutan sepanjang perjalanan. Rumah itu ternyata berada di pelosok sekali. Ia ragu, adakah manusia lain yang pernah melihat rumah itu selain mereka yang memiliki takdir?

"Aku suka menyendiri, bukan berarti aku ingin hidup sendirian. Ayah tidak tahu perbedaannya?"

"Kamu tidak ingin hidup sendirian? Kenapa kamu berfikir akan hidup sendirian saat pindah ke rumah baru kita? Apa aku terlihat sangat tua, lemah, dan tidak punya banyak waktu di dunia?"

Charity tidak bisa menahan rasa terkejut mendengar Ayah melontarkan kalimat itu. Ayah ... terdengar marah?

"Bukan begitu maksudku. Ayah tahu sendiri kalau kita tidak punya tetangga, rumah itu berada sangat jauh dari jangkauan manusia. Aku tidak pernah lihat ataupun dengar ada kendaraan yang lewat. Apa kita benar-benar bisa tinggal di tempat seperti itu?"

"Jadi, kamu takut tidak akan dapat jodoh kalau tinggal di tempat yang tidak ada manusianya?"

"Ayah tahu bukan itu yang kumaksud."

Charity kembali memandang pohon-pohon yang seolah bergerak cepat seiring kecepatan mobil yang dilajukan ayahnya. Sedang Vergo tidak bisa menghentikan tawanya melihat wajah kesal Charity.

***

Charity berniat langsung masuk ke kamar setelah mengisi botol air minumnya yang sudah kosong, tapi matanya tidak bisa berhenti menatap dispenser yang lebih kosong. Vergo memasuki dapur dengan tergopoh, tangannya menenteng begitu banyak sayuran dan bahan makanan lain. Charity menghembuskan nafasnya perlahan, mencoba tenang. Seingat gadis itu, Ayah selalu dipanggil Profesor oleh rekan-rekan kerjanya, tapi ia tidak tahu bahwa itu hanyalah julukan saja. Bagaimana Charity bisa punya Ayah secerdas Vergo?

"Kenapa beli sayuran sebanyak itu?" Charity benar-benar berharap lelaki dihadapannya ini tidaklah secerdas dugaannya.

"Seharusnya kamu tidak perlu bertanya begitu. Memangnya tidak tahu ini untuk apa? Ini adalah bahan makanan untuk kita selama satu bulan."

Sesuai dugaan, Ayah memang sangat cerdas. Charity merasa bersyukur tidak mewarisi kecerdasannya. Gadis itu melangkahkan kaki menuju kamarnya, tidak mau ikut pusing memikirkan Ayah yang bahkan masih tidak menyadari apapun.

"Ayah ... kau tidak lupa kalau rumah ini belum ada listrik, kan? Sayuran itu akan disimpan dimana kalau lemari pendingin kita belum bisa digunakan? Ayah yakin itu akan bertahan sampai minggu depan saat listriknya dipasang? Oh ya, air minum kita juga habis."

"Ya ampun ... kenapa kamu baru bilang sekarang?"

"Sebelum kita pergi kemarin, aku mengingatkan semuanya. Aku juga sudah berikan catatan tentang yang harus Ayah beli."

"Kalau begitu, aku akan cari minimarket terdekat untuk beli airminum dan makanan yang bisa sedikit tahan lama. Kamu tidak mau ikut?"

Charity menggeleng dan kembali melanjutkan langkahnya. Tubuhnya terlalu lelah untuk melihat hutan sepanjang perjalanan lagi. Minimarket terdekat ada sekitar limabelas kilometer dari tempat ini. Huft ... Charity hanya berharap ayahnya tidak kemalaman dijalan.

"Charity, aku pergi dulu. Akan kuusahakan pulang sebelum jam tujuh malam."

***

Sudah jam delapan malam dan Ayah belum kembali juga. Charity meninggalkan kamarnya dan menyalakan semua lilin di rumah. Ini pertama kalinya ia sendirian di tempat ini. Entah kenapa, gadis itu merasa ada seseorang yang terus memperhatikannya ketika sedang menyalakan lilin. Suasananya terasa lebih horor dari novel atau film yang sering ia tonton.

Seseorang berdiri tepat dibelakangnya. Charity berusaha menenangkan detak jantungnya sendiri, kakinya melangkah menuju dapur dengan hati-hati. Tapi bayangan seseorang itu terus mengikutinya tepat dibelakang. Charity tidak boleh langsung menoleh dan memeriksa tanpa persiapan, apalagi ia sendirian di tempat ini. Setidaknya ia harus terus melangkah ke dapur, ada pisau tajam yang bisa digunakan untuk senjatanya.

Hilang! Charity menghembuskan nafas lega ketika bayangan itu hilang, tepat saat tangannya menggenggam pisau. Mata hijaunya memperhatikan keadaan sekitar dengan teliti, tapi tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Ini kedua kalinya bayangan itu tiba-tiba muncul dibelakangnya dan menghilang begitu saja.

"Siapa kau? Apa ada orang disini?" Hening, angin yang datang entah darimana membuat tengkuk Charity bergidik.

"Tolong ... "

Suara yang terdengar samar-samar menyiutkan nyali gadis berwajah oval itu. Jelas sekali itu suara seorang wanita.

"Tolong ... "

Charity menelan ludah saat menyadari suara perempuan itu terdengar begitu lemah dan merintih. Semakin membuatnya ngeri karna suara itu berasal dari halaman belakang. Darimana itu? Kolam penuh lumpur atau hutan berkabut?

"TOLONG AKU!!!"

Seorang wanita tiba-tiba berdiri beberapa centimeter dari hadapan Charity, wajahnya penuh darah dan luka. Menatap tepat di manik mata Charity dengan mata yang juga mengalirkan darah.

***

Charity membuka kedua matanya dengan nafas terengah saat seseorang mengguncang tubuhnya. Langit-langit kamar yang remang menjadi pemandangan pertama yang terlihat.

"Ada apa, Charity? Kamu mimpi buruk?" Vergo melihat putrinya yang masih terlihat terguncang dengan khawatir.

"Ayah? Kenapa aku ada di kamar? Apa yang terjadi? Aku lihat seseorang, dia menatapku dengan marah dan seluruh tubuhnya penuh luka. Dia juga ... "

"Tenanglah ... tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bersamamu."

Charity memeluk ayahnya dengan erat. Rasa takut yang begitu besar masih menggelayutinya, sedikit bingung dengan keadaannya sekarang. Ada apa sebenarnya? Kenapa ia tiba-tiba berada di kamar? Apa itu adalah sebuah mimpi? Lagi?

"Maafkan aku, Charity. Mulai sekarang, aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Karna kamu sudah bangun, bagaimana kalau kita segera pergi dari sini?"

"Kenapa? Ada apa?" Ini pertama kalinya Charity melihat Ayah merasa sangat khawatir hingga menangis. Mata bulatnya juga ikut berembun. Jadi, semua itu bukanlah mimpi? Lalu siapa perempuan itu? Dimana dia sekarang?

"Aku benar-benar tidak tahu ada psikopat di rumah ini, tolong maafkan aku meninggalkanmu sendiri."

Charity melepas pelukannya dengan terkejut. Psikopat? Apakah maksudnya ... wanita itu adalah manusia? Bukan, Charity yakin sekali perempuan itu bukan manusia.

Bagaimana mungkin, tubuh penuh luka dan berdarah itu ... bahkan matanya juga mengalirkan darah bisa menjadi seorang manusia?

"Aku kembali sekitar jam sembilan malam, dan langsung menuju dapur untuk meletakkan semua barang yang baru kubeli. Dan ... aku menemukanmu pingsan di lantai dapur, dengan banyak darah mengalir dari telapak tangan kirimu, dan pisau yang berada tak jauh dari tempatmu. Juga ada banyak tulisan 'Tolong Aku' di dinding, sepertinya ditulis menggunakan darah. Aku ingin menyelidikinya, tapi ... "

Charity tidak tahu harus berkata apa mendengar penjelasan Vergo, semuanya terlalu membingungkan. Jadi, dia pingsan setelah tiba-tiba berhadapan dengan perempuan itu? Lalu tangannya ... Charity baru menyadari telapak tangan kirinya terasa begitu nyeri. Airmatanya tidak bisa terbendung melihat tulisan yang kini terdapat disana. 4018. Empat angka itu tertulis jelas di telapak tangan kiri Charity.

"Apa tulisan itu masih ada? Aku ingin melihatnya langsung," ujar Charity tegas dan berlari keluar menuju dapur.

Lagi-lagi gadis itu harus merasa kecewa dengan yang dilihatnya. Tidak ada yang berubah disana, semuanya rapi dan bersih. Lalu kemana tulisan itu?

"Itulah masalahnya, Charity. Saat aku kembali kesini setelah melakukan pertolongan pertama pada tanganmu, tulisan itu sudah tidak ada. Bersih sama sekali, seolah tidak ada apapun sebelumnya."

Ya ... itu jelas bukan pekerjaan manusia. Bagaimana mungkin bisa membersihkan noda darah dengan begitu cepat? Charity kembali menatap telapak tangannya dan merasa tidak asing dengan empat angka yang tertulis disana. Ia yakin pernah melihatnya disuatu tempat, tapi dimana?

"Charity, sekarang bisakah kamu ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Aku sempat sangat khawatir karena kamu tidak sadarkan diri selama satu minggu."

Satu minggu? Charity memegang kepalanya yang terasa semakin sakit. Selama itukah ia tidak sadar? Lalu ...

"Aku pingsan selama satu minggu? Bagaimana dengan listriknya? Apa sudah dipasang?" Charity tidak bisa menghentikan pertanyaan pertama yang muncul di kepalanya. Tapi sepertinya ada yang tidak beres.

"Ehem ..., Charity, sebaiknya kamu duduk dulu. Aku akan siapkan makanan."

Melihat ayahnya yang langsung sibuk atau lebih tepatnya berpura-pura sibuk membuat gadis itu paham situasinya. Kali ini, entah alasan apalagi hingga listriknya belum dipasang. Manik hijau itu kembali memperhatikan tulisan di telapak tangannya. Apa maksudnya? Siapa wanita itu? Mungkinkah Mercy? Ia tidak akan tahu apapun kalau hanya diam.

Karena ia tidak mau menjalani takdirnya untuk rumah ini, itukah alasan wanita itu muncul dan bahkan membuat ukiran seperti itu ditangannya? Charity melirik Vergo yang sedang memasak dan melangkah perlahan meninggalkan dapur. Tidak ada cara lain kecuali pergi ke halaman belakang dan mencari surat yang ditinggalkan Mercy.

Mungkin petualangannya di halaman belakang akan sedikit lama, Charity memutuskan untuk memakai syalnya dan membawa Diary milik Mercy.