Lelaki itu ... Railen, menghembuskan napas panjang dengan tatapan sendu. Kenapa tidak masuk dan malah duduk di sini? Andai Charity bisa menanyakan itu.
Gadis itu memandang Railen lama, menikmati setiap waktu yang terlewat tanpa merasa bosan. Garis tegas dan tatapan tajam Railen seolah jadi hal luar biasa yang baru pertama kali dilihat, mengabaikan detak jantungnya sendiri yang berdegub aneh. Charity merasa wajahnya menghangat, terlihat merona.
"Hei!" Gadis itu terkesiap saat tiba-tiba seorang anak lelaki berumur sekitar tujuh tahun melambaikan tangan di depan wajahnya.
"Apa kau bisa melihatku?" Tanya anak itu menatap lekat mata Charity, tubuhnya terlihat transparan seperti dirinya.
"Apa kamu ... hantu di masa ini?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja, mengingat harusnya tidak ada yang bisa melihat keberadaan Charity di tempat ini.
"Tentu saja bukan! Namaku Railen De Leonard, masih hidup pastinya." Manik hijau Charity menatap bergantian anak di hadapannya dan lelaki yang duduk di samping kanan, baru menyadari bahwa wajah mereka terlihat begitu mirip.
"Kenapa ... ada Railen kecil di sini?" Gadis itu mulai merasa bingung, dengan cepat membuka Diary milik Mercy tapi tidak menemukan tulisan tentang pertemuannya dengan anak lelaki yang mengaku sebagai Railen.
"Ini pertama kalinya aku kesini," ucap Railen kecil dengan cepat melihat gadis di hadapannya terlihat kebingungan, "aku hanya ingin memeriksa sesuatu." Lanjutnya dengan ekspresi sedih tercetak.
"Bagaimana caramu ke tempat ini? Bukankah ini adalah waktu dimana usiamu harusnya dua puluh tahun?"
"Aku membaca salah satu buku di perpustakaan, dan menemukan cara pergi ke masa depan meski hanya sekali. Aku hanya ingin mengetahui sesuatu, dan sepertinya sudah mendapatkan jawaban yang jelas." Penjelasan singkat dan janggal yang diucap Railen kecil sama sekali tak bisa dimengerti.
"Aku tidak bisa memanggil senjata jiwaku meski sudah berusia tujuh tahun," ujarnya yang membuat Charity terkejut, memperhatikan lelaki di samping yang terlihat sedih. Apa jangan-jangan ...
"Mulai didatangi banyak pertanyaan apakah aku benar-benar seorang Leonard? Mengingat Aleva sudah bisa memanggil senjata jiwanya sejak usia lima tahun. Aku datang ke sini untuk membuktikan yang dikatakan Ayah, bahwa saat aku lebih dewasa, pasti aku juga akan bisa melakukannya." Anak itu menghembuskan napas, menenangkan pikirannya sendiri yang kacau.
"Tapi, melihat lelaki ini hanya duduk termenung dan bukannya masuk, sudah cukup memberiku jawaban bahwa sampai usiaku dua puluh pun, aku tetap tidak punya senjata jiwa."
Charity kembali melihat bergantian wajah Railen kecil dan yang duduk di sampingnya, sama-sama memasang raut sendu. Tidak bisa memanggil senjata jiwa, ya? Seberapa menyedihkan hidup seorang Leonard yang tidak punya penyempurna kekuatan?
"Bukan tidak punya, hanya belum bisa memanggil." Railen menatap Charity masih dengan ekspresi sedih, tercetak rona kemerahan di wajahnya melihat gadis bersyal merah itu menampilkan senyum.
"Aku yakin, suatu saat nanti, kamu akan temukan cara memanggil senjata jiwamu sendiri. Mungkin sekarang belum tahu caranya, tapi pasti akan datang saat dimana kamu menggunakan senjata jiwa untuk melindungi Zeedhania. Bukankah kamu calon pemimpin berikutnya?"
"Apa kau hantu di masa ini?" Pertanyaan yang tadi dilontar Charity malah berbalik padanya, membuat gadis itu lagi-lagi tersenyum.
"Tentu saja bukan. Aku masih hidup, dan ada beberapa alasan yang membuatku tidak bisa mengatakan kenapa tubuhku terlihat begini. Oh iya, namaku Charity Deville, delapan belas tahun, dan ...,"
"Jatuh cinta padaku?"
Suara tawa keduanya memenuhi koridor yang sepi dan gelap, membuat perasaan Charity jadi begitu lebih tenang untuk menghadapi takdirnya sendiri. Tubuh Railen kecil terlihat memancarkan cahaya, membuat keduanya menghentikan tawa.
"Sepertinya aku akan kembali ke waktuku sendiri," ucap Railen kecil sambil tersenyum, "terima kasih sudah membuatku lebih tenang, Charity. Bisakah kita ... suatu saat nanti bertemu lagi?"
"Tentu saja! Kita pasti akan bertemu lagi." Gadis itu balas tersenyum, kemudian memberikan gulungan berisi lukisan wajahnya pada anak itu.
"Pastikan kamu mengenaliku saat kita bertemu lagi, ya?" Railen terlihat bahagia saat tahu gulungan yang diberikan berisi lukisan wajah Charity.
"Pasti! Kau akan jadi satu-satunya wanita yang akan aku cintai di masa depan, Charity. Sampai jumpa."
Wajah gadis berambut gelombang itu memerah, terus menatap lekat Railen kecil dengan senyum terpatri sempurna sampai tubuh itu benar-benar menghilang. Charity mengalihkan pandangan ke arah lelaki berwajah tegas yang duduk di sampingnya, sebuah senyum akhirnya tercetak di bibir Railen.
"Akankah kamu benar-benar mengingatku, Railen?"
***
"Ayah tidak akan ikut ke perbatasan, kan?"
Charity terus mengikuti langkah panjang dan tergesa dua orang yang baru dikenalnya beberapa jam. Mendengarkan setiap informasi yang bisa menjadi acuannya untuk segera menyelesaikan misteri rumahnya sendiri.
Sekitar dua minggu lalu, gadis berwajah oval itu terpaksa mengikuti sang Ayah, Vergo Deville, untuk pindah ke rumah yang jauh dari jangkauan manusia. Berada di tempat antah berantah, membuat gadis delapan belas tahun itu terus merasa kesal. Hingga kejadian demi kejadian tidak masuk akal mulai membuatnya mencari tahu lebih banyak tentang rumah berusia entah ratusan atau ribuan tahun, dan menemukan misteri masa lalu yang belum selesai.
Gadis itu juga sebenarnya belum tahu apa yang terjadi di Zeedhania hingga harus mengorbankan begitu banyak anak perempuan untuk menyelesaikan ceritanya. Dan ... kenapa harus seorang gadis?
"KELUAR KAU, LEONARD!"
Charity terkesiap saat sebuah suara membahana di seluruh rumah, aura kuat yang mengerikan membuat gadis itu bergidik. Siapa ...? Itu jelas sekali suara seorang wanita.
"Aku pergi lebih dulu," ucap Railen kemudian menghilang begitu saja, membuat Charity kembali menganga. Bagaimana ...,
Aleva segera berlari menyusuri koridor yang tadi mereka lewati, menaiki anak tangga dengan cepat dan kembali pada perpustakaan yang terlihat jauh berbeda dari rumah yang dikenal Charity. Gadis bersyal merah itu terus mengikuti Aleva keluar dengan napas terengah. Jari-jari lentik gadis itu segera membekap mulutnya sendiri, melihat betapa banyak mayat manusia berpakaian seragam pelayan bergelimpangan. Semuanya terlihat seperti tulang terbungkus kulit, seolah energi dari tubuh mereka tersedot habis.
Tidak ada siapapun yang masih hidup, mengerikan. Charity menatap Aleva yang menggenggam erat senjata jiwanya, sebuah cahaya hijau memancar bersama darah yang mulai menetes dari manik merah wanita itu. Kemarahan menguasai Aleva, membuat gadis yang mendekap erat dua buah buku melangkah menjauh, bulu romanya bergidik.
Napas dihembuskannya kuat saat Aleva melesat cepat tanpa jejak, meninggalkan Charity yang jatuh terduduk. Gadis itu mendongak saat dirasakan ada seseorang berdiri tidak jauh darinya. Seorang lelaki setengah baya, menggenggam erat panah dan busur di tangan. Kalau tidak salah, yang punya senjata jiwa seperti itu adalah Ayah Aleva, kan? Pemimpin Zeedhania saat ini.
"Tarech sialan!" Kata umpatan keluar dari mulutnya ketika lelaki itu jatuh terduduk, memuntahkan darah kental kehitaman.
"Wah ..., seorang pemimpin Leonard mana boleh berkata kasar seperti itu." Sebuah suara berat memenuhi indera pendengar Charity, memupuk rasa takut yang menjalar karena suara itu tak berwujud.
"Tunjukkan dirimu, Tarech! Bermain belakang seperti ini membuatmu terlihat lemah karena tidak berani menghadapiku langsung."
"Padahal yang terlihat tidak berdaya sekarang adalah kau, Leonard."