Chereads / Tentang (Aku) yang Lain / Chapter 11 - BAB 10

Chapter 11 - BAB 10

Charity kembali melangkahkan kaki memasuki rumah, mengotori lantai dengan lumpur yang dibawa oleh tubuhnya. Gadis delapan belas tahun itu segera mengambil kedua buku dan syal merah yang terletak di meja ruang tengah dan memutar langkah menuju kamarnya sendiri. Berhenti tepat di depan pintu dan berbalik menatap tajam Frederick yang sejak tadi ada di belakangnya.

"Tunggu di sini dan jangan pernah berani masuk kalau tidak ingin mati!" Kalimat terakhir Charity sebelum memasuki kamar dan menutup pintu dengan kasar. Lelaki dengan luka goresan di pipi kanan itu hanya menghembuskan napas, melangkah kembali ke ruang tengah.

Meletakkan buku di meja kecil samping ranjang, gadis itu menatap syal kesayangannya yang jadi kotor karena tangannya sebelum meletakkan benda berharga itu di sisi tempat tidur. Charity segera memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dan menyiram kepalanya dengan air hangat. Aneh sekali, tidak ada listrik tapi aliran air di rumah ini terlihat sangat baik-baik saja. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal sepele karena ada masalah lain yang lebih besar harus segera diselesaikan.

Charity mengeluarkan secarik kertas dari dalam botol yang sudah dibersihkan, meletakkannya dengan hati-hati di meja dekat tempatnya menaruh buku. Gadis itu mendekati cermin dan mematut diri sekali lagi. Rambut panjangnya ia ikat satu ke belakang, masih ada sedikit bekas lumpur yang sedikit sulit dibersihkan tapi tidak masalah, rambut pirangnya tetap terlihat menawan.

Menimbang-nimbang apakah kaus putih berlengan pendek dan celana jeans abu-abu yang dikenakannya cukup layak untuk menemui Railen. Mengingat cara yang dikatakan Leadra untuk membangunkan lelaki itu-memberikan sebuah ciuman cinta sejati-membuat Charity mengoleskan sedikit lipstik merah muda ke bibir tipisnya.

Wajah gadis itu merona, sebelum dengan cepat kepalanya menggeleng kuat-kuat hingga rambutnya ikut bergoyang, menghapus lipstik dengan cepat dan segera menghampiri surat yang belum dibuka. Charity menarik napas dan menghembuskannya perlahan.

"Menerima, memaafkan, lalu merelakan. Tidak ada kebencian di dunia ini, yang ada hanyalah cinta, kasih sayang, juga kepercayaan untuk memulai."

Charity membaca dua kalimat di surat yang ditulis Mercy dengan tergesa. Pinggiran kertasnya sudah mulai menguning, terlihat lapuk oleh usia. Gadis itu mengernyit bingung dengan kalimat sederhana yang ditulis Mercy. Ia pikir suratnya berisi tentang bagaimana cara mengalahkan Leadra atau petunjuk keberadaan Railen. Tapi kata-kata yang tertulis malah membuatnya bingung.

Netra hijau gadis itu menatap lekat sebuah tulisan di bagian bawah, berbeda dari kalimat yang baru dibacanya. Charity membulatkan bola mata saat mengetahui apa yang ditulis Mercy di sana. Pantas saja ia merasa ada yang aneh sejak tadi.

"Frederick!" Charity melangkah keluar kamar sembari meneriakkan nama lelaki yang sedikit terperanjat di ruang tengah, menoleh cepat ke arah gadis itu. Di tangannya sebuah kertas tergenggam.

"Masuk ke kamarku! Aku akan mulai menulis di buku jadi lebih baik kamu di sana. Bukankah kamu adalah pengingat waktu untukku?"

Keduanya kembali melangkah masuk ke kamar gadis itu. Charity segera duduk di kursi depan meja dan mulai membuka bukunya sendiri. Masih kosong tentu saja. Pulpen terselip di sela jari tangan kanannya. Gadis itu menatap sampul depan dengan seksama, bingung apa yang ingin ditulis.

Ekor matanya melirik buku milik Mercy dan menimbang. Haruskah ia menulis Diary juga seperti pemilik takdir sebelum-sebelumnya? Gadis itu menggeleng, cara seperti itu sudah jelas gagal. Frederick hanya duduk diam di tepi ranjang, memperhatikan sang pemilik takdir yang terlihat bingung.

"Frederick sadar dengan semua yang dilakukannya. Ia tahu tapi tidak bisa berbuat apapun. Pergerakan, kata-kata juga penglihatannya terhubung ke Leadra, sama sekali tidak bisa melawan tubuhnya yang dikendalikan meski pikirannya sadar. Siapapun kau 4018, tolong selesaikan ceritanya dan bebaskan semua orang. Aku hanya bisa membantu sampai di sini, ingat baik-baik semua yang kau dengar dan alami."

Kalimat yang ditulis Mercy di bagian bawah suratnya kembali dibaca gadis itu, sebelum menatap Frederick dengan prihatin. Charity sedikit heran, bagaimana Mercy bisa menulis kalimat panjang seperti itu padahal inti dari suratnya hanya dua kalimat saja? Gadis berwajah oval itu sama sekali tidak mengerti maksud dari kata-kata yang ditulis Mercy.

Charity kembali menatap bukunya dan mulai menulis di halaman depan, yakin dengan keputusannya untuk membuat cerita berbeda.

TENTANG (AKU) YANG LAIN

Gadis itu menulis judul yang sama. Menatap sebentar sebelum kembali menulis di bawah empat angka yang tertera. Senyumnya mengembang sempurna, merasa menjadi seorang penulis profesional saat halaman sampulnya sudah selesai.

TENTANG (AKU) YANG LAIN

4018

SEBUAH NOVEL

CHARITY DEVILLE

Gadis itu kembali termenung saat membuka halaman pertama, sedikit bingung dengan kalimat apa yang harus ditulis sebagai pembuka cerita. Charity yakin ingin membuat sebuah novel untuk menceritakan tentang rumah ini dan Zeedhania, berbeda dari pemilik takdir sebelumnya yang biasanya menulis sebuah catatan harian.

Memutar semua memori sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah bak istana, Charity menampilkan sedikit senyum saat tahu apa yang harus ditulis.

"Gadis itu menatap tak suka pada rumah besar yang menjulang di depannya. Rasa kesal masih menjalar pada keputusan sepihak ayahnya yang memaksa pindah ke tempat tak terpikirkan. Rumah yang katanya sudah dikosongkan sejak tahun 1984 itu entah kenapa begitu membuatnya tak nyaman, seakan seluruh mimpi buruk berkumpul di dalamnya ...."

***

Charity baru saja menyelesaikan tulisannya sampai gadis itu membaca surat Mercy, ditambah pemikiran-pemikirannya sendiri membuat buku itu terlihat benar-benar seperti novel sungguhan. Sebenarnya ia tidak paham dengan tujuan adanya buku itu. Sekilas memang terlihat mirip dengan buku yang waktu itu dipegang Leadra saat menyegel seluruh Zeedhania menggunakan mantra.

Atau mungkin itu sebenarnya memang mantra sihir? Kalau iya, bagaimana Charity menyempurnakan ceritanya jika ia sama sekali tidak tahu jenis mantra apa yang harus ia tulis untuk membebaskan Zeedhania? Gadis itu menutup bukunya dan melirik Frederick yang sejak tadi hanya diam memperhatikan.

Menarik laci di bawah meja, gadis itu menatap kecewa pada ponsel pintarnya yang sudah jelas mati kehabisan baterai. Matanya menangkap jam tangan berwarna biru samping ponsel, hadiah perpisahan dari teman-temannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat dini hari ketika gadis itu mengenakan jam tangan itu di pergelangan kirinya. Dua belas jam sudah berlalu sejak perjanjiannya dan Leadra dimulai, tapi Charity bahkan belum tahu harus mencari Railen dimana.

Gadis berwajah oval itu beranjak dari kursi dan mengeluarkan tas ransel hitam dari dalam lemari, membawanya mendekat ke meja dan memasukkan dua buku di sana serta surat dari Mercy. Tidak lupa pulpen juga dimasukkan banyak, satu kotak yang baru dibelinya.

Tangannya menarik syal merah yang terletak di tepi ranjang dan mengenakannya setelah menutup resleting ransel. Langkah Charity mendekat kembali ke cermin, mematut diri seraya memakai ranselnya di belakang. Memperhatikan penampilannya sekali lagi, gadis itu memutar tubuh berkali-kali tanpa puas. Ia tidak cantik. Kalimat itu sudah cukup membuatnya frustrasi.

"Tidak ada gunanya terlalu memperhatikan penampilan. Railen sedang tertidur, jadi tidak akan tahu wanita sejelek apa yang menciumnya."

Sial! Charity mengerucutkan bibirnya menahan kesal, keluar dari kamar dengan gerutuan andai saja ia bisa menyangkal yang dikatakan lelaki bernetra biru itu. Sayangnya tidak, gadis itu sangat tahu bahwa ia memang tidak cantik.

Keadaan rumah yang gelap gulita cukup membuatnya takut, meski lilin berada di tangan. Kakinya melangkah menuju dapur, membuka lemari tempat menyimpan makanan instan dan memasukkannya banyak-banyak ke dalam tas. Tidak lupa dengan lilin baru serta korek gas ia bawa serta.

"Mau mencari Railen sekarang?" Frederick yang sejak tadi hanya melihat akhirnya bicara saat Charity sudah selesai dengan semua benda yang akan ia bawa. Gadis itu masih kesal dengan kalimat Frederick di kamar tadi hingga tidak menjawab apapun.

Menghembuskan napas perlahan, gadis itu akhirnya melangkah menuju pintu belakang setelah memastikan kunci-kunci berkarat yang diberikan Tuan Smith sudah berada di saku celana jeansnya. Angin malam berhembus kencang ketika kakinya menginjak halaman belakang. Berjalan perlahan dengan penerangan seadanya, Charity melangkah hati-hati melewati tanama liar yang merambat tidak beraturan, menghindari agar tubuhnya tidak masuk ke kolam penuh lumpur.

"Mau mencari Railen dimana?"

Lagi-lagi Charity mengabaikan pertanyaan tidak penting lelaki yang terus mengikutinya di belakang, terus melangkah hingga tubuhnya berhadapan dengan gerbang besi setinggi tiga meter. Sama persis seperti yang dilihatnya dalam mimpi, gerbang itu juga dirayapi Bougenville yang terlihat samar. Ada rantai besi dan gembok besar di gerbang itu, membuat Charity menyerahkan lilin yang dipegangnya ke Frederick dengan cepat.

Mengeluarkan kunci-kunci berkarat dari saku, gadis itu membuka gembok menggunakan kunci yang paling besar. Agak sulit karena keduanya berkarat, tapi akhirnya terbuka dengan sedikit hentakan. Gerbang besi itu terbuka, menampilkan hutan lebat, gelap, juga berkabut beberapa meter di hadapannya.

Mengambil alih lilin yang hampir padam tertiup angin, Charity mendekatkan langkah dengan sedikit ragu. Dalam mimpinya, ada seseorang berbisik bahwa ia akan bahagia bila masuk ke sana. Charity menggeleng, menghapus pikiran negatif tentang terjebak dalam hutan itu selamanya.

"Tunggu! Kita sungguh akan ke sana? Untuk apa? Kupastikan bahwa Railen tidak ada dalam hutan itu." Charity menahan langkah dan berbalik menatap Frederick. Kenapa ia mengatakan hal seperti itu? Bukankah pemilik takdir sebelumnya juga melakukan hal yang sama? Karena hutan berkabut itu ada dalam mimpinya, bukankah berarti ia memang harus ke sana?

"Leadra, kamu sengaja menyesatkanku ya? Mengatakan hal seperti itu malah menambah kecurigaan kalau Railen memang kamu sembunyikan di sana," ujar Charity menatap lekat lelaki di hadapannya. Ia tahu apa yang didengar dan dilihat oleh Frederick terhubung ke Leadra. Termasuk kata-kata yang keluar dari lelaki itu adalah milik Leadra juga. Meski heran bagaimana wanita itu mendapat kekuatan luar biasa hingga bisa mengendalikan pikiran seseorang sampai seperti itu.

"Tidak ada satu pun pemilik takdir sebelumnya yang pernah masuk ke sana. Sejujurnya, aku juga tidak pernah. Itu adalah hutan terlarang di Zeedhania. Hanya seorang Leonard yang diizinkan masuk dan bisa keluar dengan selamat. Hutan ini sudah dijaga selama ribuan tahun oleh Leonard tanpa ada yang berani menjamah."

Penjelasan panjang lelaki di hadapannya yang sudah pasti berasal dari Leadra membuat Charity kembali berpikir. Benarkah tidak ada yang pernah masuk ke sana? Gadis itu memicingkan mata, menatap Frederick sebelum mengambil keputusan untuk melanjutkan langkah. Mengingat bagaimana Leadra membunuh begitu banyak orang, mustahil Charity akan percaya apa yang dikatakan wanita itu. Bisa jadi Railen memang disembunyikan di sana.

"Aku tidak akan membiarkan boneka kesayanganku ikut kesana!" Gadis itu kembali menoleh dan menyadari bahwa Frederick tidak mengikutinya, berdiri mematung tak bergerak."Kenapa?"

"Bahkan keluarga Tarech tidak ada yang pernah berani ke sana. Aku akan menunggu di sini saja, pastikan kau kembali tepat waktu untuk membunuh ayahmu, 4018." Kata-kata yang dilontarkan Frederick membuat Charity kembali merasakan kemarahan membuncah.

"Aku benar-benar akan memastikan kamu hancur dan menerima ganjaran atas semua yang telah kamu lakukan, Leadra!" Desisnya marah.

"Wah ... itu bagus. Apa kau membenciku?" Suara lelaki itu kini sudah benar-benar menjadi suara Leadra.

"Tentu saja! Tidak ada alasan bagiku dan semua orang yang telah kamu korbankan untuk tidak membencimu," ujar Charity lagi dengan sengit seraya kembali memutar langkah menuju hutan berkabut di hadapannya.

"Itu lebih bagus lagi. Teruslah membenciku, 4018. Dan kuharap kau menyadari bahwa meskipun kau berhasil menemukan juga membuat Railen terbangun, ia tidak akan bisa mengalahkanku dengan mudah tanpa senjata jiwa."

Charity terus melangkah tanpa menghiraukan kalimat terakhir Leadra. Ada kekhawatiran terselip mengingat Railen memang belum bisa memanggil senjata jiwanya. Tapi mungkin saja ada keajaiban setelah ribuan tahun ia tertidur.

Kaki jenjangnya mulai memasuki hutan yang begitu gelap dengan perlahan. Baru melewati beberapa pohon lilin di tangannya padam, membuat gadis itu hampir berteriak karena keadaan sekitar benar-benar menjadi gelap gulita. Charity membuka ranselnya dan meraba tempat ia menyimpan korek gas, mengeluarkan benda itu dan menghidupkan lilin yang baru.