Chereads / Tentang (Aku) yang Lain / Chapter 12 - BAB 11

Chapter 12 - BAB 11

Bulu romanya bergidik saat tidak sengaja matanya menangkap sebuah bayangan yang seolah berada tepat di depan wajahnya sesaat sebelum lilin menyala. Kakinya kembali melangkah perlahan sembari menjaga agar lilinnya tidak padam. Gadis berwajah oval itu kembali hampir berteriak saat lagi-lagi penerang sederhananya padam oleh angin yang berhembus. Wajar saja, dalam hutan tengah malam pastinya akan sulit kalau lilinnya tidak mati.

Dalam gelap, Charity melangkah perlahan sambil kedua tangannya berpegang dari satu pohon ke pohon lain. Rasa dingin menusuk tulang membuatnya sedikit menggigil, harusnya tadi pakai jaket. Tapi untung saja syal yang melingkar sempurna di lehernya cukup membuat hangat.

Charity menajamkan indera pendengarnya saat tidak sengaja menangkap sebuah suara, seperti bisikan. Jantungnya berdetak cepat, keringat mulai menjatuhi pelipis meski dingin menguasai. Bisikan itu terdengar sama dengan suara dalam mimpinya. Gadis itu kembali menghidupkan lilin, memperhatikan sekitar dengan awas tapi tidak menemukan apapun yang mencurigakan.

Kembali berjalan tanpa penerangan karena lilinnya lagi-lagi padam, Charity meneguhkan tekad tidak akan mundur meski suara-suara bisikan itu terus menemani langkahnya. Padahal, saat ada penerangan suara itu menghilang tapi kembali tersengar saat gelap menguasai.

Di kejauhan, manik hijaunya menangkap sebuah cahaya berwarna jingga berkedip. Menambah kecepatan menuju tempat cahaya itu berasal, bisikannya semakin jelas terdengar ramai. Kakinya hampir saja tersandung jika gadis itu tidak berpegangan kuat pada pohon. Jingga yang tadi hanya terlihat seperti bayangan samar, kini semakin jelas di depan mata.

Charity mempercepat langkah hingga benar-benar berhadapan dengan cahaya jingga yang terlihat seperti sebuah pintu. Gadis itu kembali melihat sekeliling, pohon-pohon besar dan tinggi memenuhi sekitar. Tubuhnya memasuki cahaya dengan yakin, berharap itu adalah salah satu buatan Leadra, tempatnya menyembunyikan Railen.

Gadis berwajah oval itu tidak bisa menahan mulutnya yang ternganga ketika tubuhnya sudah sempurna masuk ke cahaya yang tadi terlihat. Menakjubkan, adalah satu-satunya kata yang bisa menggambarkan perasaan gadis itu. Di depannya terbentang sebuah padang hijau yang begitu luas, banyak bunga berwarna-warni di mana-mana, juga air terjun dihiasi pelangi terbentang di atasnya berada tidak jauh di samping kiri. Charity hanya melihat tempat seperti itu di film-film animasi yang sering ditontonnya. Sama sekali tidak tahu tempat itu benar-benar ada di dunia nyata.

Charity melangkah tergesa ke tengah rumput hijau yang membentang, tawanya pecah saat jemarinya menyentuh kelopak bunga yang langsung menyebarkan bau khas menyenangkan. Melepas sepatu kets hitam yang dikenakannya, senyum lebar terus tampak selama kaki telanjangnya menapaki rumput hijau yang terasa lembut dan hangat.

Gadis delapan belas tahun itu tidak bisa menghentikan rasa bahagia yang membuncah berhamburan tanpa bisa dicegah. Tidak pernah sekali pun ia merasa sebahagia ini sejak Ibu meninggal ketika usianya masih enam tahun. Charity terus melompat senang, langsung terdiam saat ransel yang dikenakannya terjatuh.

Railen! Semua ingatan tentang rumah penuh misteri, Zeedhania, Ayah yang disembunyikan oleh Leadra, perjanjian menemukan Railen, dan Frederick yang tidak mau ikut masuk ke hutan berkabut membuat Charity melihat jam di pergelangan tangan kirinya. Matanya melebar, jam delapan pagi. Artinya ia sudah menghabiskan tiga jam lebih tanpa melakukan apapun di tempat ini. Terasa begitu cepat tanpa gadis itu sadari.

Charity menggeleng saat rasa hangat dan bahagia menjalar di hatinya, mengusir perlahan dengan terus mengingat tujuannya menemukan Railen dan menyelamatkan Vergo. Gadis itu segera memakai kembali sepatunya dan menyampirkan ransel di punggung, menatap keadaan sekitar sebelum melangkah berniat mendekati air terjun. Sama sekali tidak ada suara air mengalir meski air terjun itu terlihat begitu deras.

"Siapa kau?"

Charity menoleh saat sebuah suara cukup mengejutkannya. Jantungnya kembali berdetak kencang saat berbalik, menemukan seorang wanita yang rambutnya tergelung rapih, dengan gaun berwarna pastel selutut berdiri tidak jauh dari hadapannya. Matanya berkaca, menatap lekat tanpa mau mempercayai penglihatannya sendiri.

Ibu!

Gadis itu hampir saja menghambur dan menumpahkan segala keluh pada wanita di hadapannya. Menahan kuat airmata yang menggenang, Charity terus menguatkan hatinya bahwa yang ia lihat hanyalah bagian ilusi dari hutan ini. Gadis bersyal merah itu terus saja memenuhi otaknya tentang Vergo dan janjinya pada Aleva untuk membebaskan semua kutukan di Zeedhania.

"Siapa kau?" Pertanyaan yang sama kembali dilontar, wanita itu berjalan mendekat dengan langkah anggun, membuat Charity melangkah mundur perlahan.

"Aku hanya ingin mencari keberadaan Railen De Leonard. Apakah kau tahu tentangnya?"

Charity sedikit lega saat wanita yang begitu mirip dengan ibunya itu berhenti melangkah, tampak berpikir seraya mengerutkan kening. Menatap lekat penampilan Charity dari atas hingga kaki, begitu terus selama beberapa saat sebelum sebuah senyum terpatri di bibirnya.

"Kau tidak terhanyut dalam kebahagiaan, Nak. Mungkin itu sebabnya aku tidak bisa membaca apa yang ada dalam otakmu." Kata-kata wanita itu cukup membuat gadis berwajah oval di hadapannya sedikit terkejut.

"Kau mencari Railen De Leonard? Bukankah dia seharusnya adalah pemimpin Zeedhania saat ini? Tapi kenapa dia tidak pernah memanggil senjata jiwanya sekalipun?"

Charity tidak mengalihkan pandangan saat wanita itu kembali berjalan mendekat dengan senyum terpatri. Napas dihembuskan kuat saat wanita bergaun selutut itu berdiri tepat selangkah di hadapannya, membuat Charity ingin selalu melihat wajah yang dirindukannya itu.

"Sesuatu terjadi di Zeedhania," ujar Charity seraya menahan tubuhnya yang ingin bergerak dan menghambur ke pelukan wanita di hadapannya, "Railen menghilang dan aku harus menemukannya demi melepaskan semua orang dari kutukan keluarga Tarech," lanjutnya cepat ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Perputaran waktu di sini terlalu cepat.

"Aku memang merasa seperti itu, karena sudah lama sekali tidak ada senjata jiwa yang terlahir. Tapi, sebenarnya kau siapa?"

Gadis bersyal merah itu terdiam sebentar, tampak berpikir sebelum menundukkan wajah menatap sepatu kets hitamnya yang sudah kotor karena lumpur. Pasti perjalanan ke sini yang membuat sepatu hadiah ulang tahunnya itu terlihat begitu kumuh.

"Aku tunangannya," ucap gadis itu pelan dan langsung mendongakkan wajah menatap kembali wanita di hadapannya, "aku adalah tunangan Railen. Namaku Charity Deville," lanjutnya dengan tegas.

Terpaku pada senyum lebar yang terukir di wajah wanita di hadapannya, Charity merasakan jari manis tangan kirinya menghangat. Matanya melebar saat sebuah cahaya putih melingkar di jarinya, memudar dan meninggalkan sebuah cincin putih dengan berlian kecil di tengah. Cantik dan elegan. Cincin apa itu?

"Aku sudah menduganya sejak kau datang," wanita di hadapannya berujar lembut, "ayo ikut aku."

Senyum tidak lepas dari wajahnya saat melangkah terlebih dahulu berjalan di depan. Charity hanya mengikuti di belakang, menatap cincin yang melingkar di jarinya tanpa bisa dilepas. Semakin bingung saat wanita itu membawanya menuju air terjun yang tidak bersuara, menerobosnya tanpa mengatakan apapun. Charity sempat mendongak melihat pelangi yang terbentang di atasnya sebelum ikut menerobos air terjun itu dan terkejut saat menyadari tubuhnya tidak basah.

Di dalamnya, ada jalan tanah setapak, dengan danau berkilau di kanan dan kiri. Terus mengikuti langkah wanita di depannya tanpa berkomentar, gadis itu tidak bisa menahan mulutnya yang ternganga saat melewati sebuah tabung kaca berisi busur dan anak panah. Itu adalah senjata jiwa milik kepala keluarga Leonard, ayah Railen.

Charity kembali terkesiap saat melihat tongkat panjang dengan ujung berbentuk sabit. Itu adalah Alesha, senjata jiwa milik Aleva. Gadis itu menghentikan langkah ketika wanita di depannya berbalik dan menatap Charity dengan wajah serius. Jantungnya berdetak kencang saat menyadari di samping mereka ada sebuah pedang berkilat, dengan gagang berukir dan terdapat permata berwarna merah di tengah pegangannya. Tidak dilapisi tabung kaca seperti yang lainnya, hanya terlingkup oleh cahaya berwarna merah.

"Ini adalah senjata jiwa milik Railen." Wanita itu berucap tenang, membuat Charity tidak bisa berpikir jernih saat tahu bahwa dia adalah orang pertama yang melihat senjata jiwa milik Railen.

"Semua calon pemimpin Zeedhania baru akan bisa memanggil senjata jiwanya saat sudah punya seorang permaisuri. Aku hanya menunjukkannya padamu karena tidak tahu Railen ada dimana, tapi senjata jiwanya tidak akan bisa dipanggil tanpa persetujuan calon permaisurinya."

Penjelasan panjang wanita di hadapannya membuat Charity memijit pelipis, merasakan kepalanya tambah berdenyut mendengar informasi baru, menyesali kalimatnya yang mengatakan bahwa ia adalah tunangan Railen. Ia pikir tadi wanita itu tidak akan menyakiti dan mengurung Charity selamanya di sini kalau mengaku sebagai tunangan seorang Leonard. Tidak tahu bahwa hal itu malah tambah membuatnya berada dalam masalah.

"Jadi, Railen tidak ada di sini? Kalau begitu aku harus segera pergi dan mencarinya. Dan maaf sepertinya ada kesalahpahaman, ini memang salahku tapi aku bukan ...," kalimat Charity terhenti saat otaknya memutar ingatan tentang lorong bawah tanah di perpustakaan. Ruangan seribu pintu. Hanya bisa masuk ke sana jika mengetukkan senjata jiwa sebanyak tiga kali di setiap pintu.

"Bisakah aku membawa senjata jiwa milik Railen?" Pertanyaan tiba-tiba yang diajukannya membuat wanita bergaun pastel itu cukup terkejut.

"Belum pernah ada orang yang bisa mengendalikan senjata jiwa selain Leonard. Tapi kalau kau mau mencobanya tidak apa-apa."

Charity menghembuskan napas panjang sebelum menghadap ke pedang di sampingnya. Cahaya merah yang melingkupi membuat gadis itu sedikit khawatir, apa yang terjadi kalau tangannya menyentuh pedang itu?

"Hei senjata jiwa," Charity berucap pelan dalam hati seraya terus menatap cahaya merah yang tiba-tiba bergerak.

"Izinkan aku membawamu. Untuk menemui tuanmu, Railen. Aku adalah tunangannya dan ia sedang membutuhkan bantuanmu sekarang." Cincin di jari manis gadis itu juga mengeluarkan cahaya merah dan terasa hangat, membuatnya yakin bahwa ia bisa membawa senjata jiwa itu bersamanya.

"Demi seluruh kedamaian di Zeedhania, demi kelangsungan keluarga Leonard, demi Railen dan demi Ayah ... kumohon ikutlah bersamaku." Charity menjatuhkan airmatanya saat mengingat Vergo yang entah bagaimana kabarnya, mendekatkan tangan kanannya ke cahaya merah yang langsung menyingkir, membiarkan pedang itu tergenggam sempurna.

Charity menarik tangannya bersamaan dengan pedang yang juga ikut keluar dari lingkaran cahaya merah di hadapannya, melihat cahaya itu memudar perlahan dan menghilang.

"Aku tidak tahu bagaimana caramu melakukannya." Gadis itu kembali menatap wanita yang kini mendekat ke sampingnya.

"Aku harus segera pergi! Terima kasih sudah membiarkanku menemui senjata jiwa milik Railen." Charity segera berbalik untuk keluar dari tempat itu, pedang Railen ada di genggamannya.

Berlari menuju cahaya jingga yang dimasukinya beberapa jam lalu, gadis itu mengatur napasnya yang terengah. Semakin kesulitan karena pedang itu cukup besar dan berat.

"Tunggu!" Langkah jenjangnya terhenti saat baru akan memasuki cahaya itu dan terkejut saat wanita tadi mengikutinya.

"Lebih baik berikan nama pada senjata jiwa itu agar kau tidak perlu repot terus membawanya. Panggil saja saat kau membutuhkan." Charity menatap pedang di tangannya, memikirkan nama apa yang cocok. Sampai sebuah ide sederhana menyusup.

"Aku akan memberinya nama Chaver. Iya ..., Chaver, selamat datang." Pedang di tangan gadis itu mengeluarkan cahaya merah, terasa hangat di genggamannya sebelum menghilang.

"Sekarang kau hanya perlu berkonsentrasi dan memanggil namanya. Tapi mungkin tidak terlalu bisa mengendalikannya karena kau bukan pemilik sahnya." Charity kembali menatap wanita di hadapannya, hatinya kembali menghangat. Airmata luruh tanpa bisa ditahan.

"Bolehkah aku memelukmu sebentar?" Wanita itu cukup terkejut ketika Charity menatapnya dengan airmata membanjir, kemudian mengangguk perlahan.

Gadis bersyal merah itu langsung menghambur dan memeluk erat wanita cantik yang memiliki wajah begitu mirip dengan ibunya. Perasaan hangat menjalar memenuhi hatinya yang sudah lama dingin.

"Setiap ada orang asing selain Leonard yang datang ke sini, mereka akan melihatku sebagai orang yang begitu dirindukannya. Apa wajahku mengingatkanmu dengan seseorang?" Charity mengangguk tanpa melepaskan pelukannya, isakan mulai terdengar.

"Terima kasih," ucapnya pelan dan langsung berbalik, memasuki cahaya jingga dan kembali berada di tengah hutan berkabut. Pandangannya sedikit buram karena airnata yang masih membekas.

Charity menghembuskan napas, menenangkan dirinya dan menatap pohon-pohon besar yang menjulang di sekitar. Kakinya dengan tergesa meninggalkan hutan karena jam tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh. Waktunya hanya tersisa enam jam untuk menemukan Railen.