Gadis berwajah oval itu kembali ke halaman belakang rumahnya, terduduk tepat di tepi kolam penuh lumpur. Dua buah buku terletak tidak jauh darinya. Charity kembali memperhatikan keadaan sekitar, menemukan tanaman liar merambat tidak beraturan membuatnya yakin bahwa ia telah kembali ke waktunya sendiri.
"Ceritanya terus saja berulang, di mulai dari pertengkaran tentang rencana pernikahan Railen dan Leadra, serangan tiba-tiba hingga menghancurkan seluruh Zeedhania, kematian demi kematian yang terus berulang dengan rasa sakit yang sama. Juga tentang sang pemilik takdir yang memang datang setiap 33 tahun."
Aleva juga sudah duduk di samping Charity, mengenakan gaun ungu yang dipakainya terakhir kali saat menghadapi keluarga Tarech. Darah mulai mengalir dari kedua matanya, yang sudah dimengerti bahwa itu adalah sebuah tangisan.
"Bukankah syaratnya mudah? Sang pemilik takdir hanya harus mencium Railen saja, kan?" Pertanyaan ketus Charity mau tidak mau membuat wanita di sampingnya sedikit tersenyum.
"Aku merasa kau sedikit berbeda, Charity. Tapi kalau memang semudah itu, mungkin jiwaku sudah bebas dan meninggalkan dunia ini tanpa harus menghadapi pemilik takdir ke 4018. Bukankah itu sudah terlalu lama?"
"Ada apa dengan pemilik takdir sebelum-sebelumnya?"
"Kau pasti tadi juga mendengar, bahwa sang pemilik takdir akan diberi pilihan. Nanti kau akan tahu sendiri pilihan apa yang diberikan Leadra. Yang harus kau ketahui adalah, ada beberapa pemilik takdir yang mencoba menemukan Railen tapi gagal." Aleva menghembuskan napas sebelum menatap Charity lekat. Kesedihan jelas terpancar di wajah cantiknya.
"Tugasku hanya sampai di sini, Charity. Selanjutnya kau harus selesaikan semuanya sendiri. Tapi sebelum itu, bisakah aku memohon padamu agar menjalani takdir, menemukan Railen dan membangunkannya? Bebaskan aku, Charity. Kumohon ..."
Gadis berambut gelombang itu tidak bisa menahan airmata ketika Aleva memohon dengan suara begitu menyedihkan. Menatap lekat ke manik hijaunya sebelum tubuh wanita itu memudar kemudian menghilang. Charity menghembuskan napas panjang, menenangkan pikirannya sendiri yang berisi begitu banyak ingatan mengerikan di Zeedhania.
Ekor matanya menatap kolam penuh lumpur di hadapannya. Sekarang tinggal mencari surat yang ditinggalkan Mercy dan menghentikan cerita berulang buatan Leadra.
***
Langkah jenjang gadis delapan belas tahun itu memasuki rumah dengan tergesa, khawatir karena meninggalkan Vergo tanpa mengatakan apapun terlebih dahulu. Charity menemukan makanan yang sudah dingin di meja makan, lengkap dengan susu cokelat kesukaannya. Tapi lelaki yang dicari malah tidak ada.
"Ayah!" Rambut gelombangnya yang terurai ikut bergoyang saat gadis itu menelusuri rumah menuju kamar Vergo.
Tidak ada siapapun. Kakinya kembali melangkah menuju perpustakaan, ruang kerja, ruang tengah, bahkan seluruh ruangan di lantai satu tapi tidak menemukan apapun. Rasa khawatir mulai menggelayut saat matanya juga tidak melihat Vergo di halaman depan. Bahkan pintu tidak terkunci.
"Ayah!" Teriakannya menggema di seluruh rumah. Charity mendongak dan segera melangkah cepat menuju lantai dua, berharap bisa menemukan keberadaan Ayahnya.
Belum sampai beberapa anak tangga dinaiki, gadis itu menghentikan langkah saat melihat orang yang berdiri di ujung tangga. Lelaki berjubah hitam dengan bekas luka goresan di pipi kanan, mempunyai netra biru seterang warna langit.
Charity melangkah mundur, ragu dengan penglihatannya sendiri. Bukankah lelaki itu adalah yang menghadap pada Railen dan memberi kabar bahwa Zeedhania sedang diserang? Apa yang dilakukannya di sini? Bukankah harusnya dia sudah mati bersama rakyat Zeedhania yang lain? Gadis bernetra hijau itu berlari menuruni tangga berniat kembali ke halaman belakang. Harusnya tadi memang lebih baik mencari surat yang ditinggalkan Mercy terlebih dahulu.
Langkahnya kembali berhenti saat Leadra berdiri beberapa meter di hadapannya, masih terlihat begitu cantik dengan netra hitam pekatnya yang menatap tajam. Charity mencoba menenangkan detak jantungnya sendiri, berusaha keras mempertahankan pandangan agar tidak lepas dari wanita yang kini berjalan perlahan ke arahnya. Lelaki yang tadi berada di ujung tangga tiba-tiba sudah berdiri di samping Leadra, dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hanya mata seterang langitnya menatap tajam Charity yang terus beringsut mundur.
"Tidak perlu merasa takut begitu, 4018. Ayahmu baik-baik saja," ucap Leadra tenang terus melangkah mendekat. Charity membulatkan matanya mendengar wanita itu menyebutkan tentang Vergo.
"Apa yang kamu lakukan pada Ayahku? Di mana dia? Tolong jangan sakiti Ayah ...," suaranya bergetar bersamaan dengan airmata yang mulai luruh. Membayangkan Vergo harus berurusan dengan wanita seperti Leadra membuat rasa bersalah menghantam hati terdalamnya.
Kalau saja Charity mengatakan dari awal tentang rumah ini dan segera pergi, mungkin ia tidak perlu dipenuhi kekhawatiran tentang ayahnya. Gadis itu membentur tembok di belakangnya, tidak bisa lagi melangkah mundur.
"Aku tidak melakukan apapun, juga tidak menyakitinya."
Sebuah cahaya putih terbentuk di hadapan Charity tepat ketika Leadra menggerakkan tangan kanannya, menampilkan sebuah ruangan di mana Vergo berada. Gadis itu membekap mulutnya saat melihat Vergo sedang duduk di ruang tengah rumah ini, membacakan sebuah buku untuk gadis bernetra hijau yang tertawa mendengar setiap kata-kata lelaki itu. Bagaimana mungkin ... Ayah sedang bersama dirinya sendiri, padahal jelas kalau Charity berada di tempat lain.
"Lihat, kan?" Cahaya itu menghilang, begitu juga dengan tampilan Vergo dan Charity yang lain.
"Aku hanya membawa ayahmu ke tempat yang begitu diinginkannya, tempat dimana ia dan putrinya hidup bahagia tanpa jarak. Aku mengetahui dengan pasti bahwa kau selalu bersikap dingin pada ayahmu, kan? Jadi aku hanya berbaik hati, membuatnya merasakan kebahagiaan meski hanya sebentar sebelum maut memisahkan jiwa dari raganya."
Airmata semakin deras membanjir di pipi Charity saat dengan mudahnya wanita di hadapannya itu mengucapkan kebahagiaan juga kematian Vergo begitu saja.
"Apa kamu akan membunuh ayahku seperti yang kamu lakukan di Zeedhania? Leadra, kumohon kembalikan Ayah ...," gadis itu berlutut seraya menatap Leadra dengan airmata berlinang.
"Itu adalah pilihanmu sendiri. Sekarang, kau ingin ayahmu dikembalikan dengan syarat kau harus menyerahkan nyawamu padaku. Atau kuberi kesempatan satu hari untuk menemukan Railen, membangunkannya dan membebaskan Zeedhania dari kutukan, tapi jika gagal maka kau harus membunuh ayahmu sendiri sebelum kau sendiri yang mati. Bagaimana?"
Charity menahan napas saat pilihan yang sama sekali tidak menguntungkannya diberikan tanpa belas kasih. Keduanya mengharuskan Charity untuk mati. Kalau memilih yang pertama, maka ayahnya akan dibebaskan meski dia sendiri harus mati.
Atau jika nekat memilih yang ke dua, akan bagus jika gadis itu berhasil dan bisa membebaskan seluruh Zeedhania juga ayahnya, tapi jika gagal Charity harus membunuh lelaki yang begitu dikasihinya itu dengan tangannya sendiri.
"Apa yang akan terjadi kalau aku memilih pilihan pertama?" Tanya Charity lirih, tidak sanggup membayangkan harus membunuh ayahnya sendiri.
"Ayahmu akan dibebaskan, dan kau diberi kesempatan sebentar untuk meminta ayahmu kembali menjual rumah ini. Lalu ... kau harus mendekam di tempat yang sama dengan pemilik takdir sebelumnya sampai pemilik takdir berikutnya membuat pilihan."
Lagi-lagi sebuah cahaya putih menampilkan sesuatu yang membuat Charity kembali ternganga. Seorang gadis bergaun putih selutut sedang duduk di lantai tanah dengan wajah tirus juga kotor. Gaun yang dikenakannya tampak usang dan terdapat lumpur di mana-mana, juga tubuh gadis itupun dipenuhi oleh jelaga yang kelihatannya akan sangat sulit dibersihkan.
"4017 akan menemui ajalnya saat kau memutuskan untuk menyelamatkan ayahmu dan menggantikannya mendekam di sana," ujar Leadra tenang dengan mata tidak lepas menatap Charity.
Charity yakin sekali bahwa gadis yang baru saja dilihatnya adalah Mercy. Jadi, Mercy akan segera mati kalau ia memutuskan untuk menyelamatkan ayah terlebih dahulu?
"Apa yang akan terjadi pada 4017 kalau aku memilih tawaran ke dua?" Gadis itu kembali memberanikan diri bertanya, membuat Leadra mengerutkan kening merasa kesal. Baru kali ini ada pemilik takdir yang terlihat menimbang banyak hal.
"Dia akan menunggu hasilmu. Kalau kau berhasil, maka dia juga terbebas. Tapi kalau kau gagal, nasibnya akan berakhir sama saja, mati."
Gadis bersyal merah itu menghembuskan napas panjang, menenangkan detak jantungnya yang tidak teratur. Bisa saja Charity membebaskan Vergo agar lelaki yang begitu disayanginya itu tidak terluka, tapi itu artinya hidup Mercy berakhir. Gadis itu ingat bagaimana tatapan sendu Tuan Smith yang begitu merindukan putrinya. Ayah pasti juga akan merasakan hal yang sama, hidup tapi tidak bebas juga bahagia.
Wajah Aleva yang memohon juga memenuhi ingatan gadis itu, tentang bagaimana wanita cantik itu kehilangan keluarga juga negeri tercinta. Tapi kalau dalam waktu satu hari ia tidak bisa menemukan juga membuat Railen terbangun, maka Charity harus siap membunuh ayahnya sendiri dengan kedua tangan.
"Jadi, apa pilihanmu?"
Gadis berambut gelombang itu mendongak, menatap Leadra tepat di bola mata. Ingat bagaimana wanita di hadapannya itu membunuh begitu banyak orang dengan alasan balas dendam yang konyol, membuat Charity semakin yakin dengan keputusan yang akan diambil.
"Aku akan menerima kesempatan untuk menemukan dan membuat Railen terbangun dalam waktu satu hari," ucap Charity tanpa keraguan lagi, dalam hati meminta maaf pada Vergo karena tidak memprioritaskannya.
"Baiklah, waktumu di mulai sekarang. Aku akan menemuimu lagi besok di waktu yang sama, untuk melihat bagaimana seorang 4018 membunuh ayahnya." Suara tawa menggema di indera pendengar Charity, membuat gadis itu mendelik kesal.
"Akan kupastikan kita bertemu sebelum waktunya habis, Leadra. Dan itu adalah saat di mana seluruh kutukan yang kau bangun akan sirna tak bersisa." Perkataan tegas gadis delapan belas tahun di hadapannya membuat Leadra terdiam, merasa tertarik.
"Baiklah kalau kau sangat yakin. Bonekaku ini akan menemanimu sampai besok," ucap Leadra seraya menunjuk lelaki berjubah hitam yang sejak tadi diam tanpa ekspresi.
"Namanya Frederick, tangan kanan Railen yang berhasil kukendalikan jauh sebelum menyerang Zeedhania. Dia hanya mengikuti perintahku saja, tanpa tahu tentang ulahnya yang telah membuat Zeedhania hancur. Dia akan menjadi pengingat waktumu, 4018. Dan ... kurasa buku itu tidak ada gunanya."
Leadra menatap remeh buku yang terletak di lantai sebelum tubuhnya menghilang, meninggalkan Charity dan lelaki bernama Frederick yang berjalan mendekat, membungkukkan tubuh di depan gadis itu dan menarik tangannya agar berdiri. Sekali lagi, Charity menatap lekat netra seterang langit di hadapannya yang juga balas menatap. Ada yang aneh.
Selesai bertatapan lama dengan Frederick, Charity akhirnya melangkah cepat kembali menuju halaman belakang, untuk mencari surat peninggalan Mercy di kolam penuh lumpur. Mengabaikan lelaki tanpa ekspresi yang mengekor di belakang. Tidak peduli selama apapun gadis itu menatap netra senada warna langit Frederick, ia tetap tidak bisa menemukan hal aneh meski perasaannya yakin ada sesuatu tentang lelaki itu.
"Mau apa ke sini? Bukankah sebaiknya langsung menulis catatan di buku yang kau tinggalkan itu dan segera mencari Railen?" Charity cukup terkejut mendengar lelaki yang sejak tadi hanya mengekor akhirnya mengeluarkan suara.
"Bukankah harusnya kamu tahu apa yang akan kulakukan di sini? Kufikir kamu sudah menemani para pemilik takdir sebelum-sebelumnya," ujar Charity seraya memasuki kolam penuh lumpur di hadapannya, mengotori celana jeans hitam yang dikenakannya.
Kolam itu hanya sebatas pinggang, cukup menyulitkan gadis itu saat melangkah mencari surat yang ia sendiri tidak tahu diletakkan di sebelah mana. Kakinya terasa membentur sesuatu yang keras, Charity menendang pelan, merasakan benda itu bergeser dan segera memasukkan tangannya ke dalam kubangan lumpur.
"Kolam ini adalah tempat di mana Leadra menyegel semua jiwa pemilik takdir yang datang sebelum kau."
Charity berhasil memegang benda yang ternyata sebuah botol dan segera mengangkatnya tepat ketika Frederick mengatakan sesuatu yang membuatnya kembali yakin bahwa pilihannya tepat untuk menemukan Railen. Mengingat bagaimana mereka yang harusnya sudah pergi meninggalkan dunia, tapi jiwanya tertahan hingga tidak bisa pergi ke tempat seharusnya, membuat Charity merasakan kemarahannya membuncah. Tega sekali.
Gadis berambut gelombang itu keluar dari kolam penuh lumpur yang ternyata adalah tempat Leadra menyegel jiwa para pemilik takdir sebelumnya, dengan botol tergenggam erat di tangan. Baju kaus lengan panjang berwarna kuning yang baru dibelinya seminggu lalu juga ikut kotor. Bahkan wajah pucatnya juga dipenuhi lumpur, untung saja ia meninggalkan syalnya di dalam. Charity jadi mengingat keadaan Mercy sebelumnya, mengerti kenapa penampilan wanita itu terlihat begitu kumuh.