Chereads / Tentang (Aku) yang Lain / Chapter 4 - BAB 3

Chapter 4 - BAB 3

"Apa yang kamu lakukan disini, Charity?" Vergo menatap putrinya yang berdiri mengitari perpustakaan dengan serius.

"Aku sedang cari sebuah buku. Oh ya, semua buku ini milik Ayah?"

"Tidak. Sebagian besar buku-buku ini memang sudah ada disini. Pemilik rumah bilang, semua buku ini berusia sangat tua, jadi kita harus memperlakukannya dengan sangat baik."

Charity mengangguk paham, pantas saja Ayah mau membeli rumah di tempat antah berantah ini. Bagi Vergo, penelitiannya jauh lebih penting dari apapun. Tidak peduli meski ia harus membawa putrinya ke tempat yang seharusnya tidak perlu di datangi anak remaja.

"Kapan listrik di rumah ini akan dipasang? Handphone dan laptop milikku benar-benar mati. Bagaimana aku bisa mengabari teman-teman?" Charity sudah merasa muak dengan cahaya lilin saat malam. Yang membuatnya tidak nyaman mungkin karena rumah ini begitu gelap.

"Ayah sudah menghubungi mereka tadi pagi, katanya kemungkinan baru bisa dipasang minggu depan. Alamat rumah ini sepertinya agak sulit ditemukan."

Tentu saja, kita bahkan tidak punya tetangga! Charity berujar kesal dalam hatinya, mengingat ia tidak akan punya teman dan hidup sendirian. Padahal ia sudah merencanakan ingin masuk ke universitas pilihannya, dan tinggal di asrama. Sudahlah ... Charity hanya akan merasa lebih kesal kalau ingat perdebatan sengit dengan ayahnya sebulan yang lalu.

"Buku apa yang kamu cari?"

"Tentang rumah ini. Ayah, aku ingin tahu semua tentang rumah ini," ujar Charity yakin. Vergo mengerutkan keningnya, tumben Charity tertarik dengan hal-hal seperti itu.

"Kenapa tidak tanyakan langsung pada pemilik rumahnya? Hari ini ia akan datang, katanya ingin menyerahkan seluruh kunci rumah ini."

Aneh! Seingat Charity, ayahnya sudah melunasi pembayaran rumah ini sejak sebulan yang lalu. Kenapa seluruh kuncinya baru diserahkan sekarang? Tunggu ... siapa pemilik rumah ini sebelumnya?

"Ayah, siapa nama pemilik rumah ini? Kenapa ayah bisa bertemu dengannya? Lalu kenapa ayah tertarik membelinya? Apa dia seorang perempuan? Berapa usianya?" Vergo tertawa mendengar begitu banyak pertanyaan Charity. Lagi-lagi anak itu bertingkah aneh.

"Aku memanggilnya Tuan Smith, usianya 73 tahun. Ayah melihat iklan tentang rumah ini di koran, harganya lumayan murah. Kenapa aku membelinya? Tentu saja karena rumah ini memiliki sejarah dan nilai seni yang tinggi. Bayangkan, kita tinggal di rumah yang sudah kosong sejak 33 tahun yang lalu, itu keren."

Huft ... Ayah memang seperti itu, harusnya Charity tidak perlu bertanya apapun. Tinggal di rumah mengerikan begini disebut keren? Yang benar saja! Tunggu ... pemiliknya seorang lelaki berusia tujuh puluh tiga tahun? Itu artinya 33 tahun yang lalu usianya adalah empat puluh. Sama dengan ayahnya sekarang.

"Ayah, apakah pemilik rumah ini bernama Smith Gallyena Corney?" Charity merasakan jantungnya yang berdetak cepat ketika Vergo terkejut dan langsung menoleh padanya.

"Darimana kamu tahu? Ayah tidak memberitahukan padamu sebelumnya kan?"

TING-TONG

Suara bel! Charity masih berdiri terpaku saat Ayah keluar untuk membukakan pintu. Lututnya terasa begitu lemah untuk ikut melangkah keluar. Padahal, ada begitu banyak pertanyaan di kepalanya. Bagaimana keadaan Mercy? Kenapa Diarynya hanya sampai halaman kedua? Kenapa rumah ini langsung dikosongkan lagi waktu itu? Apa kolam penuh lumpur dan hutan berkabut benar-benar ada? Charity baru saja akan melangkah keluar ketika matanya tidak sengaja menangkap bayangan seseorang dibelakangnya. Bayangan yang langsung menghilang begitu Charity berbalik untuk melihat.

BRAAKK!!! Pintu yang tiba-tiba tertutup membuat Charity hampir berteriak. Kakinya melangkah dengan hati-hati mendekati pintu, memegang knop dengan perasaan takut luar biasa. Ini bukan rumah angker dengan banyak penunggu gaib, Ayah bilang begitu, dan semoga benar. Charity menarik pintu dengan kuat dan langsung terbuka, ternyata tidak terkunci. Tapi kenapa tiba-tiba tertutup sendiri? Sepertinya hanya angin. Charity menenangkan perasaannya dan segera berlari keluar, ia harus bertemu Tuan Smith apapun yang terjadi.

"Dimana orang itu, Ayah? Tuan Smith ... apa dia sudah pergi?" Charity sedikit panik saat melihat Ayah hanya sendiri.

"Aku juga tidak tahu. Katanya dia ingin menyerahkan semua kunci rumah ini, tapi tiba-tiba dia bilang tadi kuncinya tertinggal. Mungkin karena sudah tua, dia jadi pelupa," ucap Vergo sambil tersenyum dan kembali masuk ke perpustakaan.

Charity berlari keluar rumah dengan cepat, berharap Tuan Smith belum pergi jauh. Ia mungkin tidak akan punya kesempatan lagi. Kalau rumah ini ternyata berbahaya, lebih baik mengetahuinya sejak awal. Seorang lelaki yang sudah sangat renta terlihat duduk di sebuah bangku panjang tak jauh dari bekas kolam air mancur. Matanya menerawang, seolah melihat sesuatu yang begitu jauh.

"Tuan Smith ... "

Lelaki itu menoleh saat Charity memanggilnya. Wajahnya jadi lebih cerah ketika gadis berambut pirang bergelombang itu mendekat. Sebuah harapan terpancar dari matanya.

"Ada yang ingin aku tanyakan. Bolehkah?" Charity duduk di sampingnya, berharap rasa penasaran akan rumah ini bisa terpuaskan.

"Siapa namamu?"

"Charity. Namaku Charity Deville." Lelaki tua itu mengangguk dan tersenyum, kembali menatap bekas kolam air mancur didepan mereka.

"Kau ingin tahu tentang Mercy, kan?" Charity tersentak. Bagaimana dia bisa tahu?

"Mungkin 33 tahun yang lalu, Mercy juga menanyakan hal yang sama pada pemilik rumah, dan aku sama sekali tidak tahu." Charity hanya mendengarkan, sambil berharap Tuan Smith akan ceritakan semuanya.

"Waktu itu usianya baru 17 tahun, aku membawanya dengan paksa untuk pindah ke rumah yang menurutku sangat luar biasa ini. Aku seorang peneliti sejarah dan artefak kuno seperti Vergo, ayahmu. Saat itu memang seharusnya aku tidak memaksa Mercy, dan semuanya pasti akan baik-baik saja." Charity masih tidak mengerti arah pembicaraannya.

"Lalu, dimana Mercy sekarang?" Hening. Hanya terdengar hembusan angin ketika pertanyaan itu dilayangkan.

"Cari tahu sendiri kalau kau penasaran. Ini ... kuserahkan padamu." Charity menerima banyak kunci yang terlihat berkarat. Apa ini yang dibilang Ayah tadi?

"Masuklah ke ruangan ketiga dari tangga di lantai dua. Hanya ada sebuah lemari di dalamnya. Buka lemari itu dan kau akan temukan sebuah pintu menuju ruangan bawah tanah. Bawalah sebuah lilin, karna jalannya cukup jauh dan gelap. Aku tidak tahu ada apa disana, karna aku tidak bisa masuk. Tapi Mercy mengatakannya pada hari sesaat sebelum dia menghilang. Sebelum itu ... Mercy bilang kau harus temukan surat yang disembunyikannya di kolam penuh lumpur di halaman belakang."

Charity menahan napasnya saat tahu Mercy menghilang. Ada apa sebenarnya? Kenapa ia merasa semuanya seperti sudah di rencanakan?

"Charity, kalau aku boleh menyarankan lebih baik kau dan ayahmu pergi dari rumah ini. Sebenarnya aku sudah memasang iklan untuk rumah ini sejak putriku menghilang. Tapi seperti yang Mercy katakan, rumah ini hanya akan terjual setelah 33 tahun. Dan pembelinya, seorang duda yang memiliki anak perempuan. Aku tidak mengerti apapun tentang takdir ini, tapi entah kenapa aku yakin Mercy masih hidup. Di sebuah tempat, dalam rumah ini."

Charity masih terdiam bahkan setelah Tuan Smith pergi, kepalanya sakit dengan semua informasi yang baru didapat.

***

Sudah dua hari sejak Charity berbicara dengan Tuan Smith, tapi gadis itu masih merasa terguncang dengan semua info yang didengar. Tidak masuk akal, di zaman serba modern seperti ini, benarkah masih ada sebuah kisah kuno yang belum terselesaikan? Charity memperhatikan langit-langit kamarnya tanpa ada gairah untuk sekedar keluar dan mencari surat. Ia bahkan masih tidak percaya, mungkin yang dikatakan orangtua itu hanyalah kebohongan untuk membuatnya takut.

Tapi bagaimana dengan buku harian milik Mercy? Charity kembali memperhatikan buku itu, sedikit ragu untuk membukanya. Tangan kanannya memegang sebuah pulpen, bersiap menjadikan Diary itu miliknya. Kalau sang pemilik buku akhirnya menghilang karena mencari tahu tentang rumah ini, Charity akan membantunya menulis cerita berbeda. Mata hijau gadis itu terbelalak melihat halaman ketiga.

Kenapa ... sekarang ada tulisan didalamnya? Charity yakin sekali waktu itu halaman ketiga dan yang lain masih kosong. Apa-apaan?

"Dua hari lalu, aku tidak jadi pergi ke halaman belakang dan memeriksa semuanya. Kuputuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang rumah ini terlebih dahulu. Pemilik rumah sebelumnya memberiku semua kunci rumah ini. Sama sekali tidak tahu harus apa dengan semua yang kudengar. Bagaimana aku harus menuliskan semuanya?"

Charity menelan ludahnya, kalimat-kalimat di halaman ketiga terasa begitu janggal. Apa yang ingin diceritakan Mercy tapi tidak bisa dituliskannya? Halaman berikutnya kosong, sama seperti kemarin.

"Charity, kenapa kamu terus berada di kamar?" Vergo menyandarkan tubuhnya di pintu kamar Charity yang terkunci. Dua hari ini putrinya itu mengurung diri dalam kamar.

"Aku baik-baik saja, Ayah. Tidak perlu khawatir."

Vergo tidak bisa menampik perasaannya, ia tahu Charity sedang dalam masalah. Apa keputusannya membawa gadis itu kesini salah?

"Aku akan pergi ke kantor pusat selama dua hari. Kamu ingin ikut? Atau merasa lebih nyaman di rumah sendirian?"

"Aku ikut!" Charity langsung membuka pintu kamarnya dengan semangat. Vergo tidak bisa menahan senyum melihat putrinya keluar dengan wajah yang lebih kusut dari rambutnya. Anak itu memang sepertinya bosan.

***

Charity baru menyadari satu hal setelah beberapa hari tinggal di rumah yang lebih mirip mansion kaum vampir, bahwa kebahagiaan ternyata sangat sederhana. Gadis itu tidak bisa menghentikan bibirnya yang terus tersenyum melihat pusat perbelanjaan di hadapannya. Ia sungguh merindukan aktifitas manusia normal, jalan-jalan, belanja, dan menghabiskan waktu menikmati secangkir kopi di sebuah kafe.

Charity membuka laptopnya masih dengan wajah sumringah. Kopi yang masih mengepulkan asap menjadi temannya duduk di kursi samping jendela dalam kafe yang mengingatkannya tentang teman-teman yang ia tinggalkan.

Ada banyak sekali email yang masuk dari teman-temannya. Ah, kenapa ia baru benar-benar menyadari betapa pentingnya mereka ketika sudah berjauhan? Kalau saja Charity bisa memilih, ia lebih baik kembali ke rumah lamanya dan memperbaiki semua sikap dingin yang selalu ia tampilkan. Waktu memang tidak bisa terulang.

Tunggu ... siapa bilang waktu tidak bisa terulang? Charity menghembuskan nafas frustrasi mengingat tentang siklus 33 tahun yang baru diketahuinya. Kalau sekarang Charity melarikan diri dan mengabaikan apa yang dialami Mercy, apa yang akan terjadi? Apakah rumah itu tetap menerima takdir lain 33 tahun lagi? Kalau Charity tidak melakukan apa yang diminta Mercy, apakah ia akan menghilang?

Arrghh ... semuanya malah semakin membingungkan. Tapi satu hal, gadis itu sudah membuat keputusan penting untuk menghentikan siklus 33 tahun rumah itu. Charity tidak akan pergi ke halaman belakang dan mencari surat Mercy di kolam penuh lumpur. Ia juga tidak akan pergi ke ruangan ketiga di lantai dua. Charity sungguh ingin tahu, apa yang akan terjadi kalau ia tidak menjalani takdirnya. Kalau ia dan Ayah tetap hidup di rumah itu, artinya Ayah tidak perlu menjualnya lagi. Dan ... siklus 33 tahun yang bodoh itu akan berhenti.

Tentu saja, memangnya siapa yang akan datang dan tinggal di rumah yang masih dihuni? Charity yakin sekali, pilihannya benar.