Chereads / Tentang (Aku) yang Lain / Chapter 3 - BAB 2

Chapter 3 - BAB 2

"Charity!" Gadis itu tahu kalau saat ini ia hanya berhalusinasi. Yang memanggilnya, ia tahu pasti itu suara orang yang sangat dirindukannya.

Ia tidak tahan untuk tak berbalik dan menemukan sesuatu yang membuat nafasnya terasa sesak. Disana, beberapa meter dari gerbang, Charity tak lagi menemukan hutan yang tadi dilihatnya. Pemandangan yang memenuhi bola matanya terasa begitu nyata, sebuah taman dengan berbagai jenis bunga menjadi latar dua orang yang sedang berdiri berhadapan. Seorang anak kecil, memakai gaun putih dan sayap berwarna senada dibelakang tubuhnya, mengacungkan pedang mainan ke arah wanita yang berdiri anggun tidak jauh darinya.

Charity tersenyum, merasa konyol dengan ulah gadis kecil yang tidak lain adalah dirinya saat usia enam tahun. Charity kecil sedang menjadi seorang malaikat, dengan pedang sebagai senjata. Wanita yang berdiri anggun dihadapannya ikut tersenyum.

"Berhenti bermain, malaikat kecil. Saatnya untuk makan siang."

Charity menatap lekat wanita yang sedang tersenyum lembut, menahan dadanya yang terasa begitu nyeri. Ibu ... Charity ingin memanggilnya.

Gadis kecil itu menggelengkan kepala, masih dengan posisi menodongkan pedangnya dengan wajah serius.

"Baiklah! Ayo bunuh aku, malaikat kecil. Setelah itu berjanjilah untuk makan."

Charity kecil mengangguk semangat dan memulai aksinya yang lebih aneh.

"Dengan kekuatan putih yang tersebar diseluruh penjuru dimensi waktu, terimalah kekalahanmu, " ucap gadis kecil itu sambil menghadapkan telapak tangan kirinya.

"Tunggu, Charity. Bukankah hari ini kamu ingin jadi malaikat pengendali pedang kehidupan seperti dalam buku yang baru kamu baca semalam? Tapi ... kenapa malah baca mantera seperti seorang penyihir?" Mendengar tawa renyah wanita yang begitu disayangi membuat lutut Charity melemah.

Tidak! Charity ingin berteriak menghentikan, lidahnya kelu, ia tidak bisa berbuat apapun. Rasa sakit menjalar hebat dikepalanya, berdenyut, melemparkannya pada memori yang sudah lama terlupakan. Kenapa dia harus ingat kenangan terakhirnya dengan Ibu? Hari itu ... adalah hari terakhir Charity merasa bahagia. Sekarang, ia bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tersenyum.

"Kemarilah, Charity. Apa kamu tidak merindukanku? Kemari ... dan peluk aku." Charity tergoda melihat Ibunya tersenyum, merentangkan tangan bersiap memeluknya. Bolehkah ia kesana?

Charity kembali melihat hutan berkabut dan menakutkan dihadapannya. Suara itu memerintahkannya untuk masuk dan menenggelamkan diri disana. Apakah ia memang harus kesana? Apa Charity bisa kembali bahagia bila masuk kesana?

"Kemarilah, Charity! Kau akan bahagia disini." Suara-suara itu makin memenuhi indera pendengarnya.

Charity ingin berjalan mendekat ketika sebuah cahaya menghantam tubuhnya dan melemparkan pada kegelapan terpekat.

Kedua matanya terbuka dengan nafas memburu. Charity masih berada dikamar yang ia masuki semalam. Sinar matahari pagi mengintip dari tirai jendela yang sedikit terbuka.

Itu semua hanya mimpi. Mimpi paling mengerikan yang pernah di alaminya. Juga yang paling terasa nyata. Charity menghembuskan nafasnya perlahan, mencoba tenang.

"Sepertinya tidurmu nyenyak, tuan putri."

Charity tersentak, matanya memandang Ayah yang berdiri sumringah dipintu. Itu memang hanya mimpi.

***

"Jadi, apa yang membuatmu tertidur disana?"

Charity menggigit roti bakarnya tanpa mendengarkan perkataan Vergo, ayahnya. Pikirannya masih terasa kalut, mimpi yang dialami benar-benar terasa nyata. Ketakutannya saat Ayah tidak ada, kolam penuh lumpur dan tak terawat di halaman belakang, juga hutan gelap dan berkabut yang mengerikan, semuanya terasa begitu nyata. Termasuk tentang kenangan hari terakhirnya bersama Ibu. Moodnya hari ini benar-benar buruk.

"Charity! Apa kamu dengar yang kukatakan? Kamu kenapa?" Vergo mengguncang tubuh Charity saat putrinya itu tidak menjawab sedikitpun pertanyaannya.

"Tidak apa, Ayah. Aku baik-baik saja," ujar Charity sedikit tersentak. Sebaiknya memang tidak perlu memikirkan hal yang membuatnya sakit kepala.

"Aku sudah selesai, terimakasih atas makanannya."

Vergo masih menatap lekat putrinya yang bersikap lebih dingin dari biasa, ada kekhawatiran saat Charity bilang ia baik-baik saja. Karna seperti wanita yang begitu dicintainya, Charity juga selalu menyembunyikan banyak hal. Ibu dan anak memiliki sifat yang sama.

***

Memang seharusnya tidak dipikirkan, tapi kepala Charity tidak pernah berhenti mengingat mimpinya. Hari sudah siang, dan lagi-lagi ia harus sendirian karna Ayah memutuskan untuk mendekam di perpustakaan seperti biasanya. Entah penelitian apa lagi yang dilakukan si ahli sejarah itu kali ini. Charity mendengus kesal pada otaknya yang tidak mau berhenti berfikir. Ayolah ... berhenti menyusun rencana bodoh!

Huufftt ... mungkin memang harus mengikuti rencana yang disusun kepalanya daripada dilanda rasa penasaran lebih dalam. Charity melangkah menuju kamarnya untuk mengambil syal sebelum pergi ke halaman belakang. Ia harus memastikan apakah kolam penuh lumpur dan hutan berkabut itu benar-benar ada atau hanyalah fantasi liar alam bawah sadarnya. Charity tidak akan dapat jawaban kalau hanya diam dan berfikir.

Sebuah buku terjatuh saat Charity mengeluarkan syal dari lemarinya. Diary yang ditemukannya beberapa hari lalu. Ah ... ia belum membacanya sampai akhir, kemarin baru sampai halaman pertama, sudah langsung memutuskan untuk berkeliling rumah. Charity mengambil Diary itu dan memutuskan duduk di ranjangnya sebentar, penasaran dengan apa yang dialami Mercy di rumah ini.

"5 Januari 1984"

"Hari ketiga di rumah baru yang terasa dipenuhi misteri, kemarin aku memutuskan untuk mengelilingi rumah dan mencari tahu sesuatu. Kuputuskan untuk memeriksa setiap ruangan di lantai dua terlebih dahulu, tempat yang belum pernah kudatangi sebelumnya. Ayah bilang ini bukanlah rumah angker dengan banyak penunggu gaib seperti novel-novel horor yang sering kubaca. Jadi sepertinya aku akan baik-baik saja kalau berkeliling dan memeriksa semuanya."

Charity menutup bukunya dengan tangan gemetar. Apa-apaan ini? Kenapa kejadiannya sama persis? Bahkan yang dikatakan Ayah ... Tidak! Ini mustahil terjadi, kan? Bisa saja saat itu Mercy memang penasaran. Memangnya siapa yang tidak merasa begitu saat pindah ke rumah aneh ini? Ya ... pasti begitu. Charity kembali membuka Diary itu dengan perasaan cemas.

"Aku memutuskan untuk memeriksa dari ruangan paling ujung, sebuah kamar ternyata. Semuanya masih lengkap, ditutupi debu yang begitu tebal. Oh iya, aku menuliskan namaku di cermin besar yang juga tertutup debu. Bahkan peralatan make-up nya masih begitu lengkap. Kenapa penghuni sebelumnya tidak membereskan semua barang-barang? Aku penasaran sebenarnya. Aku ingin memeriksa semuanya malam itu juga, tapi entah kenapa aku langsung mengantuk dan tertidur di kamar itu."

Ada yang tidak beres. Kenapa kejadiannya sama persis? Bahkan sekarang Charity tidak bisa berfikir jernih, ketakutan dan rasa cemas mendominasi perasaannya. Apakah Ayah perlu diberitahu? Atau nanti saja saat semuanya sudah lebih jelas? Aarrghh ... kepalanya terasa berdenyut dan begitu menyakitkan. Charity kembali membuka bukunya, sambil berharap Mercy tidak mengalami mimpi yang sama.

"Saat terbangun, aku berada di kamarku sendiri. Awalnya kufikir Ayah memindahkanku, dan keluar dari kamar tanpa rasa takut atau apapun. Tapi Ayah tidak ada di rumah. Aku mencarinya ke setiap sudut tapi tidak menemukannya. Pintu depan terkunci dan aku benar-benar ketakutan berada sendirian di rumah sebesar ini.

Ketika langkahku menuju halaman belakang, yang kulihat adalah kolam tak terurus dan penuh lumpur, gerbang besi yang dirambati Bougenville ungu, dan hutan berkabut yang menakutkan. Dan ... kenangan hari terakhir bersama Ibu. Rasanya seluruh kekuatanku menghilang saat melihat lagi senyumnya, mendengar suaranya, dan saat dia memanggil namaku ... ketika katanya aku akan kembali ke masa-masa penuh kebahagiaan itu kalau masuk ke dalam hutan yang gelap dan berkabut dihadapanku. Aku ingin sekali ... aku ingin sekali pergi kesana dan menemui Ibuku.

Tapi aku kembali pada kamar yang kumasuki semalam. Ternyata semua itu hanya mimpi. Mungkin aku terlalu merindukan Ibu hingga punya mimpi seaneh itu. Dan hari ini, aku memutuskan untuk ke halaman belakang dan memeriksa. Aku penasaran, kolam penuh lumpur dan hutan berkabut itu benar-benar ada atau tidak."

Diary itu terjatuh dari tangan Charity begitu ia selesai membaca halaman kedua. Kepalanya semakin berdenyut, memikirkan ia dan Mercy mengalami hal yang sama. Kolam penuh lumpur, hutan berkabut, dan kenangan hari terakhir bersama Ibu. Kenapa? Apakah takdirnya dan Mercy saling terhubung? Atau mereka punya takdir yang sama?

Charity kembali mengambil Diary itu di lantai dan memutuskan untuk membaca semuanya sampai tuntas. Ia juga penasaran apa yang terjadi pada Mercy setelah pergi ke halaman belakang.

Tidak mungkin! Charity menelan ludahnya dan semakin ketakutan saat membuka halaman ketiga. Kosong, tidak ada tulisan apapun disana. Bahkan di halaman-halaman berikutnya, semuanya kosong. Apa yang terjadi pada Mercy? Apa dia benar-benar pergi ke hutan berkabut itu dan menghilang? Itukah sebabnya rumah ini kembali dikosongkan?

Charity meletakkan Diary itu dan bergegas keluar. Ia tidak akan pergi memeriksa ke belakang, sebelumnya Charity harus tahu lebih banyak tentang rumah ini. Ia tidak akan mengambil langkah yang sama dengan Mercy. Bodoh namanya kalau tetap pergi kesana setelah membaca Diary itu. Kakinya melangkah menuju perpustakaan, dimana mungkin semua tentang rumah ini ada di salah satu buku disana.

***

Seorang lelaki bermata biru dengan jubah hitam berdiri di lantai dua dan memperhatikan Charity yang bergegas menuju perpustakaan.

"Dia mengambil keputusan yang sama, bukan? Takdir memang tidak bisa dihindari begitu saja."