Chereads / 1912-1932: I Love You, Maria Van Der Wijk / Chapter 2 - Si Pencinta Hujan

Chapter 2 - Si Pencinta Hujan

Bandung, tahun 1926

***

Hari ini ban sepeda Maria kempes dan ia terpaksa meminta Arya mengantarnya ke sekolah. Arya sudah duduk di kelas dua HBS (Hogere Burgerschool) dan Maria di tahun terakhir ELS (Europeesche Lagere School).

Sebenarnya tahun lalu Maria bisa lompat kelas dan langsung lulus, tetapi ia jatuh sakit selama tiga bulan dan tidak bisa mengikuti ujian kelulusan sehingga tetap di kelas reguler. Walaupun demikian, semua pelajaran di levelnya sekarang terasa sangat mudah bagi Maria yang pintar.

Ia lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku pelajaran Arya daripada buku pelajarannya sendiri. Kadang-kadang, kalau sedang malas, Arya akan meminta Maria mengerjakan PR-nya dengan imbalan mengantar jemput gadis itu kapan pun ia butuhkan, seperti hari ini.

Sesudah bel pulang berbunyi, Maria menunggu Arya menjemputnya di perpustakaan sekolah sambil membaca jurnal kedokteran terbaru langganan kepala sekolah. Sayangnya, tidak satu pun kalimat yang dibacanya merasuk ke benak Maria, karena saat ini ia sedang gundah memikirkan pendaftarannya ke HBS sesudah lulus dari ELS sebentar lagi.

Mevrouw* Vos pernah memujinya sebagai murid paling cerdas yang pernah ia ajar sepanjang kariernya, dan mendorong Maria mencari beasiswa kuliah ke negeri Belanda untuk menjadi ilmuwan seperti Marie Curie. Maria sangat gembira mendengarnya. Ayah juga dulu sekolah di Belanda dan Maria ingin mengikuti jejaknya.

Sayangnya, kecerdasan Maria tidak ada artinya di mata keluarga besar Haryakusumah, kakeknya. Ibu dan Kakek menganggap seharusnya dua tahun lalu Maria berhenti sekolah dan mulai dipingit seperti kebanyakan anak perempuan sebayanya. Mereka cukup konservatif dan kolot.

Ibu sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan umum, dan hanya memiliki guru pribadi yang mengajarinya membaca dan menghitung serta kepandaian putri.

Maria berhasil bersekolah sejauh ini karena ayahnya yang mengenyam pendidikan Barat cukup berpikiran terbuka dan memohon kepada Kakek agar Maria setidaknya lulus dulu dari ELS.

Dibandingkan Kakek, kedudukan Ayah yang lebih rendah membuatnya kalah suara untuk memuluskan kesempatan Maria melanjutkan sekolah ke HBS. Maria sudah pasti harus mulai dipingit dan disiapkan untuk menikah setelah lulus dari ELS.

Dan bulan depan Maria akan lulus...

"Heh, melamun." Arya yang baru tiba di perpustakaan mencuil bahu Maria yang lesu. Jurnal yang dibacanya sejak satu jam lalu masih belum beranjak dari halaman pertama. "Ayo pulang, sebentar lagi hujan."

Maria mengangguk dan bangkit mengikuti Arya ke halaman tempat ia memarkir sepedanya. Mereka lalu berangkat pulang. Baru setengah perjalanan tiba-tiba hujan turun dengan deras dan mereka terpaksa berhenti.

"Turun hujan! Ayo kita berteduh!" seru Arya sambil meminggirkan sepeda dan berteduh di bawah pohon beringin besar. Ia membuka jas dan menutupkannya ke kepala Maria. "Sinikan tasmu, biar tidak kebasahan."

Maria menurut dan menyerahkan tasnya kepada Arya untuk ditutupi dengan tas pemuda itu, agar tidak terkena hujan. Mereka berdiri dengan sabar, menunggu hujan berhenti.

"Hmm... kaucium bau ini?" tanya Arya tiba-tiba. Ia memejamkan mata dengan khidmat dan menghirup napas dalam-dalam. "Bau khas hujan! Alam sungguh murah hati kepada kita dengan menghadirkan keindahan di setiap tetes air, setiap tiupan angin, dan setiap langkah kita menapak bumi."

Maria menoleh dan tersenyum melihat Arya yang selalu bersikap seperti kanak-kanak saat hujan tiba. Pemuda itu mencintai hujan, dan Maria bisa bersumpah saat pertama kali melihat pelangi sehabis hujan, Arya terpukau dengan mulut ternganga setengah jam lamanya.

Arya sering menulis puisi tentang hujan dan akhir-akhir ini bahasanya saat bicara tentang hujan terdengar semakin romantis.

Maria berdeham, "Hujan itu dua bagian hidrogen dan satu bagian oksigen, tidak ada baunya. Bau yang kita cium ini dihasilkan suatu senyawa di tanah yang bereaksi dengan udara dan air hujan, bisa jadi ini sebenarnya adalah bakteri."

Arya menyentil kening Maria sambil geleng-geleng. "Di kepalamu isinya hanya sains."

"Dan di kepalamu isinya hanya novel petualangan," balas Maria tak mau kalah. "Kapan Petualangan Karel Keliling Dunia dengan Balon Udara selesai ditulis?"

"Sudah hampir selesai." jawab Arya dengan nada bangga. "Nanti kau jadi yang pertama membacanya. Kau pasti kagum karena ceritanya jauh lebih bagus daripada cerita Jules Verne. Selain keliling dunia, Karel juga menemukan benua baru yang belum ada di peta..."

"Arya... kalau aku tetap tidak diizinkan Ibu melanjutkan sekolah, aku mau kabur saja ke Belanda ikut Mevrouw Vos yang menikah dan pulang ke Utrecht," Maria tiba-tiba memotong cerita Arya. "Kau jangan bilang Ibu ya... Mevrouw Vos bilang aku bisa jadi ilmuwan."

Arya tertegun mendengar ucapan Maria yang tiba-tiba ini.

"Kau berani ke Belanda sendirian? Kau masih kecil!"

"Nanti kau bisa menulis buku tentang aku," kata Maria dengan senyum kecil. "Petualangan Maria di Negeri Kincir Angin."

"Tidak boleh! Kau tidak boleh pergi. Aku akan membuat Ibu mengizinkanmu sekolah," kata Arya tegas.

Arya sendiri tidak suka sekolah. Satu-satunya pelajaran yang ia sukai adalah Sastra, karena ingin menjadi penulis. Namun ia tahu betapa pentingnya sekolah bagi adik angkatnya yang penggila sains itu. Hanya saja ia tidak menyadari bahwa Maria cukup gila untuk berani kabur dari rumah demi bisa melanjutkan sekolah.

"Aku akan protes kepada Ibu dan Kakek. Kalau kau tidak sekolah lagi, aku juga tidak mau sekolah."

Arya terdiam lama. Sebenarnya yang lebih berhak mengenyam pendidikan adalah Maria, karena gadis itu lebih pintar dan sangat menyukai sekolah. Ia sendiri sudah bertekad akan pergi bertualang begitu menamatkan pendidikannya di HBS dan tidak melanjutkan kuliah.

Perhatiannya kemudian teralihkan oleh tetesan air hujan yang mengenai wajah Maria karena tertiup angin. Ia menarik jas di kepala Maria hingga menutupi wajah gadis itu sepenuhnya.

"Ugh... tutup kepalamu, jangan sampai basah, nanti kau sakit."

Maria menggeleng. "Air hujan tidak membuat orang sakit. Manusia cuma sakit kalau kehujanan saat daya tahan tubuh kita sedang lemah. Aku kuat seperti kerbau."

Ia melongok dari balik jas Arya dan menimbang cuaca. "Sepertinya hujan masih lama. Lebih baik kita pulang hujan-hujanan daripada harus menunggu sampai malam. Aku tidak mau mengerjakan PR-mu kalau sudah gelap. Listrik dari GEBEO (Gemeenschappelijk Electrisch Bedrif Bandoeng en Omstreken) kan tidak bisa diandalkan dan cahaya lilin membuat mataku sakit."

Arya menggeleng-geleng melihat Maria selalu bicara lugas.

Karena biasanya Maria benar, Arya pun mengikuti sarannya dan akhirnya mereka melanjutkan perjalanan walaupun hujan masih turun dengan deras. Dengan tubuh basah kuyup Arya memacu sepedanya kuat-kuat, sementara Maria memeluk pinggangnya erat-erat sambil menutupi kedua tas mereka agar tidak basah. Kepalanya tertutup jas Arya sepenuhnya hingga ia tidak bisa melihat jalan.

Akhirnya ia menyandarkan kepala ke punggung pemuda itu dan mencoba tidak memikirkan sekolahnya.

Air hujan sama sekali tidak mengganggu Arya walaupun matanya harus menyipit agar tidak kemasukan air saat memacu sepeda. Ia sibuk memikirkan segala cara untuk membujuk atau mengancam orang tuanya agar mengizinkan Maria melanjutkan sekolah.

Saat ini, satu-satunya yang masuk akal adalah dengan mogok sekolah.

***

.

*Di zaman Belanda dulu ada beberapa jenis sekolah negeri:

ELS (5-6) tahun untuk anak Eropa kaya dan bangsawan pribumi, yang dilanjutkan ke HBS (5 tahun). Di Indonesia dulu hanya ada 5 HBS (Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Bogor).

Untuk anak pribumi dan anak Eropa biasa ada sekolah AMS (6 tahun) yang dilanjutkan ke MULO (5 tahun).

Selain itu ada sekolah-sekolah buatan pribumi (swasta) seperti Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara dan Sekolah Kautamaan Istri (Perempuan) yang didirikan Raden Dewi Sartika.

*Mevrouw = Nyonya (bahasa Belanda)

*Meneer = Tuan (bahasa Belanda)