Chapter 3 - Ini Abad Ke-20

Sudah dua minggu Arya mogok sekolah. Telinganya seakan tuli mendengar omelan ibunya setiap hari yang menyuruhnya berangkat sekolah.

"Kau sudah bukan anak-anak lagi, kenapa sikapmu begini? Anak laki-laki harus bertanggung jawab mengurus keluarga dan tidak boleh bodoh."

"Aku memang bukan laki-laki bertanggung jawab, jadi aku tidak akan berkeluarga," jawab Arya seenaknya. "Ibu tahu kan aku hanya ingin bertualang. Maria saja yang mengurus keluarga, dia yang pintar di rumah ini."

"Kalau Maria yang sekolah dan kau tidak, apa kata orang? Apa kau tidak malu? Mau ditaruh di mana muka Ayah dan Ibu?"

"Justru itu, kalau Maria tidak sekolah, aku jadinya tidak punya alasan untuk malu, kan?" balas Arya cepat.

Maria yang sedang menyulam di sudut ruangan hanya bisa tersenyum kecil mendengarnya. Ibu menoleh kepada Ayah untuk meminta bantuan, tetapi Ayah pura-pura tidak mendengar dan menyibukkan diri dengan laporan.

"Baiklah, kau sendiri yang bilang pada Kakek," kata Ibu setengah menyerah, "minggu depan di pesta ulang tahunnya."

Sejak Kakek pensiun beberapa tahun lalu, anak lelaki satu-satunya menggantikan Kakek sebagai pemimpin kabupaten. Namun untuk acara-acara penting di kabupaten, Kakek masih memegang peranan penting dan dituakan.

Acara ulang tahunnya pun masih dirayakan secara meriah di paseban, dengan mengundang semua pejabat bawahan dari setiap kecamatan dan kawedanaan di wilayah kabupaten, bahkan wali kota Bandung, S.A. Reitsma, dan para pejabat Belanda dari karesidenan Priangan juga akan menyempatkan hadir.

Arya tidak gentar. Kakeknya hanya punya satu cucu laki-laki dan ia memanjakan Arya dengan sangat berlebihan. Belum pernah Arya gagal memperoleh keinginannya selama ini.

"Ibu harus berjanji, kalau aku bisa membujuk Kakek, Maria harus melanjutkan ke HBS," katanya tegas.

Ibu mengangguk enggan. Maria adalah anak angkat, pikirnya. Kalau mereka bisa menikahkannya dengan pejabat penting, akan baik nasibnya, tetapi kalaupun Maria berkeras mau sekolah dan hidup seperti gadis Eropa, keluarganya tidak usah menanggung malu karena toh dia bukan anak kandung yang membawa nama Adinata maupun keluarga besar Haryakusumah.

***

Perayaan ulang tahun Adipati Haryakusumah tahun ini diselenggarakan dengan meriah karena beliau sudah berumur 65 tahun dan ia merasa usianya tidak akan panjang lagi, sehingga ia menggunakan kesempatan itu untuk mengumpulkan anak-anak dan cucu dari ketiga istrinya.

Adipati Haryakusumah memiliki tiga istri dan masing-masing memberinya satu orang anak. Ibu adalah anak dari istrinya yang paling muda, tetapi satu-satunya yang memberi cucu laki-laki, sehingga Arya dimanja luar biasa. Apa pun keinginannya, pasti dikabulkan Kakek.

Seorang bupati adalah seperti raja kecil yang dikelilingi kehormatan dan kemewahan. Kakek jelas terlihat seperti raja kecil bersama keluarga bangsawannya di acara pesta itu. Lima cucu perempuannya, termasuk Maria si cucu angkat, mengenakan pakaian tradisional bangsawan yang anggun dan mewah.

Arya sendiri mengenakan beskap hitam dengan kain batik sutra, bukan jas dan celana panjang seperti yang dipakainya sehari-hari kalau ke sekolah. Mereka khusus diminta tampil sebaik mungkin karena Kakek juga ingin mengambil foto keluarga.

Arya terlihat sangat tampan malam ini dan banyak keluarga bangsawan yang hadir memujinya sebagai penerus Kakek. Paman Brata yang sekarang menjadi bupati menggantikan Kakek tidak punya anak lelaki dan kemungkinan nanti kalau ia pensiun Arya-lah yang akan diminta menggantikannya.

Arya pura-pura tidak mendengar bisik-bisik dari para tamu yang berharap bisa mengambilnya sebagai menantu.

"Semoga Kakek tetap sehat dan panjang umur," kata Arya sambil mencium tangan kakeknya.

Maria juga mencium tangan Kakek dan mengangguk. "Selamat ulang tahun, Kakek."

"Aku dan Maria punya hadiah untuk Kakek," kata Arya kemudian.

Ia menunggu pertunjukan rampak kendang selesai dan para pemain kendang turun, kemudian ia naik ke panggung. Mereka berdua segera menarik perhatian para tamu karena Arya membawa kecapi ke atas panggung dan kursi untuk dirinya sendiri.

Ia lalu mengeluarkan seruling dari balik punggung, sementara Maria mengikutinya dan duduk bersimpuh di depan kecapi yang disiapkan Arya. Perlahan ia pun mulai memetik kecapi.

Denting-denting melodi indah dari petikan kecapi Maria kemudian diiringi alunan seruling Arya yang merdu, seakan menyihir para hadirin pesta. Lagu yang mereka mainkan adalah lagu kesukaan Kakek dan beliau tersenyum lebar saat mendengar musik mengalun indah.

Semua orang bertepuk tangan meriah ketika mereka selesai. Melihat Kakek tampak sangat gembira, Arya segera melancarkan serangan.

"Kakek, bulan ini Maria akan lulus sekolah dan aku mau dia melanjutkan ke HBS," katanya tanpa basa-basi. "Ibu bilang kalau Kakek setuju, Maria tidak akan dipingit sekarang."

"Perempuan harus belajar mengurus keluarga," jawab Kakek. "Umurnya sudah mau lima belas tahun. Sebentar lagi kita harus siap menerima lamaran. Tadi sudah ada beberapa wedana dan patih yang datang ke Kakek untuk membicarakan perjodohan."

"Aduh, Kakek... sekarang sudah abad ke-20. Sudah bukan zamannya menjodohkan anak." Arya melirik ayah dan ibunya sambil menghela napas.

Orangtuanya juga tidak menikah karena cinta. Ayah adalah anak seorang wedana di bawah kekuasaan Kakek, yang berhasil mengambil hati Kakek dua puluh tahun lalu dan melamar anak bungsu Bupati untuk dinikahkan dengan putranya.

Raden Panji dan Nyimas berbeda bagaikan langit dan bumi. Raden Panji yang mengenyam pendidikan Barat, dan sempat bertualang lama di Eropa, menikah dengan anak bupati itu demi menyenangkan hati ayahnya yang sakit parah dan sekarat.

Ibu dididik secara konservatif sejak kecil dan tidak pernah keluar dari Jawa. Baginya, menikah dengan lelaki pilihan orang tua adalah sesuatu yang wajar. Ia termasuk beruntung karena suami yang dipilihkan untuknya bukan bupati tua yang sudah memiliki beberapa istri. Panji masih muda dan tampan, dan dengan pengaruh ayahnya bisa mendapatkan kedudukan sebagai jaksa.

Nyimas menghormati suaminya dan Panji bersikap sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab, tetapi hingga dua puluh tahun menikah tetap ada jarak di antara mereka yang tak bisa ditembus, karena pemikiran keduanya tidak pernah ada di level yang sama.

Kadang-kadang Arya merasa kasihan memikirkan ayahnya yang mungkin akan lebih bahagia bila menikah dengan perempuan yang juga terdidik secara barat, atau tidak menikah sama sekali.

Sejak Raden Mas Panji Sosrokartono yang akrab disebut Raden Kartono, kakak kandung Raden Ajeng Kartini, pindah ke Bandung dari Eropa tahun lalu, Ayah mulai terlihat bahagia karena memiliki teman bertukar cerita tentang kehidupan mereka di Belanda. Raden Kartono kakak kelasnya di Leiden dan Ayah sangat mengaguminya.

Raden Kartono tidak pernah menikah, mungkin karena tidak ada perempuan yang sanggup mengikuti pemikirannya yang genius dan kesibukannya sebagai wartawan perang dan interpreter di Liga Bangsa-Bangsa. Dan yang paling penting, ayahnya yang bupati Rembang tidak pernah memaksanya menikahi perempuan mana pun.

"Seperti Kakek lihat tadi, Maria bisa memainkan kecapi dengan baik. Dia juga bisa menari, menyulam, dan menjahit. Artinya walaupun tidak dipingit, Maria tetap bisa belajar kepandaian putri dan mengurus rumah tangga. Tidak adil rasanya kalau Maria yang lebih pintar dariku harus berhenti sekolah hanya karena dia harus belajar mengurus rumah. Aku juga bisa bantu mengurus rumah kok. Ini sudah abad ke-20, laki-laki juga bisa menyapu dan memasak," kata Arya kemudian.

Kakek tampak mengernyitkan kening setiap kali Arya menyebut "abad ke-20", apalagi saat Arya menyebut laki-laki bisa menyapu dan memasak.

"Kalau Paramita melanjutkan ke HBS, baru lima atau enam tahun lagi dia lulus dan umurnya nanti sudah terlalu tua untuk menikah. Kau harus memikirkan masa depannya," jawab Kakek.

"Maria sangat pintar, dia bisa lompat kelas," kata Arya cepat. "Sekarang saja dia sudah sering membantuku mengerjakan PR, dan nilai-nilainya bagus. Aku sudah tanya Meneer* Timmer, katanya Maria bisa ikut tes khusus untuk masuk HBS. Lagi pula apa salahnya kawin di umur dua puluh? Maria cantik sekali, siapa pun pasti mau menunggu dia lulus sekolah."

Sebenarnya dalam hati Arya tahu ia tidak akan membiarkan Maria dinikahkan begitu lulus HBS. Ia akan pergi bertualang dan mengajak Maria bersamanya ke Eropa. Di sana Maria bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah, dan ia akan bekerja sambil menulis.

Tapi yang penting sekarang keluarganya mengizinkan Maria melanjutkan sekolah dulu ke HBS. Lima tahun lagi baru ia akan memikirkan bagaimana caranya mereka bisa kabur ke Belanda bersama-sama.

"Kalau Kakek berkeras agar Maria dipingit, sebaiknya aku dipingit juga. Aku tidak mau sekolah kalau tidak ada Maria." Arya mengeluarkan senjata pamungkasnya, berupa ancaman mogok sekolah, karena Kakek sepertinya tetap bergeming.

Kakek menatapnya lama sekali, kemudian menggeleng-geleng.

"Kau tadi bilang laki-laki bisa menyapu dan memasak? Kakek mau lihat dulu kau menyapu dan memasak di rumah peristirahatan Kakek setiap akhir pekan. Selama kau bertahan, Paramita bisa tetap sekolah."

Arya hampir protes ketika dari sudut mata ia melihat Maria memohon kepadanya agar cepat-cepat menyetujui persyaratan Kakek.

Menyapu dan memasak?

Di rumah peristirahatan Kakek yang di Ciwidey?

Bisa jadi sepanjang Sabtu dan Minggu dari pagi hingga sore tidak akan selesai karena rumah peristirahatan Kakek luas sekali...

Dan itu berarti Arya sekarang benar-benar harus belajar menyapu dan memasak untuk membuktikan ucapannya kepada Kakek.

Ia belum pernah menyentuh sapu sebelumnya.

"Baiklah," jawab Arya kemudian.

Dalam hati ia berharap Kakek hanya bercanda dan minggu depan ketika ia datang untuk melakukan tugasnya, Kakek tidak jadi menyuruhnya bekerja. Kalau tidak, dia akan mendorong Maria untuk belajar keras dan lompat kelas terus-terusan supaya segera lulus dari HBS.

"Terima kasih, Kakek," kata Maria gembira sambil memeluk Kakek. Ia kemudian mendatangi Arya dan memeluknya lama sekali. "Terima kasih, Arya."

Sesaat Arya tertegun. Tiba-tiba perasaan gundahnya karena membayangkan harus bekerja menyapu di rumah kakeknya selama bertahun-tahun hilang begitu saja, digantikan perasaan lega. Ia lega karena berhasil menyelamatkan Maria dari pingitan dan perjodohan, setidaknya untuk sementara.

"Maria, kau harus berhasil lompat kelas," bisiknya. "Aku tidak sanggup menyapu untukmu selama lima tahun."

***

.

*Meneer = Tuan (bahasa Belanda)