Chereads / 1912-1932: I Love You, Maria Van Der Wijk / Chapter 4 - Anak Residen Priangan

Chapter 4 - Anak Residen Priangan

Kakek menepati kata-katanya. Maria boleh melanjutkan sekolah ke HBS, tetapi Arya juga harus datang ke rumah peristirahatan Kakek di Ciwidey setiap akhir pekan seperti janjinya. Ia juga harus ikut membantu para pelayan memasak di dapur.

Kakek senang mengadakan perjamuan dan dan mengundang penduduk sekitar setiap hari Minggu. Semua orang mengira Arya akan menyerah setelah satu hari tetapi nyatanya ia terus bertahan.

Maria pun lulus ELS dan mendapatkan rekomendasi khusus dari Kepala Sekolah dan guru-gurunya saat mendaftar masuk HBS, sehingga ia diperkenankan masuk ke kelas sesuai dengan hasil tes yang diikutinya.

Tidak seorang pun menyangka ia akan langsung dimasukkan ke kelas 3. Saat tahun ajaran baru dimulai Maria akan masuk di tingkat yang sama dengan Arya tetapi beda kelas.

Maria sudah menyanggupi akan membantu Arya mengerjakan PR-PR-nya sepanjang tahun, sebagai balas budi, dan itu sudah cukup buat Arya.

***

Minggu pertama tahun ajaran baru, Arya bolos sekolah. Kakek memintanya ikut ke Batavia untuk menghadiri acara penghargaan penting di Ibukota sehingga selama satu minggu pertama Maria berangkat sekolah sendirian.

Seminggu kemudian barulah Arya mendengar kegegeran di antara teman-teman sekelasnya tentang murid baru di kelas 3 yang pintar dan anak residen Priangan.

"Ada dua murid baru di kelas 3," kata Jan saat Arya tiba di kelas pagi itu. "yang satu anak pintar dari ELS yang ikut ujian untuk lompat kelas. Cantiiiiiiik sekali. Yang satu lagi ternyata anak Residen Priangan. Minggu lalu dia masuk sekolah pertama kali diantar ayahnya dan itu lumayan bikin heboh."

***

HBS BANDUNG - SEMINGGU YANG LALU

Residen adalah jabatan tertinggi kepala pemerintahan di bawah gubernur Jenderal Belanda di Batavia yang memerintah langsung mewakili Raja dan Ratu Belanda. Ada 22 karesidenan di Pulau Jawa yang masing-masing membawahi beberapa kabupaten.

Kebanyakan residen di Hindia Timur ditugaskan dari Belanda ketika mereka sudah berumur dan anaknya sudah dewasa, jarang sekali ada anak residen yang ikut bersekolah di sekolah negeri, sehingga kehadiran seorang anak residen di HBS Bandung kali ini terasa sangat istimewa. Hendrik Von Schierlijk baru ditugaskan ke Priangan menggantikan residen sebelumnya yang pensiun dan rupanya ia membawa serta anak bungsunya yang masih remaja.

Hermand Von Schierlijk memiliki wajah yang sukar dideskripsikan. Rambutnya berwarna dirty blond acak-acakan dan hampir menutupi sebelah matanya yang biru berkilauan. Wajahnya yang tampan berbintik-bintik di bagian pipi dan senyumnya terlihat sangat jahil.

Tadinya ia sudah siap akan memotong rapi rambutnya begitu mendapatkan teguran pertama di sekolah baru, tetapi kemudian ia menyadari bahwa ternyata anak residen di negeri jajahan ini statusnya hampir seperti dewa, hanya kalah oleh anak gubernur jenderal.

Tidak seorang guru pun berani menegurnya. Kakak-kakak kelas memperlakukannya dengan segan dan gadis-gadis di sekolah terkikik genit saat ia lewat. Hermand belum pernah sepopuler ini dalam hidupnya.

Semua orang memandangnya dengan segan, kecuali satu orang. Orang itu bernama Dyah Paramita Adinata, yang hanya menoleh bila dipanggil Maria. Gadis itu bahkan tidak memandangnya sebelah mata dan bersikap acuh tak acuh kepadanya sejak awal.

Sebagai murid baru, kebetulan mereka berdua duduk di satu-satunya bangku yang masih kosong di kelas. Gadis itu kelihatan lebih muda dari teman-teman sekelasnya namun sama sekali tidak terlihat sungkan duduk sebangku dengan Hermand, seorang murid laki-laki.

Maria tidak mengucapkan sepatah kata pun selama 3 hari pertama dan Hermand hampir mengira dia bisu. Hermand hanya tahu bahwa teman sebangkunya itu memiliki nama pribumi walaupun penampilannya setengah Eropa.

Mungkin ayahnya seorang pribumi dan ibunya keturunan Eropa?

"Oh...dia itu memang terkenal kutu buku dari kecil." kata Jet saat Hermand mengeluhkan teman sebangkunya yang sama sekali tidak ramah itu di jam istirahat. "Anaknya baik, tapi dia tidak tertarik kepada manusia. Di kepalanya hanya ada sains. Jangan tersinggung kalau dia seolah tidak memperdulikanmu. Memang bawaannya begitu. Dia lebih muda dua tahun dari kita. Kemarin waktu tes masuk sini dia bisa lompat kelas langsung ke kelas 3. Bayangkan saja anaknya sepintar apa."

"Cantik-cantik kok kutu buku, mau jadi apa?" omel Hermand mendengar penjelasan Jet.

Ia tak pernah menyukai kutu buku. Mereka adalah orang paling membosankan di dunia. Namun kutu buku yang duduk acuh tak acuh di sebelahnya ini cantik sekali.

Kulitnya seperti krim yang sempurna dengan rambut panjang lebat berwarna kecokelatan. Matanya besar namun tampak teduh karena tertutup tirai bulu mata panjang yang seperti menyimpan sejuta misteri. Wajahnya cantik walaupun masih terlihat agak kekanakan. Saat melirik ke arah Maria, Hermand selalu teringat kepada peri.

Hermand mencuri pandang ke arah Maria di sebelahnya untuk mencari bahan percakapan karena setelah tiga hari ia tidak juga berhasil mengajak gadis itu bicara dan ia menemukan Maria sedang mengerjakan suatu rumus aljabar yang rumit.

Apa-apaan ini? Meneer Douwes belum menerangkan bab itu... Hermand membolak-balik bukunya sambil membaca tulisan guru Matematika di papan tulis untuk memastikan dia tidak salah membuka halaman.

Meneer Douwes sedang membahas halaman 5 tetapi Maria tampak asyik mengutak-atik rumus di halaman 45. Bah...

Tiba-tiba sesuatu terbetik di benak Hermand.

"Kau sedang bosan ya?" tanya Hermand kemudian. Maria mengangkat wajahnya dari arah buku dan kini memandang pemuda itu. Pelan-pelan ia mengangguk.

Oh... ternyata pelajaran yang sedang dibahas Meneer Douwes masih terlalu mudah untuk Maria dan ia memerangi rasa bosan dengan mempelajari sendiri bab-bab di bagian belakang yang sulit.

Ugh, padahal untuk ukuran anak-anak kelas 3 biasa, materi yang ada di halaman 5 saja sudah cukup membuat kepala pusing.

Rasanya Hermand ingin tahu apa yang ada di kepala gadis itu. Pasti otaknya memikirkan persoalan secara berbeda dibandingkan anak-anak normal lainnya. Hal yang sulit buat mereka - baginya sangat mudah. Bisa jadi kelambatan orang-orang mengikuti pemikirannya selama ini membuat Maria frustasi...

Barulah Hermand merasa sedikit simpati, pasti sulit hidup sebagai orang yang melihat segala persoalan dengan mudah dan hidup di tengah manusia-manusia yang perlu waktu lama untuk memahami hal-hal yang sudah dilihatnya dari semula.

Baginya dua tambah dua adalah empat, tetapi ia harus menahan diri agar tidak frustasi melihat orang-orang sibuk memperdebatkan apakah dua tambah dua adalah sepuluh.

"Kau suka membaca?" tanya Hermand lagi. Maria mengangguk pelan. Hermand tersenyum puas karena ia kini tahu cara untuk masuk ke dunia gadis ini. "Aku berani bertaruh kau belum pernah ke perpustakaan di Gedung Sate. Di sana ada koleksi Annalen der Physik yang lengkap, lho..."

Maria menggeleng.

"Aku bisa membawamu masuk ke bagian terlarang untuk umum dan kau bisa meminjam buku apa pun yang kau mau, asalkan... " Hermand melihat sepasang mata teduh itu tampak mulai bersinar, dan seketika ia merasa picik bila memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil keuntungan, karenanya ia berdeham, "asalkan kau mengembalikannya. Walaupun aku anak Residen, aku tidak boleh korupsi buku hanya karena kau cantik."

Maria mengangguk.

Kemajuan, pikir Hermand. Kali ini ia bersyukur atas kedudukan ayahnya. Dulu ia setengah mati menentang kepindahan keluarganya ke negeri jajahan ini, karena ia harus kehilangan teman-teman sepermainannya.

Namun ternyata, selain cuaca di Hindia Timur yang cerah sepanjang tahun, ia mendapat perlakuan bak raja kecil di sekolah. Di sebelahnya juga duduk gadis paling menarik yang pernah ia temui. Semua ini membuat hidupnya sekarang terasa jauh lebih baik.

Hermand belum pernah punya kekasih, tetapi itu karena ia belum menemukan perempuan yang membuat hatinya tersentuh seperti sekarang ini. Seorang kutu buku pula!

(padahal Hermand paling tidak suka kutu buku)