Keesokan harinya Hermand sudah menunggu Maria di kelas. Ia ingin mendengar langsung dari Maria apa hubungannya dengan pemuda kemarin. Mereka terlihat begitu akrab, bahkan Maria memeluknya dan tidak sungkan berboncengan sepeda dengannya.
"Maria, kau punya pacar ya?" tanyanya cepat-cepat.
Maria baru saja duduk di bangku dan mengeluarkan buku bahasa Latin untuk mata pelajaran pertama. Gadis itu seketika terpaku dan menatapnya keheranan.
"Pacar?"
"Yang kemarin kaupeluk-peluk dan boncengan sepeda?"
"Arya maksudmu?"
"Iya, Arya, si ketua murid."
"Arya itu kakakku."
"Kakak tiri? Atau siapa? Kakak angkat?"
"Kakak kandung. Ayahku hanya punya satu istri." jawab Maria mulai sebal. Ia memang tidak suka mendengar pertanyaan yang terdengar bodoh.
"Nonsens. Jelas-jelas kau itu setengah Eropa dan dia tidak. Aku sudah lihat ayahmu, dia pribumi. Ibumu pasti Eropa dan ibunya pribumi. Masa kau tidak mengerti sih? Bukannya kau pintar Biologi? Orang bodoh sepertiku saja tahu kalau kalian tidak mungkin bersaudara."
Maria terpaku di tempatnya dan menatap Hermand dengan bingung. Hermand memegang tangan Maria dan menyandingkannya dengan tangannya sendiri.
"Kulitku putih kemerahan, karena aku 100 persen Eropa. Kulitmu sedikit lebih gelap dariku, tapi masih termasuk putih. Kau pasti indo. Arya kulitnya kecokelatan, dia itu pribumi asli. Ini yang disebut genetik. Kalau begitu… ini artinya kau itu anak angkat."
Maria seketika merasakan kepalanya memusing. Kini ia yang merasa bodoh. Ia telah hidup bersama keluarga Adinata selama lebih dari 14 tahun dan tak pernah memikirkan bahwa warna kulitnya berbeda dari mereka. Tak seorang pun pernah mengacungkan jari dan menuduhnya sebagai indo selama ini.
Ia kemudian membayangkan wajah Ayah, Ibu, dan Arya... Mereka semua memiliki warna kulit yang sama, dan ia jelas-jelas melihat wajah Arya yang persis wajah ayahnya. Ia baru sadar bahwa wajahnya sendiri tidak mirip siapa pun...
Mengapa... mengapa ia tidak pernah memikirkan ini?
Lalu ia anak siapa?
Ia pasti anak angkat... tapi... mengapa semua memperlakukannya seolah ia adalah anak kandung keluarga Adinata? Mengapa tidak seorang pun mengatakan sesuatu selama ini?
Maria diam di sepanjang pelajaran dan membuat Hermand merasa bersalah karena ia telah membuka kotak pandora itu. Ia tidak tahu bahwa Maria sama sekali tidak menyadari bahwa ia adalah anak angkat. Dengan perbedaan warna kulit yang demikian nyata, seharusnya Maria mengerti sendiri... dia kan pintar?
Ketika lonceng pulang sekolah berbunyi, Arya datang ke kelas B untuk menjemput Maria, dan menemukan gadis itu duduk diam di tempatnya dengan berlinangan air mata, sementara Hermand tampak kebingungan di sebelahnya.
"Hei, Kau! Apa yang kaulakukan kepada Maria?!!" Arya dengan emosi segera menarik kerah baju Hermand.
Pemuda berambut pirang itu segera membalas tidak mau kalah, "Ayo, pukul aku kalau kau berani!"
Mereka berdua segera saling pukul. Hermand memang sudah sebal saat melihat Arya pulang berboncengan sepeda dengan Maria kemarin dan memanfaatkan kesempatan ini untuk meluapkan kekesalannya.
Arya tidak terima melihat Maria menangis seperti ini. Apa pun itu, pasti Hermand pelakunya. Ia jarang sekali melihat gadis itu menangis, dan bila ia sampai berlinangan air mata begini, pastilah ia merasa sangat tersakiti.
Teman-teman mereka berusaha melerai tetapi sulit sekali memisahkan kedua pemuda yang berkelahi seolah dipenuhi dendam kesumat itu. Barulah ketika Meneer Timmer, Kepala Sekolah, tiba di kelas, mereka berhenti berkelahi.
"Kalian seharusnya malu. Ketua murid dan Anak Residen justru memberi contoh buruk untuk teman-teman kalian di sekolah." Meneer Timmer memandang mereka semua dengan tajam dan memberi tanda agar keduanya mengikutinya ke kantor kepala sekolah. "Saya sangat kecewa."
Hermand membereskan pakaiannya yang kotor dan acak-acakan lalu mengikuti Meneer Timmer. Arya menghampiri Maria yang masih menangis di bangkunya dan memegang tangan gadis itu dengan lembut, "Sshh... jangan menangis lagi. Tunggu aku di sini, dari kantor Timmer aku akan menjemputmu."
Maria menatap Arya dengan pandangan yang sukar dijelaskan. Pemuda yang memegang tangannya dengan lembut ini bukanlah kakak kandungnya. Mengapa ia tidak pernah menyadari ini sebelumnya? Mengapa ia bodoh sekali?
Begitu Arya dan Hermand keluar dari kelas mengikuti kepala sekolah, Maria segera beranjak pergi. Air mata tak berhenti mengalir membasahi wajahnya.
***
Arya dan Hermand tidak mau menjelaskan kepada Meneer Timmer mengapa mereka berkelahi. Arya pun tidak tahu penyebab pastinya. Yang ia tahu, Hermand telah membuat Maria menangis.
Hermand juga tidak mau mengakui bahwa ia memukul Arya karena ia cemburu atas kedekatan pemuda itu dengan gadis yang disukainya.
Meneer Timmer dengan putus asa akhirnya menghukum mereka membersihkan sekolah selama seminggu dan besok orang tua keduanya harus datang untuk mendengarkan kelakuan mereka hari ini. Ia tidak senang memikirkan bahwa ia harus bertemu dengan Residen dan Jaksa karena anak-anak mereka berbuat onar di sekolah.
Arya mencari-cari Maria di kelasnya setelah keluar dari kantor kepala sekolah, tetapi gadis itu tidak ada di sana.
"Maria sudah pulang," kata Anneke.
"Kapan?"
"Tadi, begitu kalian pergi ke kantor Timmer".
"Oh..."
Arya cepat-cepat memburu sepedanya pulang ke rumah. Ibu sampai keheranan karena tidak biasanya Arya terlihat begitu kuatir.
"Maria di mana?"
"Bukannya tadi ke sekolah bersamamu? Dia belum pulang." jawab ibu heran. "Kenapa mukamu lebam begitu? Kau berkelahi???"
"Maria tidak pulang ke rumah??"
Arya seketika merasa sangat khawatir. Apa yang terjadi? Mengapa Maria demikian sedih? Mengapa ia tidak pulang ke rumah?
Berbagai skenario melintas di kepalanya. Ia memutuskan datang ke rumah Residen dan mencari Hermand. Ia ingin mendengar langsung dari pemuda itu, apa yang dilakukannya sehingga membuat Maria menangis.
"Hermand!! Ayo keluar kau!!"
Ia berteriak-teriak di depan rumah dinas megah Von Schierlijk dan beberapa penjaga segera mendatanginya.
"Hei, anak muda! Kenapa kau bersikap tidak sopan di sini? Kau tidak takut ditangkap?" seru seorang di antaranya.
"Aku teman sekolah Hermand. Aku mau bicara hal penting dengannya. Ayo panggil dia keluar!"
Hermand yang sedang mengobati luka di sudut bibirnya mendengar suara Arya dari luar dan segera menengok dari jendela kamarnya. Ia berseru, "Mau apa kau ke sini?"
"Apa yang kaulakukan kepada Maria tadi? Kenapa dia menangis? Sekarang dia kabur dari rumah."
Hermand sangat terkejut mendengar jawaban Arya. Ia buru-buru meloncat keluar lewat jendela kamarnya dan mendatangi Arya yang ditahan di depan pagar. "Apa kau bilang? Maria kabur?"
Arya mengangguk putus asa. "Apa yang kaulakukan? Aku belum pernah melihat Maria sedih seperti itu..."
Hermand terdiam agak lama, suaranya terdengar sangat bersalah ketika ia menjawab, "Aku bilang kalau dia anak angkat. Aku tidak tahu bahwa dia tidak mengerti..."
Saat itu ingin sekali rasanya Arya memukul Hermand lagi, tetapi dia sadar bahwa di sana banyak pengawal yang pasti akan menangkapnya kalau ia memukul Hermand. Lagipula... tidak ada gunanya.
Ia sekarang mengerti bahwa Maria merasa terpukul mengetahui bahwa ia bukanlah anak kandung keluarganya. Arya sendiri tidak mengira bahwa hal itu akan demikian menyakiti hati Maria... Ia mengira cepat atau lambat, Maria akan sadar sendiri.
Mereka tidak pernah menyinggung bahwa ia adalah anak angkat, tetapi Arya sudah tahu dari dulu bahwa suatu hari ia akan mencari waktu untuk duduk dan menyampaikan semuanya kepada Maria… bahwa ia menemukan gadis itu sewaktu masih bayi di dalam keranjang, di depan rumah mereka… bahwa Ia telah berjanji sejak belasan tahun yang lalu bahwa ia akan senantiasa menjaga bayi itu hingga kapan pun…
Ia menyesal membiarkan Maria mengetahui dengan cara seperti ini...