Demi Maria, Hermand dan Arya bersikap baik di depan satu sama lain. Sepulang sekolah Hermand mengajak mereka ke Gedung Sate dan mempersilakan keduanya memilih buku-buku yang ingin dibaca.
Hermand bukan kutu buku seperti keduanya, tetapi ia senang melihat wajah kagum Arya saat melihat koleksi di perpustakaan tersebut dan pandangan Maria yang berseri-seri saat membuka lembar demi lembar buku ilmu pengetahuan yang ada di rak khusus.
Karena Maria sering sibuk dengan dunianya sendiri, apalagi saat ia tengah khusyuk membaca, mau tak mau Hermand hanya bisa mengobrol dengan Arya. Ia mula-mula menanyakan kabar mereka setelah ditinggalkan ayahnya dan situasi di rumah. Ia tak dapat membayangkan bila ayahnya sendiri meninggal dan ia harus menjadi kepala keluarga di usia demikian muda.
Kalaupun itu terjadi, Hermand masih mempunyai dua orang kakak, sehingga bagaimanapun ia tetap akan memiliki pengayom bila orang tuanya tiada.
"Hmm... tidak terlalu baik. Ibuku menyalahkan Maria atas kematian Ayah. Aku takut meninggalkan Maria di rumah sendirian," kata Arya pelan. Ia melirik Maria yang sedang asyik membaca, tanpa menyadari betapa Arya sedang bersusah hati. "Kau sekarang sudah mengerti kan, kalau Maria itu anaknya unik... Aku takut ibuku akan bicara hal-hal menyakitkan dan Maria akan kabur lagi dari rumah."
"Memangnya kau harus pergi kemana? Kalian kan selalu bersama?" tanya Hermand keheranan.
Akhirnya Arya menerangkan perjanjian yang dibuatnya dengan Kakek. Ia mengangkat sepasang alisnya melihat wajah terkesima Hermand. Kalau Arya tak pernah menyentuh sapu sebelumnya, bisa dibayangkan bagaimana halnya dengan seorang anak residen.
Hermand menekap mulutnya kaget, "Kau membersihkan dan memasak di rumah kakekmu sepanjang akhir pekan? Kau tidak bermain atau liburan?"
Arya memutar bola matanya. "Aku tidak punya pilihan, kalau aku berhenti nanti Kakek dan Ibu akan menikahkan Maria. Kau lihat, bagaimana bisa anak itu bertahan kalau harus kawin dan melayani bapak-bapak bupati atau wedana sebagai suami?"
Hermand menoleh ke arah Maria lalu menatap Arya lama sekali. Akhirnya ia menggeleng-geleng.
"Orang inlander memang aneh," Ia mendengus. Dalam hati ia merutuk diri karena sudah kalah satu poin dari Arya. Apa gerangan yang dapat ia lakukan untuk membantu Maria?
Arya menghela napas, "Aku bisa saja sih mengajak Maria ke Ciwidey bersamaku."
"Uhm... sebenarnya kalau kau pergi ke Ciwidey di akhir pekan, aku bisa mengajak Maria ke rumahku untuk 'belajar' atau bertemu ibuku. Pasti ibumu takkan bisa menolak. Tidak seorang pun bisa berkata tidak kepada keluarga residen," kata Hermand kemudian. "Atau kita gantian. Kalau aku tidak bisa membawanya ke rumah, kau bawa dia ke Ciwidey. Bagaimana?"
Arya menatap Hermand dengan pandangan rumit. Ia tahu niat Hermand baik, tetapi ia tak tahu apakah ia bisa mempercayakan Maria kepadanya. Namun setelah berpikir keras beberapa lama, ia sadar ia tak punya pilihan.
Ia tak bisa mengambil risiko selama suasana hati Ibu masih sangat buruk. Mudah-mudahan beberapa bulan lagi situasi sudah membaik dan keadaan bisa kembali seperti semula. Bagaimanapun mereka adalah keluarga.
"Baiklah... aku setuju. Minggu ini aku akan mengajak Maria ke Ciwidey, minggu depan kau boleh membawanya ke rumahmu," Arya akhirnya mengangguk.
Mereka berdua memperhatikan Maria yang masih membaca. Mereka tahu gadis itu istimewa, sangat cerdas, tetapi juga sangat rapuh, dan saat ini mereka hanya ingin melindunginya.
Arya dan Maria pulang ke rumah membawa beberapa buku pinjaman. Hermand sudah memberi tahu kepada Mevrouw Visser untuk membiarkan kedua temannya itu meminjam buku kapan saja. Arya sangat berterima kasih atas kebaikannya. Ia tahu di saat sulit seperti ini, buku adalah teman terbaik bagi Maria dan dirinya sendiri.
***
Persahabatan ketiga orang itu menarik perhatian banyak orang. Anak Residen yang terkenal dan ketua murid yang nakal, serta si genius yang pendiam. Pelan-pelan Hermand dan Arya menemukan banyak persamaan di antara mereka saat mereka bertemu dan ngobrol sambil berbagi tugas menemani Maria. Keduanya suka bertualang dan bercita-cita menjelajahi dunia suatu hari nanti. Mereka juga sama-sama menaruh hati kepada Maria dan ingin melindunginya.
Dalam hatinya Hermand menaruh hormat kepada Arya yang sangat banyak berkorban untuk menjaga Maria selama ini, dan ia bertekad untuk bersaing secara sehat demi mendapatkan hati gadis yang mereka sukai. Mereka masih sangat muda, dan hidup masih sangat panjang untuk menapaki masa depan bersama.
Ketika Hermand bercerita kepada ibunya tentang Arya dan Maria, Nyonya Residen tampak sangat simpati. Ia meminta Hermand mengundang kedua temannya untuk minum teh bersama. Ia menyukai fakta bahwa sejak Hermand berteman dengan kedua orang itu, anaknya berubah sikap menjadi lebih bertanggung jawab dan tidak terlalu berandalan. Ia ingin bertemu langsung dengan teman-teman dekat anaknya.
Arya dan Maria dengan senang hati memenuhi undangannya. Bagaimanapun Arya bercita-cita untuk pergi bertualang ke Eropa setelah lulus HBS dan membawa Maria bersamanya untuk kuliah kedokteran. Ia akan memerlukan koneksi di Belanda untuk memudahkan rencananya dan keluarga residen sepertinya sangat baik kepada mereka.
"Saya sudah banyak mendengar tentang kalian," kata Nyonya Residen dengan ramah saat menyambut Arya dan Maria di ruang duduk yang menghadap ke taman. Istana Residen sangat megah dan ia menyambut mereka di ruang favoritnya di bangunan itu. Saat melihat Maria, Nyonya Residen segera mengerti mengapa anaknya sangat menyukai gadis itu. Maria memang sangat cantik dan lembut. Ia hanya tidak banyak bicara. "Kalian mau minum teh apa? Ada teh buah dan teh hitam."
"Maria menyukai teh buah, dan aku suka teh hitam, Mevrouw, terima kasih." jawab Arya dengan sopan.
Nyonya Residen bicara kepada pelayannya untuk membawakan dua poci teh berbeda dan beberapa cangkir serta kudapan. Segera mereka sudah menikmati minuman dan kue-kue sambil mengobrol. Ibu Hermand bertanya apa cita-cita Arya dan Maria, lalu menanyakan kabar ibunya, dan banyak hal lainnya. Ia terharu mendengar bahwa Maria ingin sekali menjadi dokter tetapi ia akan sangat sulit untuk melanjutkan sekolah setelah HBS karena keluarganya akan menikahkannya.
"Mungkin nanti suamiku bisa membantu kalian kalau mau ke Belanda untuk kuliah..." kata Ibu Hermand kemudian, "Kalau Arya mau kuliah apa?"
Arya tersenyum kecil dan menggeleng, "Saya tidak suka belajar, Mevrouw. Saya hanya ingin menjadi penulis. Nanti kalau sudah lulus saya akan berkelana sambil menjadi penulis. Setidaknya, begitulah rencana saya..."
"Oh ya? Wahhh... menarik sekali." Ibu Hermand mengangguk-angguk.
Sungguh pribadi yang menarik, pikirnya.
"Mama tidak pernah tanya apa cita-citaku," Hermand mengomel, "Anak orang diperhatikan, sementara anaknya sendiri tidak."
Ibu Hermand tertawa terbahak-bahak sambil menepuk bahu anaknya, "Halah, Mama sudah tahu dari dulu kalau kau mau masuk akademi militer. Buat apa Mama tanya lagi, seolah Mama tidak kenal anak sendiri."
Hermand hanya cengengesan mendengarnya. "Uhm... baguslah. Berarti aku memang bukan anak pungut, Mama ternyata mengenalku dengan baik."
Tiba-tiba gelas Maria terjatuh ke lantai dan pecah.
Semua serentak menoleh ke arahnya, dan Hermand langsung menekap mulut besarnya.
Astaga, tadi dia menyebut 'anak pungut'. Pantas saja Maria merasa tertusuk.
Hermand menatap Arya dengan pandangan bersalah. Arya hanya menghela napas dan menghampiri Maria dan membantu membereskan pecahan cangkir di lantai.
Ibu Hermand ikut duduk di samping Maria dan menyentuh dagunya, berusaha bicara kepada Maria dengan tenang.
"Maria... jangan sedih karena kau adalah anak angkat. Saya tidak punya pilihan, begitu Hermand lahir. Saya harus memeliharanya karena dia terlahir dari rahimku. Tetapi kamu, diangkat sebagai anak oleh keluargamu karena mereka memilihmu untuk menjadi anak mereka. Mereka punya pilihan dan mereka memilih untuk membesarkanmu dan menjadikanmu anak mereka. Ayahmu memilihmu, Arya memilihmu, dan ibumu memilihmu untuk masuk ke dalam hidup mereka."
Ia tersenyum lembut saat Maria menoleh dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan kemudian mengangguk membenarkan. Ibu Hermand kemudian melanjutkan, "Sekarang ibumu sedang berduka dan bersikap buruk, tetapi ayahmu dan Arya masih memilihmu dan mereka menyayangimu dengan jiwa raga mereka. Ayahmu bahkan mengorbankan nyawanya untuk melindungimu, dan Arya bekerja di tempat kakeknya agar kau bisa tetap sekolah. Jangan menilai rendah pengorbanan mereka dengan menangisi fakta bahwa kau adalah anak angkat."
Arya terpaku. Ia tak pernah memikirkan sudut pandang ini sebelumnya.
Semua orang begitu sibuk dengan status anak kandung atau anak angkat, tetapi melupakan fakta bahwa anak angkat bukanlah anak buangan. Anak angkat adalah anak yang dipilih orang tuanya. Berbeda dengan anak kandung, yang tidak dapat memilih mau dilahirkan di keluarga seperti apa.
Ia mengangguk haru dan memegang tangan Maria, "Itu benar. Aku dan ayah sangat menyayangimu. Kami memilihmu."
Pelan-pelan setetes air mengalir dari kedua sudut mata Maria dan ia mengangguk pelan.