Hermand keheranan melihat betapa cekatannya Arya memotong sayuran dan menyiapkan bumbu-bumbu. Untuk sesaat ia berdiri terpesona di pintu dapur dan tidak dapat berkata apa-apa.
"Kenapa kau berdiri saja di pintu? Ayo bantu aku. Petik leunca dan taruh di mangkok. Kakek suka makan sambal dengan lalapannya," kata Arya sambil menunjuk tumpukan sayuran mentah di sebelah kirinya.
"Astaga... kau sungguh-sungguh," cetus Hermand.
Arya memutar matanya mendengar kata-kata sahabatnya itu. "Memangnya aku pernah berbohong? Dasar."
"Maksudku.. astaga, demi Tuhan, Arya, kau itu cucu bupati. Tapi kau bisa memasak! Aku saja yang Belanda tidak pernah menyentuh sayuran mentah," tukas Hermand.
"Memang apa hubungannya dengan kau Belanda?" tanya Arya. "Memasak itu keahlian untuk bertahan hidup, tahu! Kalau kau tiba-tiba menjadi miskin dan tidak sanggup menggaji juru masak, siapa yang kau harapkan memasak untukmu?"
Hermand buru-buru menepis kepala Arya dan mengomel. "Kau ini hati-hati kalau bicara. Kau mau mendoakan keluargaku jatuh miskin? Aku bicara begitu karena di Eropa sudah biasa untuk laki-laki mengurus diri sendiri termasuk memasak. Kalau di Jawa ini kan setahuku semua laki-laki dilayani istrinya. Di sini istri itu hampir sama fungsinya seperti babu, kecuali kalau suaminya menak alias bangsawan."
Arya terpaksa membenarkan kata-kata Hermand. Di antara bangsanya, perempuan hanyalah warga kelas dua. Mereka ada untuk melayani laki-laki. Mulai dari melayani ayahnya, saudara laki-lakinya, dan setelah menikah mereka melayani suami dan anak-anaknya. Perempuan bahkan tidak diizinkan sekolah karena pendidikan hanya milik laki-laki.
Sedikit sekali perempuan pribumi yang bisa mengenyam pendidikan. Ibu Arya saja yang merupakan anak seorang bangsawan tinggi hanya mendapatkan pendidikan di dalam rumah. Ia tidak bersekolah. Maria beruntung memiliki ayah seperti Raden Panji yang berpikiran cukup Barat dan memaksa agar anak angkatnya itu mengenyam pendidikan di sekolah seperti Arya.
"Suatu saat nanti zaman akan berubah," kata Arya. "Aku ini kan seorang pionir yang berpikiran maju ke depan. Tentu saja aku memulai trend.. hahaha."
Hermand tahu tentang perjanjian Arya dan kakeknya, agar mengizinkan Maria tetap sekolah. Arya harus bersih-bersih di rumah peristirahatan kakek setiap hari Sabtu dan Minggu. Juga memasak! Tetapi kakek berbaik hati hanya meminta Arya memasak seminggu sekali dan hanya untuk kakek.
Tadinya Kakek sengaja menerima perjanjian ini karena mengira Arya tidak akan bertahan. Namun kini, hampir setahun lamanya pemuda itu masih setia datang ke rumah peristirahatan kakek setiap akhir pekan untuk melakukan tugasnya.
Keteguhan hati Arya ini akhirnya berhasil menyentuh kakek, dan ia mengurangi tugas-tugas pemuda itu. Ia hanya perlu memasak seminggu sekali, di hari Sabtu saja, dan hanya untuk kakek. Selebihnya ia juga tidak perlu banyak membersihkan. Ada berbagai pelayan yang akan membantunya. Kakek sudah senang kalau melihat Arya datang.
Sebagai cucu lelaki satu-satunya, Arya adalah cucu kesayangan kakek.
Akhirnya Hermand membantu Arya memetik lalapan leunca dan kemangi untuk menemani sambal yang dibuat Arya untuk makan siang mereka hari ini. Kakek mengundang Hermand dan Maria untuk makan bersamanya ketika mengetahui kedua remaja itu kali ini ikut datang bersama Hermand.
Sementara Hermand memetiki sayuran, Arya menggoreng ikan dan membuat sambal, Maria duduk di sudut ruangan sambil membaca. Arya tidak pernah meminta Maria membantunya. Gadis itu tidak berbakat bekerja di dapur. Terakhir kali ia diminta memotong sayuran, ia tidak sengaja mengiris jarinya sendiri dan membuat Arya kuatir setengah mati.
"Hmmm.. baunya enak sekali." Hermand mencium-cium ke udara. "Aku jadi lapar."
"Sudah kubilang aku jago masak sekarang," kata Arya sambil tersenyum lebar.
Mereka menyiapkan hidangan dengan rajin dan setengah jam kemudian, ketiganya telah duduk menghadapi meja makan bersama kakek. Seperti biasa kakek memuji masakan Arya dan mengatakan bahwa istrinya akan menjadi wanita yang sangat beruntung.
Hermand menyikut Arya di bawah meja saat mendengar kata-kata kakeknya. Pemuda itu menyengir jahil. Mulutnya mengucapkan 'Kau akan dicarikan istri!' tanpa suara.
Arya hanya bisa mengerucutkan bibirnya ke arah Hermand dan pura-pura tidak mendengar kata-kata kakeknya.
"Kau kapan lulus HBS?" tanya kakek sambil menyesap tehnya dengan tenang. "Tahun depan bukan?"
Arya mengangguk. "Benar, Kek. Sekolahku tinggal setahun lagi."
"Ah.. tahun depan kau berumur 20 tahun. Kakek masih ingat waktu pertama kali menggendongmu sewaktu kau dilahirkan 19 tahun yang lalu. Kau menggemaskan sekali." Kakek tampak tersenyum penuh nostalgia membayangkan masa itu. Arya adalah cucu lelaki satu-satunya, sekaligus yang paling kecil. Ia telah memperoleh tiga cucu yang semuanya perempuan dan sangat ingin memperoleh cucu laki-laki untuk meneruskan keturunannya. Ia begitu bahagia ketika Arya tiba ke dunia ini.
"Uhm.. sekarang juga aku masih menggemaskan, lho, Kakek," kata Arya sambil tersenyum geli.
Kakek hanya tertawa mendengar kata-kata cucunya. "Ah.. tidak terasa sebentar lagi kau akan dewasa."
Arya mengangguk sambil tersenyum jahil. "Kata orang, waktu berlalu begitu cepat di saat kita sedang bahagia dan berjalan begitu lambat saat kita susah. Jadi.. kuharap ini tandanya kakek hidupnya bahagia sehingga menganggap aku terlalu cepat besar."
"Ahh.. itu benar. Kakek setuju," kata kakek membenarkan. "Kau berencana kuliah di mana setelah lulus HBS?"
Sedari dulu Arya tidak berminat untuk kuliah. Ia hanya ingin menjadi penulis. Ia ingin pergi ke Eropa dan bertualang di sana. Ia akan mencari pekerjaan sambil menulis agar ia bisa membiayai dirinya dan Maria saat adik angkatnya itu kuliah. Ia ingin Maria kuliah menjadi dokter di Belanda, seperti keinginan ayahnya almarhum.
"Hmm.. aku ingin kuliah kedokteran, Kakek," kata Arya tegas. "Kurasa itu adalah profesi yang sangat mulia. Guruku bilang, tahun ini STOVIA akan dijadikan GHS, sekolah kedokteran dan mereka menerima mahasiswa pribumi dan keturunan."
Semua orang yang ada di meja makan tampak keheranan mendengar jawaban Arya. Hermand ingat Arya dulu mengatakan ia ingin menjadi petualang dan penulis. Ia sama sekali tidak ingin kuliah.
Kenapa sekarang berubah pikiran?
Kakek merasa keheranan tetapi hanya sesaat. Ekspresinya segera berubah menjadi bangga dan penuh dukungan.
"Bagus sekali! Kakek senang kau memutuskan untuk menjadi dokter. Tetapi bukankah STOVIA itu adanya di Batavia? Berarti sekolah kedokteran baru itu akan ada di Batavia juga?" tanya kakek ingin memastikan. "Berarti kau akan pindah ke sana selama beberapa tahun?"
Arya mengangguk. "Kalau aku diterima. Aku tidak tahu apakah nilai-nilaiku akan cukup baik untuk masuk ke sana."
Kakek mengelus-elus dagunya dan tampak berpikir. Ia lalu menatap Arya dengan sangat serius dan menyampaikan pendapatnya.
"Kalau kau diterima masuk GHS, kita harus mencarikanmu istri agar ada yang mengurusmu di sana."
Tiba-tiba saja Arya tersedak dan batuk-batuk saat mendengar ucapan kakeknya.