Chapter 10 - Kabar Buruk

Saat mereka tiba di tempat itu 5 menit kemudian sudah banyak kerumunan orang dan beberapa mobil polisi. Arya yang panik segera melompat turun sebelum mobil berhenti sempurna. Ia berusaha berlari menerobos penjagaan polisi tetapi berhasil ditahan oleh beberapa petugas yang ada di sana.

Untunglah Kapten Jannsen segera tiba dan memberi tanda agar mereka melepaskannya. Hermand mengikuti langkah Arya masuk ke dalam gudang gelap itu, polisi telah membawa obor dan menaruhnya di beberapa tempat sehingga pelan-pelan mereka bisa melihat apa yang terjadi.

Di sebuah sudut mereka melihat Maria berlinangan air mata sedang memeluk ayahnya. Raden Panji terkulai tak bergerak dalam dekapan Maria yang terlihat kusut dan semrawut. Darah terlihat mengalir mengotori pakaiannya dan lantai tanah di bawah tubuhnya.

"Maria...." Arya cepat menghampiri Maria dan memeluknya. Di dalam kepalanya ia segera dapat memperkirakan apa yang terjadi. Maria diculik penjahat dan mereka mengirim surat kepada ayahnya untuk datang... Lalu selebihnya bisa ditebak.

Sebagai seorang jaksa, Raden Panji memiliki banyak musuh. Penjahat-penjahat yang dihukumnya dan ingin membalas dendam tentu memanfaatkan kesempatan ketika melihat Maria berkeliaran di malam hari seorang diri.

Itu adalah hal yang seharusnya tidak pernah terjadi karena baik Maria maupun Arya selalu dididik untuk berhati-hati dan tidak bepergian sendiri saat malam hari, tetapi hari ini Maria sedang kalut dan tidak dapat berpikir jernih.

Maria hanya menggeleng-geleng dan meratap "Ayaahhh...." tanpa henti.

"Tolong panggilkan dokter!!!" Arya berteriak ke sekelilingnya dan sesaat kemudian seorang lelaki botak berwajah kusut datang dengan tas dokter diikuti Kapten Jannsen dan polisi lainnya.

Mereka menarik tubuh ayah lepas dari Maria tetapi gadis itu berusaha keras mempertahankan pelukannya.

"Ssshh... Maria, biar mereka menolong ayah..." bujuk Arya dengan suara lembut. Pada saat seperti ini ia harus bisa tenang. Ia dan Maria tak akan dapat berbuat apa-apa menolong ayahnya, tetapi hanya ia yang dapat menenangkan Maria. "Lepaskan ayah... biar mereka mengobatinya..."

Barulah pelan-pelan Maria melepaskan tubuh ayah dan ia menoleh ke arah Arya dengan pandangan hampa. Airmata telah membanjiri wajah dan seluruh pakaiannya bagian atas.

Hermand yang tidak dapat berbuat apa-apa hanya menyingkir ke samping, memberi jalan kepada dokter yang kini tengah memeriksa tubuh Raden Panji dan berbisik-bisik kepada Kapten Jannsen.

"Kondisinya kritis..." Ia dapat mendengar sekilas percakapan mereka. Kapten Jannsen memberi tanda kepada anak buahnya dan mereka segera datang membawa brankar dan mengangkat Raden Panji keluar untuk dibawa ke rumah sakit.

Maria seketika menggapai-gapai dan hendak bangkit mengejar, tetapi tubuhnya terjatuh karena shock. Arya cepat menangkapnya dan mengangkatnya mengikuti tubuh ayah mereka yang dibawa polisi.

"Sshh... kita akan ikut ayah, Maria jangan menangis lagi ya.." bujuk Arya. Ia buru-buru mengikuti polisi dan dokter yang membawa Raden Panji. Dalam hatinya Arya merasakan kesedihan yang sama besarnya dengan Maria, tetapi ia sadar, di saat seperti ini ayahnya akan lebih memilih agar fokus Arya ditujukan pada Maria, dan bukan kondisi ayahnya.

Hermand mengikuti mereka semua dengan pikiran kalut. Ia sadar, hal ini terjadi sebagian karena kesalahannya. Ialah yang membuat Maria menangis tadi siang... Seandainya ia tidak cemburuan kepada Arya dan tidak memaksa memberi tahu Maria bahwa ia adalah anak angkat, semua ini tidak akan terjadi.

Memikirkan itu membuat hatinya merasa sangat bersalah.

Seandainya ia bisa menebus perbuatannya.

***

Raden Panji tidak pernah sadarkan diri dan ia meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Peluru yang ditembakkan penjahat itu mengenai jantungnya dan membuatnya mengeluarkan sangat banyak darah. Suasana di rumah sakit sangat tegang dan kelam.

Di saku jasnya polisi menemukan sebuah surat dari orang tidak dikenal yang meminta Ayah datang ke gudang di belakang pasar tersebut kalau ingin anak perempuannya selamat.

Kapten Jannsen segera mengambilnya sebagai barang bukti untuk menyelidiki para kemungkinan tersangka. Ia juga hendak membawa Maria untuk diinterogasi, tetapi Hermand berhasil mencegahnya dengan menggunakan nama ayahnya.

"Hmmph... Nona Maria adalah satu-satunya saksi yang bisa memberi tahu kami apa yang terjadi..." kata Kapten Jannsen dengan wajah mengkerut. "Kami perlu menanyainya supaya kami bisa menangkap pelakunya..."

"Maria sedang shock. Nanti kalau mereka sudah siap, Arya akan mengantar Maria ke kantor polisi..." kata Hermand tegas, tidak mau kalah. "Kalau Kapten memaksa, aku akan memanggil ayahku."

Akhirnya dengan menggeleng-geleng Kapten Jannsen melangkah pergi. Ia sempat memberi instruksi kepada anak buahnya untuk menjaga Maria dan Arya, agar mereka tidak menjadi incaran berikutnya.

"Terima kasih..." kata Arya pelan ke arah Hermand. Ia menghela napas lega saat melihat mereka membiarkan Maria.

Hermand mengangguk. Ia memperhatikan Maria yang duduk teronggok di sudut ruangan, terlihat hancur dan pandangannya menatap kosong. Raden Panji terbaring di ranjang rumah sakit, tanpa nyawa, tetapi wajahnya terlihat damai sekali, sementara Arya duduk di samping tempat tidur dengan bahu terkulai.

Hanya dalam waktu satu malam, tiba-tiba Arya harus menjadi kepala keluarga Adinata karena ayahnya meninggal. Ia tak tahu bagaimana harus menjadi orang dewasa, apalagi kepala keluarga. Kini ia harus memikirkan nasib ibunya dan Maria...